BAB II : LANGIT BIRU

63 15 5
                                    

Di bawah pohon lobi-lobi yang rindang, terlihat sesosok gadis mungil yang telah merebahkan tubuhnya di hamparan rumput lembut. Semilir angin berhembus pelan, sulur-sulur cahaya matahari menembus melalui celah-celah dedaunan memberikan kehangatan bagi siapa saja yang berteduh di bawahnya.

July yang duduk bersandar pada pohon lobi-lobi melirik ke belakang, di mana Abel tengah berbaring dengan damai.

"Abel, apa kau sedang tidur?"

"Tidak. Aku hanya sedang menatap langit biru di atas kita."

"Abel... Apakah Ayahmu sedang melakukan penelitian?"

"Oh astaga! Aku lupa!" Abel berseru keras sambil bangkit berdiri dari rumput lembut yang menjadi alasnya berbaring tadi.

July yang berada di belakangnya terkejut setengah mati, mendengar seruan keras di tengah situasi yang amat hening, "Jangan berteriak seperti itu Abel! Kau membuat jantungku berdetak dengan cepat..."

"Maaf July. Aku lupa, aku seharusnya membantu Ayahku sekarang," Abel menatap July dengan mimik wajahnya yang diliputi rasa bersalah.

"Permintaan maaf diterima. Ayo kita pulang, Ayahmu pasti sudah menunggumu." July bangkit berdiri dari rumput lembut yang menjadi alasnya duduk tadi, lalu melangkah bersama Abel sambil membawa dua keranjang berisi buah kara dan buah lobi-lobi.

"July, sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak bisa menghabiskan waktuku bersamamu, sampai langit biru berubah menjadi jingga." Abel menatap tak enak hati pada July. Ia sudah berjanji akan menghabiskan waktunya dengan July, walau hanya sekedar bercerita sampai senja tiba.

July memutar bola matanya jengah. Abel selalu saja berpikir berlebihan tentang perasaan orang lain, "Iya. Permintaan maaf diterima, untuk kedua kalinya."

"Terimakasih. July ku memang yang terbaik," Abel tersenyum dengan lebar, seakan beban hidup yang menekannya meluap keudara, hancur seketika menjadi butiran-butiran embun.

July menatap punggung Abel yang sudah melangkah pergi mendahuluinya. Ia sering khawatir dengan sikap Abel yang terlampau polos serta rasa keingintahuannya yang besar bisa membawanya masuk ke dalam sebuah masalah.

"July ayo!"

July tersadar dari lamunannya, ia setengah berlari menepis jaraknya dengan Abel yang sudah terlampau jauh di depan.

***

Abel baru saja tiba di rumah, ia langsung bergegas pergi ke laboratorium milik ayahnya yang berada di bawah tanah, tepat di belakang rumahnya yang jaraknya tidak jauh dari kebun rumah kaca. Abel melangkah menghampiri ayahnya diiringi senyuman yang terbit dari bibirnya saat mendapati sang ayah yang tengah serius bekerja.

"Ayah. Aku pulang! Aku banyak memetik buah lobi-lobi tadi."

"Oh, kau rupanya putriku," Ayah abel berbalik dan tersenyum lembut kearah putri semata wayangnya.

"Apa ayah sudah selesai?"

"Belum sayang, ayah sedang membuat perangkat lunak di dalam satelit kecil ini," Ayah abel menatap barang-barang yang berserakan di atas meja laboratoriumnya.

Abel sontak mengikuti arah pandang ayahnya, "Ayah, untuk apa satelit kecil itu?"

"Nanti kau akan tahu," ucap ayah abel penuh misteri membuat abel mengernyit kebingungan.

"Baiklah. Oh iya, Ayah kau tidak lupa, kan?"

"Tidak. Jika, itu tentang janji ayah menceritakan keadaan bumi sebelum hancur," jawab Ayah abel diiringi kekehan pelan yang diikuti kekehan keras dari Abel.

SCOVIO HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang