Belum sempat Mia menaruh tas yang dijinjingnya, terdengar suara teriakan dari rumah sebelah. Rumah yang ditinggalkan pemiliknya sebulan lalu.
"Tolong, tolong, tolong...!!!"
Mendengar suara itu dia lantas bergegas menuju asal suara. Mia melihat rumah itu dengan pintu yang terbuka. Ketika hendak masuk, Mia dikejutkan dengan seonggok tubuh manusia yang tergeletak di ruang tamu dengan darah segar yang mengalir. Terlihat jelas dari posisi Mia yang terpaku tepat di tengah pintu. Refleks dia menjerit sejadi-jadinya.
"Aaaaaaaa...!!!"
Darah masih mengalir dari lehernya, sehingga lantai putih itu menjadi merah bersimbah darah. Mengalir di sela-sela ruang dan menggenang di sudut tembok. Ada sebuah pisau dapur mengkilap tepat di muka mayat. Barangkali pisau itu yang telah digunakan untuk menghabisi nyawanya. Mia sangat takut dengan kejadian ini apalagi orangtuanya baru saja dia antar hendak pergi ke luar kota. Dia panik, lantas dia ke rumah Pak RT berharap secepatnya kasus ini terselesaikan.
"Pak tolong, ada mayat di rumah nomer 13", bibirnya yang masih bergetar, dengan nafas yang tidak teratur.
"Benarkah?"
"Iya Pak, benar"
"Ayo kalau begitu kita bergegas ke tempat kejadian"
Pak RT lekas menghidupkan mesin motornya. Mereka buru-buru menuju tempat kejadian. Motor Pak RT sudah tua ngambek, sehingga kami terpaksa jalan kaki dengan langkah sangat cepat. Selama ini Mia belum kenal dengan pemilik rumah itu. Pemilik rumah yang sangat tertutup. Tapi sebenarnya warga komplek ini telah hafal dengan tabiatnya. Pemilik rumah itu datang dan pergi begitu saja. Wajar jika tidak ada yang mengenalnya. Aku memperkirakan pembunuhan ini berlatar belakang perampokan.
Mereka sudah sampai di depan rumah. Tapi Mia heran dengan pintu yang sekarang tertutup, tadi dia yakin pintu itu terbuka. Ketika Pak RT membukanya, sontak mereka dikejutkan dengan sesosok wanita yang tengah duduk di sofa dengan buku di tanganya. Kontras dengan pemandangan yang Mia lihat tadi. Kontras dengan apa yang Mia katakan pada Pak RT. Dia tampak terkejut melihat kedatangan Mia dan Pak RT. Bukan wanita itu yang membuat Mia tercengang, terlebih karena di samping sofa itulah tadi Mia melihat sesosok mayat terbaring bersimbah darah.
"Oh ada tamu ya ternyata, silahkan masuk!", wanita itu menyapa sambil berdiri membenarkan rok lebarnya. Suara wanita itu aneh, terdengar menakutkan meski dengan suara yang lembut.
"Mmm... Maaf, tadi ada pembunuhan di rumah ini, apa Ibu sudah tahu?"
"Saya dari tadi duduk di sini, jangan mengada-ada dong"
"Saya tidak mengada-ada Bu, benar tadi ada. Mayatnya tadi ada di lantai tepat di samping sofa itu..." , Mia menunjuk tempat yang dia yakin di sanalah mayatnya tergeletak.
"Kenyataanya tidak ada. Tidak ada apa-apa di sini!", wanita itu mulai meresa terusik dengan kelancangan Mia.
"Sudah! biar saya periksa dulu", ujar Pak RT menengahi pembicaraan.
Mia berfikir sejenak hendak membenarkan apa yang wanita itu katakan. Tapi dia belum pikun, dan dia benar-benar masih ingat mayat itu mati di samping kursi tempat wanita itu duduk. Pak RT masuk ke dalam rumah. Memeriksa semua ruang yang ada di rumah itu. Ruang yang sangat lebar. Dia lihat semua sisi dari ruangan itu. Dan Mia masih terpaku di tempatnya dia takut masuk ke dalam, hanya terpaku di pintu masuk. Beberapa saat kemudian Pak RT kembali.
"Tidak ada apa-apa", Pak RT berbicara pada Mia, tapi dengan mimik muka yang berbeda dengan tadi sebelum dia memeriksa rumah. Mia merasa ada yang aneh dengan sikap Pak RT.
"Yakin Pak tidak ada?"
"Iya. Tidak ada"
Lalu Mia dan Pak RT hendak pergi dari rumah itu. Setelah meminta maaf pada wanitu itu. Tapi sebenarnya bukan karena mereka telah yakin tidak apa-apa di sana. Bukan itu, tapi seperti ada sesuatu yang masuk pada pikiran mereka, sesuatu yang membuat mereka tidak berani untuk lebih jauh mencurigainya.
"Loh tidak duduk dulu?", sahut wanita itu dengan nada yang masih aneh, lembut tapi menakutkan.
Saat Mia menoleh, dia jadi salah tingkah sendiri melihat sorot mata itu menusuk dan secara perlahan-lahan menggerogoti kejengkelannya. Ia merasa seperti ada yang memukuli jantungnya untuk berdegup lebih cepat dan lebih keras lagi. Apalagi ketika wanita itu berkata, "Loh tidak duduk dulu?"
Mia takut dia segera pulang begitu pula Pak RT. Tapi tetap saja wajah dan sikap Pak RT berubah semenjak dia masuk ke rumah itu. Entah apa yang dia lihat. Mia tidak tahu apa yang dia lihat, sebab tidak ada kata yang Pak RT ucap untuk menjelaskannya.
-
Gelap mulai merayap menyelimuti rumah-rumah yang ada di komplek itu. Tak terkecuali rumah yang penuh misteri. Misteri yang baru Mia peroleh beberapa jam yang lalu. Dan masih meninggalkan bekas yang mendalam di benaknya. Wanita dengan tatapan aneh.
Mia duduk di sofa ruang tengah. Tampak kedinginan meski sebenarnya hawanya tidak sedingin itu. Dia mulai jengah menanti Rina yang berjanji menemaninya malam ini, sekedar untuk mengurangi rasa takutnya.
Pintu rumah Mia diketuk keras dan tidak sabaran. Mungkin itu Rina yang berjanji akan menemaninya malam ini. Hati Mia mulai rada tenang, meski belum tahu siapa yang sedang berada di balik pintu.
"Ya, sebentar!", teriak Mia.
Sebelum membuka pintu, Mia membuka gorden meyakinkan siapa yang datang. Tidak kelihatan, mungkin dia di sisi yang tidak terlihat dari dalam. Lantas Mia buka pintunya. Berdiri seorang wanita pemilik rumah itu menyodorkaan rantang dengan tatapan yang sama ketika terakhir melihatnya tadi siang.
"Untuk Mia..."
Mia hanya diam terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa kecuali meraih rantang yang ada di depanya. Tenggorokan Mia tertahan tidak bisa dia mengucap sepatah kata pun. Perempuan itu menatapnya sejenak lalu membalikan badan melangkah pergi perlahan meninggalkan Mia yang sedang ketakutan.
Ketika perempuan itu sudah menghilang ditelan gelap. Barulah Mia sadar ada rantang di tangannya. Dia takut bukan main, lalu dia lempar rantang itu ke tanah. Sungguh mengejutkan ratang itu berisi sepasang bola mata dan sepasang telinga dengan kuah darah berwarna merah pekat. Berbau anyir.
Pemandangan yang menjijikan, darah itu mulai meresap ke tanah.
Rasanya Mia mau muntah, tetapi tidak ada yang keluar dari perutnya. Ia berjuang keras meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang terlihat, dan terbaui olehnya itu, sebetulnya hanyalah sesuatu yang hanya dia khayal saja. Tapi tidak, darah itu masih merah, bola mata itu masih di tanah seperti menatap tajam, dan dua telinga yang terserak.
Mia meuntup pintu dengan keras berharap rasa takutnya rontok bersama dengan hentakan pintu. Dia kembali ke sofa, tubuhnya menggigil, wajahnya pucat pasi. Dia gigit kain selimutnya, tak terasa keringat dingin menetes melalui pori-porinya. Mia sangat ketakutan.
Angin malam berhembus pelan masuk melalui cela dan menerpa tubuh Mia. Bulu romanya mulai bergidik. Jantungnya terpompa, keringat dingin membasahi pakainya.
"Grrrhhhuuekkhhh..."
Ada suara berdahak di dalam kamar mandi. Padahal hanya Mia yang berada di rumah ini.
"Grrrhhhhuuekkkhhh..." lagi-lagi saura itu terdengar diikuti suara air kran yang mengucur.
Mia tidak tahan dengan kejadian-kejadian ini. Dia berusaha bangkit dan memberanikan diri, memeriksa siapa yang ada di kamar mandi. Dengan langkah yang mengendap-ngendap. Tubuhnya masih menggigil, dia lihat ada sesosok perempuan di balik pintu kaca kamar mandi yang transaparan. Dia semakin mendekat, dia buka pintu itu meski ragu-ragu.
"Grrrhhhuuekkkhhh...", seorang wanita berpakaian serba putih berdahak memuntahkan darah merah. Dengan spontan menatap Mia, sorot mata yang merah merembas darah dari matanya. Sorot mata yang sangat menakutkan. Kran juga mengalir darah. Kamar mandi itu menjadi banjir darah. Mia hafal wajah itu, dia adalah pemilik rumah yang menakutkan tapi dia sudah berubah semakin manakutkan.
"Bruuk", Mia banting pintunya dia lari sekuat tenaga hendak keluar rumah. Namun lampu-lampu rumah satu per satu padam, hanya beberapa lampu remang berwarna kuning yang masih menyala.
Pintu untuk keluar terkunci, entah siapa yang menguncinya. Dia tarik sekuat tenaga tapi tidak berguna. Hanya sia-sia, pintu tetap terkunci, lantas Mia menangis sejadi-jadinya bersandar di tembok dekat pintu. Tubuhnya menggigil hebat. Hanya keringat dingin yang menerjemahkan keadaannya.
Wanita itu muncul dari balik kegelapan dan mulai mendekat, wanita dengan rambut berantakan dan pakaian serba putih. Pakaian yang pajang, sehingga wanita itu melangkah dengan menyeret pakaianya. Wajahnya penuh luka, kadang terdengar suara merintih, kadang suara tawa keluar dari mulutnya.
"Aku butuh bola matamu, aku butuh telingamu, aku butuh darahmu...", suaranya pelan tapi jelas terdengar di telinga Mia.
"Tidak, tidak, tidak...!!!", teriak Mia ketakutan.
Wanita itu semakin dekat sangat dekat, Mia palingkan mukanya dia takut menatap wanita dengan darah yang merembes dari matanya, mata yang merah. Tapi tiba-tiba wanita itu menghilang. Lampu-lampu menyala kembali.
Dan pintu yang disandarinya tiba-tiba terbuka. Sontak dia terkejut.
"Aaaaaaaa...!!!"
"Hey Mia, ada apa?", ternyata dia adalah Rina, lantas dia goyang-goyangkan tubuh Mia yang kaku ketakutan.
-
Pagi yang kelabu, awan berwarna abu-abu. Sesekali terdengar suara gagak melintasi rumah. Mereka duduk di serambi dan Rina masih memeluk Mia. Tubuhnya kaku, masih terlihat semburat pucat di wajahnya. Mia tidak mengucap sepetah kata pun pada Rina semenjak dia datang. Mulutnya kaku.
Bukan hanya langit yang kelabu, bukan hanya awan yang berwarna abu-abu. Warga komplek pun dikejutkan dengan kabar yang kelabu. Pak RT meninggal dengan cara yang tragis. Sepasang bola mata dan telinganya hilang. Dan pisau dapur berada tepat di depan mayatnya sebelum polisi memeriksa.
Pagi itu bukan hanya Pak RT yang membuat warga komplek terkejut. Terpampang dalam surat kabar diberita utama bahwa.
Ditemukan mayat wanita dan laki-laki di lereng gunung Merapi. Diperkirakan mayat itu sudah mati sebulan yang lalu. Tapi anehnya kelopak mata dan telinga mayat wanita masih terlihat segar meskipun anggota tubuh yang lain sudah membusuk. Dan juga ditemukan sebuah kitab sihir di sisi perempuan itu.
Setengah misteri Mia mungkin telah terungkap. Namun tidak pula membuat rasa takutnya berkurang. Justru dia semakin takut. Dia merasa mungkin saja berikutnya dialah yang kehilangan bola mata dan telinga. Dengan apa dia akan melihat warna dunia ini jika matanya hilang. Dan dengan apa pula dia mendengar deburan ombak jika telinganya hilang. Oh biarlah. Biar Mia saja yang menanggung ketakutan.