Bab 3

8.5K 497 15
                                    

Jam istirahat hampir saja selesai, hanya tersisa sepuluh menit sebelum bel masuk kembali berbunyi. Tapi Hinata masih santai memasak sendiri okonomiyakinya di kedai yang terletak tak jauh dari halaman belakang Konoha High School. Kedai dengan bangunan tradisional Jepang ini telah lama berdiri di sana, dan menjadi tempat nongkrong favorit Hinata dan gengnya.

"Ahh, aku kenyang." Ino menepuk pelan perutnya yang penuh.

"Dasar rakus. Kau benar-benar mirip sekali dengan babi." Sakura mengejek Ino yang memakan okonomiyaki dengan porsi jumbo.

Ino mendelik, "yang penting aku tetap cantik."

"Heleh. Pedemu itu sudah masuk tingkat dewa." Sakura merasa jijik dengan rasa percaya diri Ino yang tinggi.

"Jam berapa sekarang?" Tanya Temari, sebenarnya ini adalah upaya menghentikan ritual ejek mengejek antara Sakura-Ino yang sudah dapat dipastikan akan berlangsung lama.

Sakura melirik arlojinya, "gawat bel masuk sebentar lagi."

Mereka bertiga serentak berdiri dari kursi, hendak meninggalkan Hinata yang masih memasak.

"Apa? Yang benar saja punyaku baru matang." Hinata baru saja mengangkat okonomiyaki miliknya.

"Itukan salahmu sendiri. Kenapa memasaknya lama sekali?" Ino sudah berada di depan kedai.

"Lain kali kami datang lagi, Ba-san." Hinata membungkus okonomiyakinya dengan segera, berencana memakannya dalam perjalanan.

"Belajar yang benar, ya!" Teriak Shizune. "Sebenarnya mereka anak-anak yang baik." Gumamnya kemudian.

***

"Unggu kuu." Hinata berteriak karena tertinggal di belakang, ia berteriak dengan mulut penuh, sisa okonomiyaki yang ia makan di jalan.

"Telan dulu makananmu!" Perintah Ino, sudah jelas suara Hinata tak terdengar dengan mulut terjejal seperti itu.

Hinata membuat ekspresi seperti ia akan memuntahkan makannya di wajah Ino. "Iuhhhh ... kau menjijikan, Hinata."

Hinata hanya tersenyum puas melihat ekspresi jijik Ino.

"Cepatlah! Aku tak mau dijewer Anko Sensei." Gerutu Temari, terkadang ia lelah menjadi penengah.

Ino dan Sakura merentangkan tangannya ke depan, lalu membuat simpul untuk dijadikan pijakan Hinata dan Temari saat memanjat tembok belakang KHS yang setinggi leher mereka. Hinata memanjat duluan.

"Hinata."

"Jangan tarik-tarik! Rokku melorot."

"Ini! Aku mau memberikan rokokmu yang tertinggal di meja. Harusnya kau berterima kasih!"

Hinata meraih rokok yang diberikan Ino, mengigit bungkusnya agar tak hancur jika dimasukkan ke dalam saku rok.

"Ehh, pelajaran siang ini apa?" Tanya Sakura.

"Bukannya pelajaran siang ini tidur?" Hinata sudah setengah jalan, ia melirik Sakura saat memanjat hingga tak menyadari sosok yang melintas di balik tembok. Dan saat ia hendak melompat, ia kaget sampai ....

Gubrak ....

Hinata terjatuh dengan mata terbelalak. Entah kaget karena efek jatuh atau karena sosok yang ada di balik tembok itu adalah Naruto.

"Kenapa Hinata?" teriak Ino dan Sakura, bersamaan. Mereka berjinjit untuk melihat keadaan Hinata.

Melihat Naruto, segera Ino dan Sakura berbalik kembali. Menyembunyikan diri di balik tembok. Temari yang hendak berjijit untuk melihat keadaan Hinata juga segera ditarik.

"Apa? Aku mau melihat keadaan Hinata?"

"Sssttt ..." Sakura meletakkan telunjuknya di depan bibir. "Naruto-senpai ada disana." Temari bersidekap, lalu memutar bola matanya. Bosan dengan sikap pencitraan Sakura dan Ino.

***

"Apa yang kau lihat?" Masih dalam posisi terduduk Hinata melotot memandang Naruto, sambil memegangi bokongnya yang sakit.

"Kalian makan siang di luar, ya?"

Lho?

"Di gigi depanmu menempel bekasnya." Naruto menunjuk mulut Hinata, tepatnya pada gigi depannya.

Hinata refleks menutup mulutnya, malu. Ia kira Naruto punya kemampuan spiritual untuk mengetahui pikirannya. Tapi ternyata Naruto tahu dari sisa makanan yang menempel di giginya.

"Menyelinap saat istirahat, walaupun tak ketahuan tetap saja kelakuan kalian salah." Naruto melangkah mendekati Hinata. "Kalau sekarang suka merokok, nanti berbahaya bagi anak yang dilahirkan. Ini kubuang, ya?" Ia lalu melangkah memungut bungkus rokok yang tergeletak, lalu melongos pergi meninggalkan Hinata yang menganga tanpa bisa mengatakan apa-apa.

Setelah dirasa Naruto pergi, Sakura, Ino juga Temari segera memanjat. Khawatir Hinata akan segera melabrak Naruto, mengingat wataknya yang keras kepala dan susah dinasehati.

"Hinata." Ino hendak meraih Hinata yang sudah berdiri dengan tangan terkepal.

"Ugh! Aku jadi naik darah!" Hinata menghentakkan kakinya ke tanah. "Berlagak jadi murid teladan, lagaknya seperti pendeta, sok menasehati orang." Omel Hinata, tak terima dengan sikap Naruto yang menurutnya telah mempermalukan dirinya.

"Lalu? Kenapa tak kau labrak saja?" Temari menaikkan satu alisnya, sambil bersidekap.

Sial!

Hinata diam, ia bingung harus menjawab apa. Temari selalu tahu apa yang sebenarnya Hinata rasakan. Mungkin ia terlihat marah, tapi sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya. Ia senang dengan perhatian Naruto, meski cara penyampaiannya terkesan datar dan cuek.

"Masa iya Hinata akan melabrak Naruto-senpai?" Ino membela. "Tentu saja cara membalasnya harus berbeda."

"Kalau begini bagaimana? Bilang saja kau jatuh cinta padanya, lalu setelah pacaran kau campakkan dia dengan kejam." Ide gila tiba-tiba muncul di kepala Sakura.

"Heeee ... " Teriakkan kaget Ino memekakan telinga teman-temannya, sehingga mereka refleks menutup telinganya masing-masing."

"Kau ini merusak telingaku." Gerutu Temari.

"Aku hanya bercanda. Lagipula percuma, tak ada waktu lagi. Karena tinggal tiga bulan lagi Naruto-senpai akan lulus."

Napas Hinata sedikit tercengkat, kaget. Jika Naruto lulus, ia tak akan lagi melihatnya saat latihan atletik, melihatnya saat di kantin, atau tak akan pernah bertemu bahkan melihatnya lagi. Tidak! Hinata tak mau itu terjadi.

"Itu ide bagus! Percuma atau tidak aku akan tetap mencobanya."

"Kau serius, Hinata?" Ino berteriak, hampir tak percaya.

"Iya. Aku serius! Bagaimana jika kita taruhan?"

"Horee." Sakura tiba-tiba semangat.

"Ayo, taruhan!" Ino pun ikut andil, sedangkan Temari hanya menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir.





To be continue....




I Love You, Naruto (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang