#3 Bulak

96 16 7
                                    


Mengetahui ada yang salah, Galih Kayuwangi menajamkan pandangannya menatap sekitar. Padang kering di sekelilingnya tampak lengang. Matahari bersinar begitu terik dan tak ada siapa pun selain dirinya terlihat di tengah bulak ini. Akan tetapi, Galih Kayuwangi tahu bahwa tidak mungkin Gelap Wukir berhenti tanpa sebab yang jelas. Tentu ada sesuatu yang membuat sang turangga begitu gelisah seperti ini.

Maka teriaknya, "Kami hanya menumpang lewat. Sudilah kiranya Kisanak membuka jalan."

Teriakan Galih Kayuwangi terdengar nyaring. Namun, tak ada apa pun selain debu-debu kering beterbangan. Maka sekali lagi, murid kinasih Mpu Seta Saraba itu mengulangi ucapannya. Dan, seperti sebelumnya, tak ada apa pun atau siapa pun menjawab. Hingga kemudian, sayup-sayup terdengar kekeh tawa di kejauhan.

"Kudamu begitu istimewa, Anak Muda." Terdengar suara orang tua menegur dari kejauhan. Begitu nyaring, tetapi juga sekaligus sayup-sayup. Seolah-olah, suara itu berasal dari tempat yang dekat dan jauh secara bersamaan. "Baru kali ini kutemui kuda terhenti derapnya karena pancaran tenaga dalamku."

Angin mengembus, menerbangkan debu-debu dan rumput-rumput kering. Seorang lelaki tua berjalan di antara rumput-rumput yang sekarat menantikan hujan. Dengan kain lusuh sewarna tanah dan ikat kepala serupa, lelaki berambut kelabu itu terlihat seperti pertapa. Matanya cekung dan berwarna kelabu. Dan, kumis juga jenggotnya, semakin memberikan kesan bahwa lelaki itu bukanlah pengelana biasa.

"Kisanak," sapa Galih Kayuwangi seraya berusaha menenangkan Gelap Wukir yang kian gelisah, "mohon kiranya memberikan jalan bagi kami. Sungguh, kami hanya menumpang lewat."

Si lelaki tua menarik kedua sudut bibirnya dan terkekeh-kekeh. "Aku suka kesopananmu, Anak Muda," katanya. "Tetapi, jika kudanya saja begitu awas, tentu pemiliknya bukanlah orang sembarangan."

Sembari berjalan menyamping, lelaki tua itu berkata, "Jalan terbuka lebar di sini, Anak Muda. Mengapakah kau mesti meminta untuk diberikan jalan?"

Galih Kayuwangi menghela napas. Katanya, "Maaf jika saya terlalu lancang, tetapi pancaran tenaga dalam Kisanak telah membuat kuda saya begitu gelisah hingga tak dapat melanjutkan perjalanan. Jika berkenan, sudilah Kisanak memudarkan sejenak ajian hasthabayu milik Kisanak."

Mendengar ucapan Galih Kayuwangi, lelaki berdodot pertapa itu kian terkekeh-kekeh. Ujarnya sembari masih menyisakan tawa, "Begitukah cara anak muda zaman sekarang berbicara kepada orang tua? Aku terkesan dengan pengetahuanmu, Anak Muda. Tapi sungguh, tidak semestinya kau tetap duduk di punggung kudamu ketika meminta seorang tua melakukan sesuatu untukmu."

Galih Kayuwangi terenyak. Sungguh dia tak bermaksud untuk berlaku kurang ajar. Dia hanya khawatir melanggar petunjuk Mpu Seta Saraba jika turun dari kudanya sebelum waktu yang ditetapkan oleh sang guru. Maka katanya, "Maafkan saya, Kisanak, sungguh saya tidak bermaksud demikian. Tetapi, saya sungguh tidak berani turun dari punggung Gelap Wukir sebelum hari benar-benar gelap."

"Aha! Kau sedang melaksanakan lelaku, Anak Muda? Sungguh menarik, benar-benar menarik. Bocah bagus sepertimu, yang baru saja melalui masa remaja, telah melaksanakan lelaku. Kau mengetahui nama aji-aji yang kupancarkan, dan memiliki kuda yang begitu awas. Aku penasaran!"

Galih Kayuwangi memelenting dari punggung kudanya ketika tiba-tiba lelaki tua itu menyentakkan kain panjang yang mengalungi lehernya ke arah Galih Kayuwangi. Tak hanya itu, dia pun melompat menyambut Galih Kayuwangi di udara, dan sekali lagi menyentakkan selendangnya.

"Kisanak!" seru Galih Kayuwangi di sela-sela menangkis dan menghindari serangan lelaki tua penghadangnya. Serangan lelaki itu tak hanya berbahaya, tetapi juga mematikan. Bahkan, Gelap Wukir yang sudah sangat gelisah pun berlari menjauh. Sekarang Galih Kayuwangi harus benar-benar berusaha keras. Karena, dia harus mencari pijakan lain-yang nyaris tidak ada selain rumput kering-di tengah bulak ini.

"Kisanak," sekali lagi Galih Kayuwangi memanggil, "tolong jangan lanjutkan ini."

Lelaki tua penghadangnya menyuarakan kekeh. "Kenapa jangan?" sahutnya sembari menyundutkan kainnya. Dia memutar tubuh. Sebelah tangannya yang tidak menggenggam kain terjulur, mengincar dada Galih Kayuwangi.

Menjegal kaki penghadangnya, Galih Kayuwangi melentingkan tubuhnya mundur. "Untuk apakah menyerang saya? Kisanak tahu saya tak akan membalas."

"Mengapa tidak?" Lelaki tua berdodot pertapa menerjang Galih Kayuwangi, yang sekali lagi melentingkan tubuhnya menghindar.

"Apakah untungnya?" tanya Galih Kayuwangi, menangkis sundutan kain penghadangnya yang lagi-lagi terkekeh-kekeh.

"Aku tidak menghitung untung rugi, Anak Muda. Aku hanya penasaran."

Galih Kayuwangi terenyak, ujung selendang memecut dadanya dengan keras. Dia terlempar ke belakang, jatuh berguling di antara rumpu-rumput kering.

"NamakuSapta Winotan. Lain kali kita bertemu lagi, Anak Muda. Aku benar-benar tertarik padamu."

Dengan itu, si lelaki tua menjejakkan kaki kanannya dengan keras ke tanah, lalu melenting tinggi dan berlari di udara, meninggalkan Galih Kayuwangi. Kemudian di kejauhan, terdengar kekeh tawanya.

***

September 2014/6 April 2018


Hai, hai..., terima kasih sudah membaca, memberikan vote, dan komentar. ^^

Kritik dan saran welkam~

Kesatria LanglangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang