Violetta lagi-lagi dibuat bingung oleh takdir. Ia tak menyangka polisi tidak menetapkannya sebagai tersangka pembunuhan keluarga Wagner itu. Rambut peraknya sesekali mengangkat ke atas akibat tiupan angin. Tangannya mengenggam pagar batas atap kantor polisi itu dengan kuat. Violetta merenung untuk kesekian kalinya. Hidup sedang mempermainkannya saat ini.
Violetta tahu ia bukan gadis yang mudah menangis melihat seseorang tersakiti. Ia sering kali mengabaikan berbagai aksi kekerasan yang ada di sekitarnya. Tinggal di kota penjahat sejak awal memang bukan pilihan bagus. Mungkin alasan itu juga yang menjadikan Violetta tak ditetapkan sebagai tersangka. Air matanya kini telah kering. Tak ada setetes pun dari air mata itu mengaliri pipi gadis cantik ini.
Satu per satu peristiwa yang dialami Violetta mulai mengubah garis hidupnya. Sebulan setelah peristiwa bunuh diri keluarga Wagner, Violetta menjadi gadis yang tak diinginkan semua orang. Rumor mengenai dirinya telah tersebar hingga sudut terkecil kota ini. Tiap kali, gadis itu ada di jalanan kota, warga kota menghindari berkontak mata dengannya. Tak jarang cacian maki terlontar kepada dirinya.
"Gadis kecil penjahat."
"Serigala berbulu domba."
"Jadi, dia gadis yang membunuh keluarga dan kerabatnya sendiri?"
"Dia gadis tak tahu malu, masih saja dia berkeliaran di kota ini."
"Bagaimana polisi tak menangkapnya saja?"
"Mati saja, kau!"
Violetta sudah mendengar banyak kata-kata yang serupa dan ia sama sekali tak berniat membalasnya. Ia mempercepat langkahnya menuju tempat tinggal barunya, sebuah gudang bekas di ujung timur kota. Perlahan, Violetta membuka pintu gudang yang berkarat. Dia duduk di sudut gudang yang tak beralas. Violetta memutuskan untuk tak tinggal dengan siapapun agar tidak ada orang yang mati lagi jika berdekatan dengan dirinya.
Burung-burung dari hutan di sebelah hutan mulai menghampiri Violetta yang menaburkan remah-remah roti di luar jendela. Sambil memandang burung-burung yang makan, ingatan Violetta tentang kejadian sebulan lalu kembali berputar dalam pikirannya. Violetta tak lagi menangis meskipun hatinya sedang tersayat.
"Kakak Violetta! Aku menemukan kumbang tanduk di hutan." Sosok anak laki-laki berusia lima tahun mendekati Violetta.
"Hei, Ciel tunggu aku!" Seorang anak perempuan yang berwajah mirip dengan anak laki-laki itu berusaha mengejarnya.
"Riel, kau lambat," ucap Ciel sambil menjulurkan lidahnya.
"Kakak, lihatlah ini!" Ciel dan Riel menyodorkan seekor kumbang tanduk yang cukup besar pada Violetta. Namun, bukannya menanggapi, Violetta malah membuang mukanya.
Beberapa hari terakhir ini, kedua anak kembar itu selalu mengganggu Violetta. Violetta sudah berusaha menjauh dan mengabaikan kedua bocah itu. Namun, kedua bocah itu tetap tak henti-hentinya menganggu Violetta.
"Kak Violetta, keluarlah dari gudang itu dan bermainlah bersama kami," ajak Ciel.
"Itu benar, Kakak. Ayo kita bermain!" tambah Riel. Violetta bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menjauhi jendela. Melihat hal itu, Ciel dan Riel sangat bersemangat. Violetta berdiri tepat di balik pintu dan tangannya akan menarik knop pintu, tetapi ia langsung berbalik dan berbaring dengan selimut yang menutupi hampir seluruh bagian tubuhnya.
"Baiklah, Kakak. Besok kita bermain lagi," ucap Ciel dan Riel girang. Mereka berdua berlari menjauhi gudang tempat tinggal Violetta.
"Mereka selalu saja seperti itu. Bocah yang aneh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Chosen White Witch
Fantasy[15+] [Fantasy & Minor Romance] Violetta mendengar suara panggilan yang memanggilnya ke dunia yang asing baginya. Bukan hanya itu tiba-tiba ia memiliki kekuatan sihir yang sangat besar dan tak terbatas. Orang-orang di dunia lain itu memanggil Violet...