PERINGATAN!
Draf pertama ditulis tahun 2014 dengan diksi mendayu-dayu dan belum saya perbaiki.
Berisiko menyebabkan pusing dan mual-mual. xD
"Takkah terlihat jingga yang membakar kaki langit itu, duhai Putra Sang Amurwabhumi?" Mpu Seta Saraba menatap jauh ke barat. Di sana, di penghujung tatapannya, sandyakala sedang melukis langit dengan warna-warna jingga. Sebagian redup, sebagian yang lain menyala, menyatu dengan biru yang kian memudar, pun awan-awan.
Angin berembus, menggerakkan rambut panjang sang empu yang telah memutih sempurna. Dingin dan bergegas, begitulah laku angin di permulaan musim bedhidhing.
Mpu Seta mengelus pelan jenggot panjangnya. Dia menoleh, menatap seorang pemuda di sampingnya dengan matanya yang tak pernah redup. "Itulah tempat kisah-kisah tua berada," ujarnya. Angin sempat melintas sekali lagi sebelum laki-laki tua itu melanjutkan, "ke sanalah Raden akan menuju. Kepada Sandyakala."
"Rama Guru," berkata sang pemuda, "bagaimanakah seseorang dapat mencapai tempat itu, sedangkan sandyakala-sebagaimana pula angin-tak pernah berhenti bergegas?"
O hai! Rupanya Putra Sang Amurwabhumi memiliki keraguan. Mendengar itu, sang empu tersenyum penuh asih. Ujarnya, "Mengapakah Raden begitu meragu? Bukankah sudah terucap bahwa Raden akan mengambil ujian ini? Mencari kebenaran tentang kisah-kisah tua?"
Sang pemuda menatap jauh ke arah sandyakala. Pikirannya bercabang, antara memenuhi ucapannya, juga meragukan kesanggupannya. Bukankah menuju sandyakala sama juga dengan menuju kekosongan? Bukankah, itu sama artinya dengan melakukan kesia-siaan?
O, nir! Mpu Seta Saraba bukanlah sembarangan guru. Mpu Seta Saraba tak akan mungkin mengujinya dengan suatu kesia-siaan. Maka, jika itu yang didhawuhkan olehnya, itulah yang sebenarnya.
Pemuda yang disebut Putra Sang Amurwabhumi itu mengepalkan tangan. Butuh waktu beberapa kali embusan angin untuk memantapkan hatinya, memantapkan tujuannya, sebelum dia menatap sang guru.
"Murid akan melaksanakannya," ujarnya, berlutut di hadapan Mpu Seta Saraba dan menangkupkan kedua telapak tangan. "Mohon Rama Guru memberikan petunjuk."
Mpu Saraba tersenyum dan menepuk pundak muridnya. "Restuku bersama Raden," ujarnya. "Esok ketika ayam berkokok untuk ketiga kali, mulailah perjalanan. Jangan pernah berbelok arah melainkan terus menuju sandyakala. Beristirahatlah hanya saat langit telah benar-benar gelap dan lanjutkan perjalanan ketika ayam berkokok untuk ketiga kali."
Mpu Saraba menghela napas. Lanjutnya, "Dalam perjalanan nanti, akan banyak rintangan dan juga godaan. Raden akan merasa begitu sendiri, begitu ingin kembali. Lawanlah perasaan itu, kuatkan diri Raden dan jangan berpaling dari tujuan Raden, menuju sandyakala dan menemukan kebenaran akan kisah-kisah tua.
"Dan," Mpu Saraba menarik keluar sebuah bungkusan dari lipatan kainnya, "bawalah ini bersama Raden."
Putra Sang Amurwabhumi mendongak dan seketika terenyak tatkala sang empu membuka bungkusan kain di tangannya dan menampakkan sebilah keris tanpa warangka. "Bukankah itu milik Rama Prabu?" bertanya Putra Sang Amurwabhumi.
Mpu Saraba mengangguk. "Aku telah menggantikan pusaka ini dengan keris yang lain."
Napas sang pemuda tersekat. "Tapi..."
"Pusaka ini tidak boleh dikotori semakin jauh, Raden, dia harus dibersihkan. Biarlah dendam Sang Amurwabhumi, dendam keturunan Tunggul Ametung, dendam anak cucu Dhandhang Gendhis dituntaskan dengan keris kembarannya."
"Tapi...," Putra Sang Amurwabhumi termangu sejenak, "bagaimana membersihkan pusaka ini, Guru?"
"Ketika Raden tiba di sandyakala, sang penjaga kisah-kisah tua akan memberikan petunjuk. Simpanlah pusaka ini. Jangan pernah sekali pun gunakan untuk membunuh, melukai, pun bertarung. Cukuplah simpan pusaka ini dan jangan pernah tunjukkan kepada siapa pun. Dia tak boleh terkotori lagi. Cukup darah sang penempa yang melumurinya, jangan sampai ada darah siapa pun merembesinya lagi."
Putra Sang Amurwabhumi mengangguk, menerima keris itu, membungkusnya kembali dan menyisipkannya di antara lipatan kain yang dikenakannya. Lantas dia berdiri dan menjura dengan hormat kepada gurunya. Berkatalah dia, "Murid akan menjaga pusaka ini dengan nyawa."
Mendengar kesanggupan itu, Mpu Saraba mendesah lega. Kini, dia bisa memercayakan pusaka yang telah terkotori itu kepada muridnya. Ini juga adalah salah satu ujian, apakah Putra Sang Amurwabhumi yang tidak dikenal bahkan di kalangan istana ini sanggup menahan diri dari godaan menggunakan keris tanpa warangka tersebut. Juga, apakah pemuda ini cukup tangguh lagi bijaksana untuk dapat menemukan sandyakala dan kebenaran kisah-kisah tua.
"Jika demikian," berkata Putra Sang Amurwabhumi, "Murid mohon diri, Guru."
Mpu Seta Saraba mengangguk, mengawasi muridnya yang-tidak seperti saudaranya yang lain-santun dan penuh bakti itu berjalan ke arah kudanya, menaikinya dan mengangguk ke arah sang empu sekali lagi sebelum menghela kuda hitam itu.
"Perjalananmu akan menjadi perjalanan yang sangatberat, Anak Mas," bergumam sang empu, ketika Putra Sang Amurwabhumi telahberderap begitu jauh.
***
Draft pertama prolog ini saya tulis pada 14 Juli 2014. Diksinya... maaf jika agak mendayu-dayu.
Daripada teronggok begitu saja dan tak tersentuh di folder komputer, saya pikir lebih baik memublikasikannya di sini.
Terima kasih sudah mampir dan membaca. Jangan lupa tekan bintang jika kalian suka. Oh, dan komentar! ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesatria Langlang
Historical FictionSuatu sore pada bulan ketujuh, tahun kesekian semenjak Ken Arok mengambil alih kekuasaan Kadiri dan mendirikan Kerajaan Singhasari dan memulai wangsa Rajasa, Mpu Seta Saraba menyembunyikan keris berdarah yang digunakan oleh Sang Amurwabhumi meraih k...