Blue Paper!

36 4 18
                                    

hola..
Mbak Metta kembali menyapa. hahaha

have fun! aku tunggu votement-nya ya (^0^)/

.

.

.

Kemancetan lalu lintas memberikan banyak tekanan pada para pengemudi, beberapa orang tidak sabar membunyikan klakson agar kendaraan di depannya bergerak. Seorang yang tengah berada dalam sebuah mobil hitam mendesah kelewat kasar. Dia harusnya memilih bertahan di tempat tadi daripada harus pulang saat macet seperti ini. Disaat seperti ini, marah sama sekali tidak ada gunanya. Dia melonggarkan ikatan dasi yang melingkar di kerah bajunya.

Dering ponsel mengalihkan perhatiannya dari padatnya kendaraan.

"gimana lo udah berhasil?" tanya orang di seberang tanpa basa-basi.

Yang ditanya mendengus pelan. Tidak tahukan dia perjuangannya?

"udah. lo harus bayar mahal." Ujar pria itu.

"apapun itu. Oh iya, gue ada titipan." jawab si penelpon.

"oh god! Not again!"

"aku mengandalkanmu." Ujar orang di seberang.

Panggilan di tutup dan si pria hanya bisa menggelengkan kepala. Kenapa dia harus setuju?

Di lain tempat, Metta mengulang rangkaian kejadian hari ini dalam lamunanya. Bagaimana pria itu masuk dan masih membawa rasa baginya. Bagaimana dia menyapa, senyumannya, sentuhannya. Metta begidik. Tidak lagi. Dia tidak akan lagi mengharapkan apapun. Seorang Rama Ferdinan sudah kadaluarsa, masanya sudah lewat dan sekali lagi Metta tidak akan mau kembali.

"neng, sudah sampai." Abang ojol menyadarkan Metta dari lamunannya.

"eh, berapa mang?" tanya Metta sambil mengeluarkan dompet.

Si pengemudi menunjukkan deretan angka di ponselnya. Setelah membayar, Metta membuka gerbang rumahnya. Mama nya sudah menunggu disana.

"Mama kok di luar?" tanya Metta.

"nungguin kamu." Jawab sang Mama.

Metta tersenyum lalu memeluk orang terkasih yang selalu menjadi panutan dalam hidupnya. Di ruang keluarga, Metta melihat adik semata wayangnya, Kanna, duduk sambil memangku semangkuk keripik. Dia terlihat fokus melihat televisi. Metta diam-diam menghela napas lelah.

"kamu mandi dulu terus makan. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu." Ujar Mama Dewita, ibu Metta.

Metta mengangguk dan masuk ke kamarnya. Bukan untuk mandi tapi untuk merebahkan diri. Hari ini terlalu melelahkan, Metta tidak tahu kalau hanya bertemu orang di masa lalu bisa semelelahkan ini. Di rumah pun dia disambut dengan pemandangan yang mengingatkannya pada pertengkaran tempo hari.

Ingatannya memutar cepat pada ucapan Kanna yang sempat membuatnya bungkam, bukan karena dia tidak memiliki balasan tapi dia menahan diri agar tidak meledak saat itu juga. Adiknya itu meminta ijin untuk menikah disaat usianya masih seumur tunas jagung. Namun, bukan itu saja yang membuat Metta naik pitam.

"kak kalau seandainya Mas mau dateng ke rumah sabtu besok, gimana menurut kakak?" tanya Kanna tiba-tiba, setelah dia masuk tanpa permisi ke kamar Metta.

"mas?"

"pacar aku kak." Ujar Kanna.

"pacar yang mana?" sahut Metta. Sebenarnya tidak terlalu peduli tapi tak tak urung Metta khawatir pada adik satu-satunya ini. Bagaimanapun juga menjengkelkannya Kanna, dia tetap adiknya.

[S-2] LookoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang