Bab 4

93 6 0
                                    

Ini pertama kalinya Reina menginjakkan kaki di kota Semarang. Baterai Handphone yang sudah tidak bisa diajak berkompromi menjadi sialnya yang kedua di kota itu. Padahal baru saja ia bermaksud memesan ojek online untuk bisa mengantarnya ke lokasi kerja. Ia merogoh tas nya berkali-kali berharap power bank terselip disana, namun harapan terakhir hanyalah mencari sumber listrik terdekat. Ia memutuskan kembali ke dalam stasiun.

Sementara matahari sudah beranjak panas. Meskipun ia berada di dalam stasiun, tetap saja udara panasnya terasa melekat di kulit. Reina bergegas. Ia baru saja ingat kalau belum sempat memberi kabar keterlambatannya pada teman kantornya yang lain. Ia mempercepat langkah kakinya, tak perduli keringat satu persatu meluncur di dahi. Ia berlari kecil menuju coffee shop yang setahunya biasa menyediakan colokan gratis dan juga Wi-Fi.

Coffee shop terlihat tidak terlalu ramai. Reina berharap semoga tak ada antrian HP orang-orang selainnya yang ikut men-charge di sana. Mendekat ke arah colokan,  di lihatnya sudah ada tiga handphone berjajar di meja dengan kabel yang sudah terhubung lebih dulu. Reina semakin resah dan mulai panik. Ia hanya bisa menunggu sampai ada kesempatan. Tak ada yang bisa dilakukannya sekarang. Ia merengut kesal.

Harusnya kejadian yang sebelumnya tidak perlu terjadi kalau dia tidak iseng ikut campur urusan orang lain.  Harusnya ia sudah sampai ke lokasi dan tak perlu membayangkan teguran dari Pak Jimmy -Supervisor yang paling bawel urusan telat datang-  yang mampu merusak moodnya seharian. Harusnya ia sudah duduk manis di ruang meeting, bukan menghabiskan waktu tidak jelas disini. Segala bentuk penyesalan mulai menyelinap di kepala gadis itu. Ia menghela nafas panjang.

"Hei Reina...  Apa yang harus kau sesali? Astagfirullah... Semua bakal baik-baik saja Rei... Tenang..."

Gadis itu mencoba menenangkan diri. Kata-kata itu terus bedengung di dalam hatinya. Tak seharusnya ia menyesali hal yang sudah berlalu. Lagian yang dilakukannya bukanlah hal yang buruk. Tak ada yang perlu disesali. Kalaupun Pak Jimmy marah ya anggap saja seperti kicauan burung yang makin didengar makin merdu. Ia menghela nafas lagi. Tak ada siapapun yang ia kenal disana. Kalau bukan dirinya sendiri yang mengatur emosi membuat tenang pikiran, lalu siapa?

Reina memilih memesan kopi daripada hanya diam menunggu. Ia berpikir mungkin 15 menit lagi sudah bisa bergantian men-charge handphone.

Tak lama, Mbak pramusaji meneriaki nama dan pesanan atas nama dirinya. 

"Kopi atas nama Rei... Silahkan diambil... "

Reina berjalan menghampiri arah suara yang memanggil namanya. Namun dari arah berlawanan seseorang juga berjalan menuju ke arah yang sama. Ia mengenali wajahnya. Reina bahkan masih ingat jaket yang dikenakan seseorang itu masih sama dengan sebelumnya. Ia mempertajam penglihatannya. Ia yakin pria itu adalah dia.

"Pria berjaket biru! Ngapain dia disini?  YaAllah kenapa harus bertemu dia lagi?"

Bertemu dengan pria yang baru saja ia tuduh sebagai penculik itu membuatnya ingin kabur saja dari sana.  Masih ada rasa malu menyelimuti dirinya. Tapi jarak dia dengan pria berjaket itu hanya tinggal dua langkah. Pasti terlihat sekali kalau ia ingin melarikan diri.

"Hei,  Lo cewe yang tadi kan?"
"I.. Iya.."
"Loh.. nama kamu Rei juga?" Tanya pria berjaket menunjuk kopi yang bertuliskan nama "Rei" di bagian luar gelas nya. Dahi pria itu berkerut.
"I..Iya... Aku Reina" jawab Reina menunjuk dirinya.
"Ya Ampun.. Nama kita mirip ya? Kenalin. Gue Reiga."
Pria itu mengulurkan tangannya. Reina terdiam. Tangannya tak membalas salam perkenalan dari pria itu.
Bagi Reina kebetulan yang seperti ini sungguh aneh. Mata gadis itu tak berkedip. Drama apa ini?  Ia merasa pertemuan kembali seperti ini hanya ada di drama korea yang sering ia tonton. Harusnya cuma ada di sana. Bukan di dunia nyata seperti ini.

Reina kemudian menelungkupkan kedua tangan. Tanda kalau ia tidak bisa berjabat tangan dengan sembarang pria yang bukan mahram. Untungnya pria dihadapannya itu maklum dan hanya tersenyum.

"Biar nggak sama kayak nama Lo,  panggil aja gue Ega,  ya! " seru Reiga dengan gaya santai.
"Oh. Baiklah...Ega" jawab Reina sambil tersenyum. Ia tak perlu merasa malu lagi sepertinya.  Pria yang bernama mirip dengannya ini sangatlah ramah. Reiga sama sekali tak menunjukkan rasa tidak suka atas kejadian sebelumnya. Sikapnya justru sangat bersahabat.

"Oh iya,  kopi yang lo pesen apa Rei?"
"Aku pesen Caramel Mochaccino, Kamu?"
"Loh... Aku juga."
"Hah.. Kok bisa sama yaa..?"
"Hahaha. Iya yaa?"
"Yaudah.  Kopi nya buat Ega aja deh duluan."
"Eh.. Jangan. Buat Lo aja Rei. Lady's first."
"Hahaha..."

Mereka berdua tertawa bersamaan. Menertawai pertemuan kembali dan kesamaan di antara keduanya. Reina sesaat lupa akan meeting. Lupa kalau ia sedang menunggu untuk Charger handphone. Lupa kalau beberapa saat lalu ia menyesali pertemuan dengan pria di hadapannya. Ah. Entah rencana apa lagi yang sudah Tuhan atur untuknya hari ini.

================================
"Kau sudah ada dimana Rein?" Tanya Pak Jimmy di seberang telepon. Nadanya terdengar ketus.
"Maaf Pak, ini saya baru saja charge handphone, jadi baru bisa kasih kabar ke Bapak." Jawab Reina seadanya.
"Kan sudah ku bilang. Kau itu harusnya berangkat dua hari yang lalu. Kalau begini sudah pasti kau akan telat lah." cecar Pak Jimmy dengan logat bataknya yang khas. Reina sudah membayangkan kemarahan supervisornya itu nanti. Ia menelan ludah, pasrah.
"Iya.. Maaf sekali Pak Jimmy. Tadi keretanya telat dua jam dari yang seharusnya. Saya mau pesan ojek tapi handphone saya baterainya habis, Pak. Jadi saya... "
"Sudah kau beralasan saja! Saya tetap tunggu kau di sini Rein. Saya tidak mau tahu hari ini desain harus sudah oke. Kau obrolkan lagi lah dengan Geri. Tak ada waktu lagi kita. Besok langsung ambil gambar." potong Pak Jimmy cepat. Wajah Reina gusar.
"Baik Pak. Nan.... "
Tut... Tut... Tut... Belum sempat Reina membalas lagi, telepon sudah diputus oleh Pak Jimmy. Sekarang Reina benar-benar panik.

"Telepon dari bos lu ya,  Rei?" tanya Ega.
"Huft... Iya. Maaf Ega,  Aku harus pergi sekarang." Jawab Rei. Wajahnya yang sedari tadi cerah kini mendadak muram. Memperhatikan wajah gadis itu,  Ega jadi merasa tidak enak. Sebenarnya ia masih ingin mengobrol dengan gadis itu lebih lama. Mengenal gadis berkerudung itu lebih dekat, tapi sepertinya semesta belum mengizinkan. Ia kemudian mengambil kartu nama miliknya. Lalu menyodorkannya ke Reina.

Reina yang sedang buru-buru menghabiskan kopinya,menerima kartu nama itu dengan sigap. Melihatnya sekilas.
"Gue lagi magang disana, Rei. Siapa tahu lo butuh."
Reina mengangguk-angguk. Dahinya agak sedikit berkerut. 

Magang?  Dia masih kuliah? 

Dua pertanyaan itu terlintas cepat di kepalanya.  Tapi ia enggan menanyakannya lebih lanjut.

"Oke. Makasih, ya" jawab Reina sambil memasukkan kartu nama itu ke dalam dompetnya.

Reiga tersenyum memandangi dari kejauhan sosok Reina yang pergi meninggalkannya. Entah mengapa ia senang bertemu dengan gadis itu. Padahal baru saja mengenalnya, namun ia merasa seakan-akan sudah mengenal gadis itu sejak lama.

Reiga masih ingat bagaimana raut wajah Reina yang dengan galak menuduh dirinya penculik, lalu saat gadis berhijab itu menunduk malu sambil meminta maaf. Ia juga ingat wajah lembut nya saat tadi menolak membalas uluran tangannya saat berkenalan.
Ia merasa gadis itu berbeda. Ada tiga sifat yang baru saja ia tahu melekat ada padanya. Seorang yang pemberani, santun dan yang paling penting ia seorang muslimah yang berprinsip. Pikiran-pikiran yang merusuhi kepala pria itu, menyisakan sejumput tanya di benak.

Akankah kita bertemu lagi, Rei?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 14, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Reina dan Cinta KeduaWhere stories live. Discover now