Peringatan

121 12 1
                                    

Seorang pemuda bertopeng menatapku dalam-dalam. Aku menahan nafas.

"Kau ingin tahu kan siapa aku sebenarnya?" tanya pemuda itu. Aku menggangguk. Dia memegang topengnya dan menariknya sedikit. Aku menelan ludah.

"Kau akan tahu sebentar lagi," Dia menarik topengnya lagi. Tapi yang kulihat adalah kosong, kegelapan penuh memutariku. Tidak ada ujung dari kegelapan itu. Aku terjatuh. Lalu sekelebat warna ungu melintas di depan mataku. Seperti ditarik oleh sesuatu, sekelebat ungu itu menghilang dan aku merasa ada yang hilang dari tubuhku. Sesuatu yang kuat, yang selalu ada di tubuhku, tiba-tiba menghilang.

"Alex, mengapa kau...?" Aku berjalan tertatih kearahnya, "Alex..."

"HAHAHA... KAU PIKIR KAU BISA MENCINTAI SANG KEMATIAN? ITULAH KONSEKUENSIMU BUNGA KESEDIHAN! KARENA KAU TELAH KEHILANGAN KEKUATANMU, KURASA SAATNYA AKU MENGAMBIL BAGIAN POHON ILUSI YANG LAIN. LALU TIDAK ADA LAGI SANG POHON ILUSI, YANG ADA HANYALAH AKU!! HAHAHA," Dia tertawa nyaring. Lalu memutar badannya menuju pintu. Ia membuka pintu itu dan mulai berjalan keluar.

"Alex kumohon... jangan..."Aku berusaha mengejarnya. Percuma saja. Aku sudah terlalu lemah. Alex menutup pintu dan aku menabrak belakang pintu. Aku mencoba memutar kenop pintu. Terkunci.

Aku melemah. Kekuatanku semakin lama semakin menghilang. Aku terduduk dan bersandar pada pintu. "Alex..." kataku lemah.

"Velly... Velly sayang," Seseorang mengguncangkan tubuhku pelan. Aku mengusap-usap mataku.

"Hmm?"

"Kamu kan sudah siap, kenapa kamu masih tidur di meja makan?" Aku melihat sekeliling. Ah, mimpi itu lagi. Sudah dua tahun berlalu, tapi hanya dia yang ada di kepalaku. Yang benar saja... kupikir aku telah melupakannya. Bahkan teman-temanku bisa melupakan orang itu. Kenapa hanya aku...?

"Vel?" ujar seorang wanita separuh baya yang memiliki rambut hitam keunguan sama seperti milikku. Matanya yang berwarna coklat memandang khawatir kearahku.

"Ah iya, Mama ... aku mau berangkat kok," Aku mengambil tas ranselku. Aku berjalan kearah pintu, kemudian berhenti. Aku berbalik dan memeluk wanita paruh baya berambut hitam itu. Dia memelukku balik.

"Wah... Tidak biasanya kamu..."

"Aku sayang Mama," kata-kata itu keluar sendiri dari mulutku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti di sekolah. Tapi yang jelas, aku tidak mau seperti waktu itu lagi. Aku sudah kehilangan Papa sejak kecil. Lalu aku pernah kehilangan Mama sekali. Aku tidak mau kehilangan dirinya untuk kedua kalinya.

Aku melambaikan tangan pada Mama yang dibalas dengan senyuman lembutnya. Aku menyambar sepeda ungu milikku dan mengendarainya. Kulihat ke belakang, Mama sudah jauh dari pandangan.

Sedikit mengenai keluargaku. Papa meninggal sekitar sepuluh tahun lalu, saat aku beranjak usia enam tahun. Papa meninggal dengan tragis. Hari itu kami-Mama, Papa, dan aku sedang menaiki sebuah kapal ferry melintasi Selat Bali. Kami berencana berlibur di Bali selama akhir tahun. Semua berjalan dengan lancer, sampai tiba-tiba terjadi kebakaran dalam kabin kapal. Semua orang panic tak terkecuali kami. Para awak kapal kemudian menurunkan sekoci. Mereka mendahulukan anak-anak dan wanita. Karena itu aku dan Mama menaiki sekoci bersama beberapa anak dan wanita lain. Kami pergi meninggalkan kapal. Papa melambaikan tangannya padaku dan Mama. Dan seandainya aku tau itu lambaian tangan terakhir dari Papa, aku mau membalas lambaian itu. Tapi sudah tak ada waktu tersisa. Kapal ferry itu meledak dengan api yang berkobar. Itulah saat-saat terakhir aku melihat Papa.

Kini Mama sudah menjadi janda-ups, bahasa lebih halusnya, single parents. Mama merawatku sejak kepergian Papa ke rumah Bapa di Sorga. Dengan hanya bermodalkan kasih sayang, Mama membuka warung bakso. Baksonya sungguh enak, kalian harus mampir sekali-kali. Sekarang Warung itu sudah sukses besar, mungkin kalian telah mendengar namanya.

The IllusionersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang