BAB 5 DIVIA

48 4 13
                                    

***

Divia menatap mentari yang  berselubung diantara awan-awan putih yang sedang menari riang berusaha untuk menghibur sang mentari agar tetap bersinar dengan terangnya meski tak sedikit insan yang membenci sinarnya yang teramat tajam.

Sungguh berbeda sekali dengan awan yang selalu digemari oleh banyak orang, bahkan mereka selalu menantikan awan untuk menutupi sinar sang mentari itu sendiri, terkutuk lah manusia yang membenci sinar mentari, bayangkan saja bila mentari berhenti untuk menyinari kehidupan mereka,  apa mereka bisa hidup dengan tarian awan? Meski begitu, awan dan mentari tampak akur dengan bendungan dengki yang tidak dapat disirnakan dari relung hati si mentari. Yaa... Mentari belajar mengalah dan meredam rasa dengkinya terhadap sang awan.

Dengan melihat mentari, Divia seperti melihat dirinya sendiri. Selalu saja terlihat jahat dan buruk meski ada niat baik yang tersirat dihatinya, lalu tertutupi dengan orang-orang yang memaksakan diri menjadi baik hanya karna ingin mendapat perhatian dari orang sekitar.

Itulah salah satu alasan mengapa ia memilih untuk tetap menjadi wanita yang kasar namun bermanfaat bagi banyak orang daripada harus memaksakan diri menjadi baik tapi tidak ada guna, meski larut dalam cacian yang harus diterimanya.

Divia sudah terbiasa akan pahitnya kehidupan, terkadang ia berfikir mengapa takdir begitu kejam terhadap hidupnya? Setelah dilalui alur cerita yang teramat menyakitkan, kini ia tidak dapat menyentuh rasa kasih sayang dari siapapun.

Ia harus berdiri sendiri tanpa uluran tangan orang tua, berjuang tanpa merasakan pengorbanan dari orang-orang terkasihnya, dan kenyataan pahit lainnya yang harus ia terima.

Jangan tanya dimana ibu Divia, wanita jalang itu sudah lama menghilang bersama pria lain dan meninggalkan seorang suami yang sedang sekarat untuk  memperjuangkan hidupnya kembali.

Merawat seorang ayah yang sedang berada diambang-ambang kematian bukanlah perkara mudah bagi anak seusia Divia waktu itu. Seorang gadis kecil yang harus mencuci baju sang ayah, mengganti popok bila ayahnya sedang melakukan kewajiban manusiawi yang tidak dapat dihindari, dan hal lainnya. Ibunya? Ntahlah... Divia tidak peduli lagi...

"Terkadang kau harus meminum sedikit kafein untuk mengiringi lamunanmu itu, Nak" pak Irwan yang tiba-tiba datang menyodorkan secangkir kopi kepada Divia membuat Divia terkesiap menyadarkan diri dari lamunan panjangnya.

Kini mereka berdua berada di rooftop kantor yang menyuguhi pemandangan kota Washington pada pagi hari.

"Mengapa selalu anda yang menghampiri saya pak?" Masih sama seperti Divia yang pak Irwan kenal,dingin dan arogan.

"Berhentilah bersikap kaku terhadapku Div" pak Irwan menyeruput kopinya dengan perlahan.

"Karena anda atasanku pak" Divia pun ikut menyeruput kopi miliknya.

"Berhenti kaku mulai detik ini Divia, atau kau akan kubawa kehadapan cucuku lagi" pak Irwan meletakkan cangkir putih itu disamping tubuhnya.

Divia tersenyum dengan sedikit tawa didalamnya, dan pak Irwan sangat rindu melihat senyum itu.

"Anda berlebihan pak" Divia menghentikan senyum maut itu dan merasakan keheningan disampingnya, lebih mengejutkan lagi ketika ia melihat pak Irwan sudah melenggang pergi.

"Mau kemana pak?" Teriakan Divia membuat pak Irwan berhenti melangkah dan berbalik badan.

"Mau membawa cucuku kemari karena kau terus membangkang atasanmu" Jawab kakek tua itu sambil memberikan cengiran kuda andalannya.

Divia berlari menuju tempat  pak Irwan berdiri dan menarik lengan itu dengan sangat hati-hati untuk kembali duduk bersamanya.

"Baiklah pak, saya...aku akan mengusahakan hal itu terjadi" Divia memilih untuk mengikuti permintaan pak Irwan dibandingkan harus bertemu lagi dengan pria iblis seperti cucunya. Pak Irwan hanya tersenyum penuh kemenangan melihat reaksi Divia, padahal ia tidak bermaksud menemui David karna David akan mendatanginya lebih dulu tanpa harus repot-repot menjemput pria itu diapartemennya.

My General ManagerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang