Daniel: The Latest Deal

202 12 6
                                    

Gadis itu berbicara dengan tegas. Sesaat kemudian, wajahnya memerah karena ia sadar semua mata tertuju kepadanya. Ia lalu mengucapkan terimakasih dan kembali ke tempat duduknya.

Aku dapat melihat tatapannya yang tajam sekaligus lugu. Aku sangat yakin, ia selalu memandang dunia dengan sudut pandang yang berbeda--terlihat dari caranya berbicara. Rambut ikal membungkus wajah ovalnya dengan sempurna. Ia cukup cantik, tapi jujur, masih tidak lebih cantik dari artis-artis lokal.

Di sela pergantian jam pelajaran, aku menyempatkan diri mendatangi tempat duduknya. Beberapa teman menggodaku, mengatakan kalau aku paling bisa dalam mengambil hati para gadis. Tapi aku cuek saja. Lagipula, aku tak pernah sembarangan berbicara pada gadis cantik.

"Hai, Rachel kan?" sapaku canggung. Ia tampaknya tak terganggu dengan gosip yang disebarkan teman-temanku, ia tersenyum lembut menyambutku.

"Iya. Kamu Daniel, kan?"

"Kamu tau nama aku?"

Rachel tertawa kecil, "gimana gak tau, itu mereka nunjuk kamu terus sambil sebut nama kamu. Jadi, ada apa?"

Dan tepat disaat ia tersenyum untuk kedua kalinya, aku jatuh dalam khayalan akan pelukannya. Aku jatuh cinta.

-----------

Aku masih ingat beberapa tahun lalu saat kami bertemu. Aku tak bermaksud berkata kasar pada Rachel. Tak pernah ada pikiran sedikitpun tentang itu. Hatiku belum siap mendengar jawabannya, tetapi otakku seolah mempermainkan semuanya. Membuat semua seolah terlihat indah.

Hari ini aku mengurungkan niat untuk kuliah dan memilih untuk pergi ke pantai sendiri. Ombak pantai selalu menenangkanku. Paling tidak, aku mengerti bahwa tidak ada yang mustahil. Karang akan terkikis oleh kelembutan dan keganasan ombak. Hal tersebut selalu memotivasiku.

Aku benci kota ini. Tapi aku masih disini. Sungguh munafik. Disisi lain, kota ini terlalu banyak memberikan kenangan. Manis dan pahit.

Aku memarkirkan mobilku di pusat perbelanjaan kota, aku harus membeli sebotol bir dan rokok. Hal yang sudah kutinggalkan setahun lalu demi Rachel. Tapi kini, kurasa mereka satu-satunya temanku.

Atau tidak.

"Hei, Dan!" Grace berlari kecil kearahku. "Astaga, kau terlihat kacau. Ada apa?"

Aku mengangkat bahu dan mengambil sebotol bourbon. "Kau minum lagi? Apa ini artinya Rachel..."

"Tolong tidak berbicara tentang Rachel, paling tidak, jangan sekarang." Aku mencoba untuk berbicara seramah mungkin. Selama ini, Grace sudah banyak membantu. Aku tak bisa kasar juga padanya. Tapi tetap saja nada suaraku masih terlalu tinggi.

Aku berdeham. Grace tampak sedikit terkejut. Raut mukanya tegang. "Maaf. Mau ikut ke pantai?" Itu satu-satunya kalimat yang bisa kukatakan untuk menembus rasa bersalahku selain hanya meminta maaf.

"Kau mau ke pantai? Sendiri dan membawa bourbon? Ada niat mengakhiri hidup ya kau?!"

Aku tertawa kecil. "Sepertinya sekarang tidak sendiri. Kau kupaksa ikut denganku." Grace selalu mencemaskanku, tentunya sebagai sahabat. Aku tau ia tidak akan pernah punya perasaan padaku. Ia selalu bercerita tentang pria yang dipacarinya hanya dalam seminggu. Jadi tak perlu dipertanyakan lagi, mantannya berpuluh-puluh orang.

Aku menarik Grace ke kasir dan membayar belanjaanku. Grace tidak menolak, ia tetap mengikutiku dari belakang walaupun berkali-kali bilang ada rapat yang harus didatanginya.

"Lalu bagaimana dengan mobilku, bodoh?!"

"Taruh saja disini. Aku akan mengantarkanmu kembali kesini nanti," aku membukakan pintu untuk Grace, ia masuk dengan wajah cemberut, "berhenti cemberut gitu, aku tau kau sangat ingin ikut."

Grace hanya mengangguk kecil--masih cemberut. Aku masuk ke mobil dan menaruh belanjaanku di belakang.

Aku menyetir dengan kecepatan normal. Melewati taman yang dulu aku dan Rachel datangi untuk menghabiskan hobi bersama--membaca buku.

Aku masih ingat terakhir kali kesini bersamanya, bunga yang bermekaran sama indahnya dengan Rachel pada hari itu. Ia memakai sundress pemberianku sebagai hadiah ulang tahun. Dress itu membungkua tubuhnya dengan cantik.

Hari terakhir kami ke taman bersama, dan hari pertama aku mengatakan aku menyayanginya. Walaupun pada akhirnya, aku berbohong dengan berkata kalau aku menyayanginya sebagai sahabat karena ia tampak lebih bahagia ketika aku bilang begitu. Kupikir, kami akan terus kesana bersama. Tapi tampaknya setelah kejadian tadi pagi ia bahkan takkan mau menyimpan nomorku di ponselnya.

Semua berkecamuk dalam otakku. Memori indah kini menjadi bumerang untukku. Dulu memori itu yang membantuku hidup tapi kini, semua itu hanya membantu untuk menghancurkanku.

Suara di kepalaku sudah keterlaluan. Aku tak bisa memikirkan apapun selain Rachel. Otakku terus memutar hal indah bersamanya. Mataku terus menampilkan pengalaman indah.

Aku memutar badan untuk mengambil rokok. Aku melihat wajah Rachel, duduk dengan anggun dan tersenyum manis kepadaku. Aku mengejapkan mataku--Grace yang ada disana, bukan Rachel.

Ia tampak cemas. Ia berkata sesuatu tapi aku tak dapat mendengar apapun. Seandainya, aku menyadari semua ini dengan cepat, bahwa aku tak akan pernah memeluk Rachel seutuhnya. Bahwa Rachel tak akan pernah mencariku kalau aku menghilang. Bahwa, hal yang sebenarnya adalah, kami hanya teman tak pernah dan tak akan pernah lebih, mungkin aku tidak akan sehancur ini.

Tapi semuanya terlambat dan memang selalu terlambat.

Aku tak sadar sudah melaju terlalu kencang dan kami berdua akhirnya menabrak truk didepan. Semua gelap dan menyakitkan. Bukankah, dunia memang begitu? Bukankah tujuan kita hidup untuk menemukan cahaya-cahaya yang nantinya kita pakai untuk menerangi hidup?

Tapi seluruh cahayaku perlahan terenggut. Dan begitu juga hidupku. Paling tidak, ada satu hal yang selalu aku tahu sedari dulu, bahwa cintaku pada Rachel akan abadi.

All AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang