Rachel: The Wasted Ring

990 23 11
                                    

Matahari tidak bersinar terang pagi ini tapi cukup untuk membangunkanku dari malam yang melelahkan. Tidur sekitar jam 2 pagi bukanlah hal yang biasa aku lakukan, tentu saja. Tugas memaksaku melakukannya dan aku tak mau mendapat B hanya karena kurang teliti.

Aku membuang kopi sisa semalam yang kini terasa sedingin hatinya. Charles mungkin pernah sangat hangat padaku tapi kurasa sekarang namaku tak ada dalam kamusnya. Kami seolah orang asing yang bahkan, ia tak mau ajak berkenalan dalam sebuah pesta seberapapun usahaku untuk menarik perhatiannya. Tak apa, semua hal yang ia lakukan setidaknya punya alasan yang sangat aku mengerti.

Tetapi percaya pada seseorang yang mudah jatuh cinta, itu yang sulit aku tangani. Setidaknya, sampai sekarang aku melarang sahabatku, Grace, menceritakan apapun yang berkaitan dengannya--sedikitpun. Alasannya mudah, aku ingin mempercayai bahwa paling tidak, perasaannya dulu padaku nyata dan bukan hanya bualan yang sering ia lakukan ketika ia berkencan dengan wanita di pantai dengan pemandangan eksotis.

Mendengar kabar tentangnya--terutama tentang gadis yang dipacarinya--membuat dia tampak seperti pria jahat. Aku tak ingin mempunyai mantan yang terlalu 'jahat' paling tidak dimataku sendiri jadi aku menghindari kabar tentangnya dan seluruh temannya.

Dan sejak saat itu, sekitar setengah tahun, aku belum mau menemukan cinta baru atau bahkan, hanya melirik pria keren di pesta-pesta. Walaupun Charles tampak menyebalkan, pribadinya cukup sempurna untukku. Ia baik, sopan dan pandai melucu. Dia juga cukup pintar yang menjadikannya mahasiswa baru di perguruan tinggi arsitek yang diidam-idamkan ribuan orang di negara ini. Sedangkan aku? Well, aku harus kuliah dan menjadi freelancer di sebuah perusahaan sebagai desainer di waktu bersamaan yang cukup meretakkan tulang ditubuhku.

Mom sedang memasak ketika aku siap berangkat kerja, "pagi, Rachel. Panekuk atau roti?"

"Em, mom, mungkin kali ini aku akan sarapan diluar."

Mom menyipitkan matanya, "dengan siapa?"

"Daniel, mom, teman masa SMA yang pernah kesini beberapa kali mengembalikan buku? Mom pasti ingat."

"Oh, ya, tentu. Dia kuliah bersamamu atau apa?"

"Tidak." Aku merasa mom akan menanyakan lebih banyak pertanyaan jadi aku memotongnya dengan mengucapkan sampai jumpa, menciumnya, lalu pergi.

Kota tidak pernah begitu padat sampai hari ini. Semua mobil membunyikan klakson. Aku bahkan harus turun dari bis dan jalan sepuluh blok untuk mencapai kafe yang Dan maksud. Ia biasa makan disana dan pagi ini, ia berencana mengajakku sarapan.

Aku dapat melihat Dan memperhatikan keluar jendela saat aku masuk. Ia segera menyadari keberadaanku beberapa detik setelahnya. "Hei kau sampai." ia mengecup pipiku, hal yang biasa ia lakukan.

"Yah, macet ini parah aku harus jalan sejauh sepuluh blok untuk kesini."

"Kenapa tidak bilang? Kalau tahu, tadi aku jemput."

"Sama saja. Sebaiknya kita segera memesan, aku tak biasa jalan tanpa sarapan. Kau tahu seberapa pentingnya mengisi perut untukku."

Kami berdua tertawa. Aku menikmati setiap candaan yang kami lontarkan. Daniel adalah kesempurnaan. Wajahnya, tubuhnya, sempurna. Tapi aku tak dapat melihat itu semua jika, jauh di dalam hatiku, aku masih jatuh cinta dengan kesempurnaan karakter yang dimiliki Charles.

Charles si cerdik. Charles si playboy. Charles si jahat. Terserah, aku benar-benar tak peduli. Faktanya, aku mencintai cara dia tertawa dan caranya membuatku tertawa. Aku mencintai cara dia berjalan dan merangkulku agar orang-orang tahu bahwa aku miliknya. Aku cinta cara dia mengatakan selamat pagi dan selamat tidur. Aku tak peduli kalau ternyata dia melakukannya ke banyak gadis, aku percaya dia tak begitu. Sejauh inipun, aku tak pernah menangkap basah dia 'hanya' berpegangan tangan saat dia masih berpacaran denganku. Aku tak percaya opini, aku percaya pada fakta bahwa aku mencintainya.

Oleh karena itu, pagi ini, setelah beberapa hari yang lalu aku menunda bertemu Daniel karena Grace menemukan cincin tunangan yang ingin ia berikan padaku, aku ingin berkata padanya bahwa perasaanku tidak sejauh itu. Bahwa aku bukanlah orang yang tepat seperti yang Dan katakan ke Grace.

Aku percaya Dan orang yang baik, tapi aku tak bisa percaya pada hal yang aku bahkan tak dapat rasakan. Mencintai Dan, bagiku seperti mencoba menggenggam asap. Aku punya banyak alasan untuk mencintainya. Dia baik, tampan dan selalu ada untukku. Tapi ketika aku mencoba percaya bahwa aku mencintainya, aku tak bisa. Karena aku memang tidak mencintainya.

Dan memesan panekuk dengan coklat leleh dan stroberi kesukaanku. Ia memesan karena tahu dan ia bilang ingin mencoba masuk ke duniaku. Satu-satunya hal yang tidak bisa aku biarkan karena duniaku hanya untuk Mom, Grace dan orang yang kucintai, yaitu Charles. Tetapi aku memilih untuk tersenyum dan mengangguk kecil pada pilihannya.

Selepas sarapan, Dan membukakan pintu mobilnya untukku dan ia bilang, ia akan mengantarku. Aku mengiyakan, waktu yang tepat untuk berbicara. Lagipula, jalanan sudah tidak macet jadi aku dapat sampai tepat waktu.

"Aku selalu suka sarapan di The Cony's. Mereka punya panekuk kesukaanmu dan sangat enak. Makanan favoritku juga ada disitu. Kau tahu, omelet dan..."

"Em, Dan. Maaf aku memotong tapi ada yang ingin kubicarakan."

Ia mengatupkan bibirnya. Aku yakin ia tahu pembicaraan ini mengarah kemana hanya dengan mendengarkan nada bicaraku. Ia tersenyum tipis dan melirik kearahku sekilas, "ya, tentu, tak apa. Apa yang ingin kau bicarakan?"

"Kau tidak berpikir hubungan ini akan mengarah ke hal-hal serius, kan? Maksudku, kau sudah kuanggap sahabat dan, ya, kau tahu pendapatku tentang sahabat menjadi cinta itu sedikit tidak meyakinkan. Aku tak ingin kehilangan kamu begitu saja."

Tepat saat aku selesai berbicara, Dan memarkirkan mobil didepan universitas tempatku menuntut ilmu. Ia melihatku dengan mata yang berair dan memerah. Tampak jelas ia marah dan kecewa. Aku sedikit takut berada di mobil itu sekarang. Ia membuatku takut.

"Sesungguhnya, Rachel, kau baru saja kehilanganku. Terimakasih untuk sarapan dan segala hal manis yang pernah kau lakukan. Itu dulu sangat berarti."

Aku lumayan terkejut dengan perkataan Dan tapi aku tak heran ia menjawab begitu, kasar. Kalau aku menjadi dia, aku mungkin melakukan hal yang sama dengannya. Oleh karena itu, aku menghindari argumentasi dan memilih untuk balik berterimakasih dan berjalan menjauh dari mobilnya, menuju kelasku.

Aku sudah biasa merasakan dicintai lalu dibuang sejauh mungkin. Tak ada penyesalan ataupun setitik air dimataku. Aku tak mau mereka, yang mencintaiku merasakan hal yang sama. Karena itu, aku memilih menutup diri dan tidak mencoba untuk mencintai mereka karena aku tak mau menjadi seperti orang yang memperlakukanku seperti kacang lupa kulit. Aku memilih mereka tidak merasakan cinta sama sekali dariku, sehingga mereka punya banyak alasan untuk melupakanku.

Tidak seperti perlakuan Charles padaku. Dia adalah pil termanis yang pernah kuminum. Aku tak dapat melupakannya begitu saja. Charles adalah pil yang membuatku kecanduan.

Dan kurasa, apapun yang terjadi, aku akan terus meminta untuk menelan pil itu.

All AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang