"Sebentar lagi ayam berkokok untuk ketiga kali, Galih Kayuwangi." Berkata si bocah laki-laki. Dalam kegelapan dini hari, sinar matanya tajam memantulkan cahaya sasadara yang menyelusup di antara dedaunan pohon yang rimbun.
Galih Kayuwangi tersenyum. Dia telah siap sedari tadi dan hanya menunggu untuk memastikan apakah bocah laki-laki ini sungguh-sungguh datang lagi dan menyuruhnya pergi ketika ayam berkokok ketiga kali, seperti dia katakan sebelumnya. Meski terkesan liar, Galih Kayuwangi kagum dengan ketetapan hatinya.
"Saya telah siap. Terima kasih telah mengizinkan saya bermalam di sini, Tole," ujar Galih Kayuwangi. Jika sebelumnya dia menyebut 'aku', kali ini dia memutuskan untuk menyebut 'saya'. Mungkin, Galih Kayuwangi pikir, itu akan dapat sedikit melunakkan si bocah yang hingga kini belum dia ketahui namanya.
"Rupanya kau tak berbohong dengan ucapanmu," kata si bocah ketika melihat buntalan milik Galih Kayuwangi telah tergantung siap di pelana. "Kau sedang lelaku?"
Galih Kayuwangi mengangguk. Sepertinya si bocah telah mulai melunak, meski cara bicaranya masih tetap kasar dan tanpa tata krama. "Pesan dari guru saya-" suara ayam berkokok di kejauhan menghentikan kalimat Galih Kayuwangi. Dia pun undur diri. "Saya pamit, Tole."
"Oh ya," Galih Kayuwangi menoleh, "jika kelak Sang Pencipta kembali mempertemukan kita, bagaimana saya harus memanggilmu?"
Si bocah laki-laki terdiam sejenak sebelum menjawab, "Dalu Reksa."
"Dalu Reksa," ulang Galih Kayuwangi seraya menjejak sanggurdi dan mengangkat tubuhnya ke atas pelana, "semoga Dewa yang Agung mempertemukan kita kembali. Selamat berpisah, untuk sekarang."
Menarik kekang, Galih Kayuwangi menghela kuda hitam yang dia namai Gelap Wukir. Sang kuda meringkik, mengangkat kaki depannya, melompat, dan berderap di antara kerimbunan hutan. Hari memang masih gelap, tetapi Gelap Wukir bukanlah kuda sembarangan. Matanya telah terlatih dengan pencahayaan yang begitu samar. Maka, menghindari ranting yang melintang dan juga akar-akar besar yang menyembul di atas tanah bukanlah hal sulit bagi sang kuda hitam.
***
"Terus menuju barat, Wukir. Terus menuju barat," kata Galih Kayuwangi menyemangati kuda tunggangannya.
Serupa mantra, Galih Kayuwangi terus membisikkan kata-kata itu. Dan Wukir, seolah-olah mengerti dengan pasti ucapan penunggangnya, berderap terus menuju barat. Melewati perkampungan sepi, juga hamparan bulak luas dan kering berdebu. Sepertinya... kemarau panjang belum akan usai.
Sembari menghela kuda hitamnya, Galih Kayuwangi memandang jauh ke depan, jauh ke barat. Dalam hati, pemuda bagus yang raut wajahnya mirip dengan Sang Amurwabhumi itu bertanya-tanya, apatah sesungguhnya Sandyakala itu? Mpu Seta Saraba adalah seorang bijak yang gemar berteka-teki. Rasanya, tak mungkin jika yang dimaksud Sandyakala oleh sang guru adalah benar-benar ujung cakrawala.
"Itulah tempat kisah-kisah tua berada, ke sanalah Raden akan menuju. Kepada Sandyakala."
Masih terngiang jelas di ingatan Galih Kayuwangi, apa yang diucapkan sang guru ketika itu. Tetapi sesungguhnya, bagaimanakah seseorang dapat mencapai tempat itu, sedangkan sandyakala-sebagaimana pula angin-tak pernah berhenti bergegas?
O, nir! Mpu Seta Saraba tentu mengharapkan Galih Kayuwangi memaknai ucapannya, mengurai, me-wedhar apa yang tersembunyi di baliknya. Ujian inilah yang sesungguhnya sang empu ingin Galih Kayuwangi capai. Maka, sebelum sang lembu peteng berhasil medhar sandi, mengurai apa yang tersembunyi, dia harus terus berkelana. Menuju barat, menuju sandyakala.
Ringkik nyaring Gelap Wukir membangunkan Galih Kayuwangi dari lamunannya. Kuda hitam itu mengangkat kaki depan tingi-tinggi sebelum menghunjamkannya kembali ke tanah kering berdebu. Menepuk-nepuk sisi kepalanya, Galih Kayuwangi berusaha menenangkan sang turangga. Namun, seperti ketakutan akan sesuatu..., Gelap Wukir menjadi gelisah. Tak mau meneruskan perjalanan.
***
September 2014/April 2018
Hai, maaf pendek. Terima kasih sudah membaca, memberi vote, dan komentar. ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesatria Langlang
Historical FictionSuatu sore pada bulan ketujuh, tahun kesekian semenjak Ken Arok mengambil alih kekuasaan Kadiri dan mendirikan Kerajaan Singhasari dan memulai wangsa Rajasa, Mpu Seta Saraba menyembunyikan keris berdarah yang digunakan oleh Sang Amurwabhumi meraih k...