Violetta merasa jika sejak tadi ia mendengar suara-suara yang terus memanggilnya. Namun, ia sama sekali tak mendapati sosok apapun yang berbicara padanya. Karena hal ini, Violetta tak bisa berkonsentrasi dalam pelajaran di sekolahnya tadi. Suara itu kembali datang dan terus menggema di telinganya. Beberapa orang seolah-olah sedang menerornya dengan mengatakan hal yang sama di telinganya.
“Dia sudah bangkit... dia sudah bangkit... dia sudah memilih.”
Violetta yakin ia mendengar kata-kata itu. Suaranya masih tak hilang dari telinga maupun pikirannya. Meskipun ia sudah menutup telinganya dengan kedua tangan, suara-suara itu terus menggema dalam tubuhnya. Suara-suara itu saling tumpang tindih. Mereka semua memliki intonasi dan nada yang berbeda. Violetta benar-benar terganggu. Ia juga tak memahami maksud dari kata-kata itu.
“Apakah aku berhalusinasi?” tanya Violetta pada dirinya sendiri. Ia memutuskan untuk mengabaikan suara-suara yang terus ia dengar.
“Sebaiknya aku tak terlalu memikirkannya. Aku bisa jadi gila kalau terus menerus mempermasalahkannya. Mungkin aku memang sedang berhalusinasi.” katanya meyakinkan dirinya sendiri.
Violetta beranjak dari kamar tidurnya dan berjalan menuju dapur untuk membantu ibunya menyiapkan makan malam.
“Ibu, apakah Ayah akan pulang malam ini?” Violetta bertanya pada ibunya sambil mengelap gelas-gelas kaca.
“Mungkin tidak malam ini, Vio. Kau paham kan jika Ayahmu itu sibuk dengan pekerjaannya?”
“Tapi, Bu. Ayah tidak pulang selama seminggu ini. Ayah tidak pernah pulang selama ini.” kata Violetta merengek.
"Vio, kau bukan anak kecil lagi, kan? Jadi, berhentilah bertingkah seperti anak-anak." Suara ibunya meninggi. Namun, sedetik kemudian Ibu Violetta kembali bersikap ramah padanya.
"Ayo kita makan, Violetta!" Ibu Violetta menarik tangan anaknya menuju meja makan. Kedua wanita itu makan dalam diam. Tak ada satupun suara yang mereka keluarkan pada makan malam kali ini. Tentu saja Violetta masih mendengar suara misterius yang terus menghantuinya itu.
Setelah makan, Violetta memutuskan untuk tidak kembali ke kamarnya, tetapi ia ingin berjalan-jalan di jalanan sekitar rumahnya. Violetta melakukannya untuk menghilangkan kebosanan dan kekesalan yang menyerangnya. Sepanjang perjalanan, ia tak menemukan satupun hal yang menarik. Kini, ia berada di pinggiran sungai Rein. Violetta memandang air sungai yang jernih sambil terus bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia punya masalah lain selain suara-suara misterius yang selalu ia dengar. Ayah yang sangat dihormatinya tak kunjung pulang ke rumah. Gadis berambut perak itu benar-benar merindukan pelukan sang ayah. Bagaimana tidak, disaat dirinya tengah mengalami berbagai emosi yang buruk, sang ayah selalu menemani dan mendukungnya. Ia juga sangat mengagumi kerja keras ayahnya dalam menghidupi kehidupannya dan ibunya.
Pada akhirnya, Violetta memutuskan untuk kembali ke rumah dan menutupi dirinya dengan selimut yang hangat. Tak ada satupun pencahayaan di rumah saat dirinya kembali.
"Apakah Ibu sudah tidur?"
"Tapi aku melihat ada setitik cahaya di sana." kata Violetta sembari berjalan menuju kamar ibunya. Ia mengetuk pelan pintu kamar yang masih tertutup rapat itu. Tak ada jawaban dari Ibu Violetta setelah beberapa menit berlalu. Violetta memutuskan untuk pergi meninggalkan kamar ibunya. Namun, niat itu diurungkannya saat ia mendengar suara teriakan. Suaranya mirip seperti suara ayahnya, "Tunggu, suara Ayah? Bukankah Ayah belum pulang?"
Violetta penasaran dengan suara yang baru saja didengarnya itu. Dengan hati-hati, ia membuka knop pintu yang ternyata tak terkunci. Tubuhnya menegang saat pintu terbuka lebar. Gadis itu tak dapat mengucapkan satu katapun melihat sang ayah ternyata terbujur kaku di lantai kamar dengan berlumuran darah. Violetta mengalihkan pandangannya pada ibunya yang membawa pisau daging cukup besar. Pisau itu berlumuran darah juga.
"Ibu?" tanya Violetta dengan suara bergetar. Ia berusaha menahan agar air matanya tak jatuh sekarang. Ibunya terkejut lalu ia menoleh. Raut wajahnya yang bengis berubah menjadi kaget.
"Vio? K..ka..ka..kau belum tidur?"
"Apa maksudnya ini, Bu? Siapa mayat yang mirip Ayah ini?" Violetta tak mampu menahan air matanya lagi.
"Itu...itu.." Wanita paruh baya itu tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
"Apakah itu Ayah, Bu? Mengapa Ibu membawa pisau berlumuran darah? Mengapa mayat itu juga berlumuran darah?" Kali ini nada bicara Violetta sedikit meninggi, tetapi ia tetap terisak. Sang ibu tak mampu lagi menahan dirinya lagi.
"Maafkan Ibu, Violetta. I..ibu membunuh ayahmu." jawab sang ibu tergagap.
"I...i..ibu pasti bercanda, kan? Tidak mungkin orang yang disana itu Ayah, kan? Ibu katakan padaku kalau aku salah." Violetta tiba-tiba histeris. Ibu Violetta hanya mampu menunduk.
"Ibu telah membunuh Ayahmu, Violetta." tegasnya. Violetta yang tak mampu berkata-kata langsung berlari menuju kamarnya sambil tetap menangis.
Di dalam kamar, Violetta tak henti hentinya menangis. Ia tak menyangka ayahnya akan pulang secepat ini. Namun, kali ini ayahnya tak pulang untuk menemuinya. Ayahnya lebih memilih untuk menemui sang Pencipta. Tak ada firasat Violetta mengenai kejadian malam ini. Ia merasa semua baik-baik saja. Violetta tak habis pikir dengan sang Ibu yang tega membunuh suaminya sendiri. Ia tak tahu alasannya. Menurutnya, pasangan suami istri itu tak pernah bertengkar sekalipun, setidaknya tidak di hadapan Violetta.
Malam terasa sangat panjang. Hawa yang jauh lebih dingin dibandingkan malam-malam sebelumnya menusuk kulit putih Violetta yang sedari berusaha melupakan kejadian yang baru dialaminya. Violetta masih termenung sendirian di kamarnya. Bekas-bekas air mata masih terlihat di area wajahnya. Lama kelamaan, mata gadis cantik itu mulai menutup dan dirinya mulai terlarut dalam mimpi.
°°°°°°
Sinar mentari mulai masuk menembus jendela kamar Violetta yang sederhana. Gadis remaja itu mulai mengucek matanya perlahan. Ia segera bangkit dari tempat tidur dan pergi menuju kamar kedua orang tua untuk memastikan bahwa kejadian semalam hanya khayalannya semata.
Air mata kembali menetes saat Violetta mengetahui jika kejadian kemarin adalah nyata. Sang ayah masih terbujur kaku disana. Ceceran darah yang ada di sekitarnya masih sedikit basah. Violetta mendorong pintu kamar dengan kuat untuk melihat keseluruhan kamar ayah dan ibunya itu. Matanya membulat tiba-tiba. Ia melihat sang ibu duduk di kursi dengan lehernya yang hampir putus. Pisau daging yang kemarin digunakan ibu Violetta untuk membunuh ayahnya kembali digunakan ibunya untuk membunuh dirinya sendiri. Violetta kembali dilanda keterkejutan yang luar biasa. Kedua orangtuanya mati dalam semalam tanpa meninggalkan pesan apapun. Belum hilang keterkejutannya, ia kembali mendengar suara-suara misterius yang terus menerornya kemarin. Namun, kali ini mereka berkata sesuatu yang membuat Violetta bagai tersambar petir.
"Kami berhasil membunuh orangtuanya. Kami berhasil memusnahkan keluarganya. Kami berhasil menghancurkan hatinya. Kami berhasil membuat White Witch sendirian."
Yo.. Minna! Kembali lagi dengan Mirai dengan membawa cerita baru. Pasti banyak typo dan kalimat yang berbelit-belit, kan? Maafkan Mirai 😂😂. Kritik dan saran akan sangat membantu dalam pengembangan cerita ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chosen White Witch
Fantasy[15+] [Fantasy & Minor Romance] Violetta mendengar suara panggilan yang memanggilnya ke dunia yang asing baginya. Bukan hanya itu tiba-tiba ia memiliki kekuatan sihir yang sangat besar dan tak terbatas. Orang-orang di dunia lain itu memanggil Violet...