BAB III : BUMI

66 13 21
                                    

Gelap mencabik cahaya
Membunuh sang surya
Meraup keindahan dunia
Membawa langit mati penuh duka

Meninggalkan kehampaan dalam jiwa
Sang fana dan pendosa
Meraung memohon pengampunan akan dosa
Kepada Sang Pencipta

Tangisan akan derita
Menghancurkan hati Sang Pencipta
Membumi hanguskan sang pendosa
Menjatuhkan hukum akan manusia

***

Lukas sangat bahagia memiliki keluarga kecil yang selalu memberikan kehangatan bagi jiwanya, lelaki mana yang tidak bahagia jika menikah dengan wanita yang dicintainya terlebih lagi wanita itu melahirkan benihnya, bahkan untuk seorang pemimpin tertinggi seperti Lukas pun ia sangat bersyukur. Tiada hal lain yang terasa bahagia jika selain dengan keluarga kecilnya.

"Apa kau tidak bosan terus mempelajari hal tentang bumi nak," tanya Rigel kepada Abel yang duduk di kursi kayu, terhalang meja makan di hadapannya.

"Tidak juga, Bu."

"Lalu, apakah kau tidak ingin memepelajari hal lain selain tentang bumi?" tanya Lukas kepada Abel.

"Entahlah Yah, mungkin nanti."

"Ya, mungkin nanti, ketika kau memiliki seorang adik," ucap Lukas sambil melirik kearah Rigel Ibunda Abel.

"Wah... Aku ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang kakak sekarang," mata hitam polos Abel membulat dengan sempurna ketika membahas seorang adik.

"Bisa diatur," jawab Lukas, Ayahanda Abel sambil terkekeh pelan.

Rona merah membuncah di kulit wajah Rigel, "Ayo cepat makan, nanti makanan ini akan dingin dan rasanya akan berbeda ketika masih hangat," Rigel terkekeh pelan diikuti oleh kekehan Abel dan Lukas.

Matahari telah berlabuh di peraduannya, memberikan tempat bagi Bulan untuk memancarkan sinar keperakannya yang meliputi langit malam. Nuansa hening amat pekat, seolah sang kegaduhan tak ingin mengganggu sang kesunyian. Malam semakin larut, membawa setiap insan terlelap dalam tidur, membiarkannya membius raga memasuki alam khayal.

Tanpa disadari, jauh di luar sana ada jiwa-jiwa yang memperhatikan kedamaian planet bumi. Jiwa itu sangat kuat dan sangat ingin memijakkan kakinya di tanah berpasir milik planet bumi.

***

Matahari perlahan bersinar mengufuk di timur bersuar merah keemasan, bias-bias embun pagi sejuk menyapa sang fajar, kicau merdu burung merpati menambah kehangatan, semilir angin menari berhembus bersama mentari, waktu kembali berganti, pagi menyambut lagi.

Semburat keemasan masuk melalu celah-celah pergantian udara di kamar Abel. Abel bangun lebih cepat dari jam weker yang distelnya.

Abel melangkah menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, ia membuka satu persatu kancing bajunya kemudian melangkah masuk ke dalam bak mandi air hangat berwarna cokelat tua yang terbuat dari kayu yang setiap harinya dibersihkan agar tidak berlumut.

Bak mandi air hangat itu menguarkan aroma khas yang menggoda bagi siapa saja yang berada didekatnya untuk masuk dan berendam di dalamnya. Aroma harum sari bunga dan rempah-rempah membawa kesan kenyamanan tersendiri bagi siapa saja yang berada di dalamnya hingga terlena begitu lama untuk menikmati setiap kehangatan yang tercipta.

Bumi ini dahulu rusak, bahkan untuk mandi saja manusia sangat kesusahan, bernapas pun manusia harus menggunakan pil merah. Untungnya waktu itu planet bumi memiliki seorang ilmuwan hebat yang membuat tim khusus sehingga dapat membuat sebuah penyaring air dan udara yang dapat mengikat berbagai macam radikal bebas dan dapat digunakan hingga saat ini. Penyaring air dan udara itu terus diperbaharui dari masa ke masa untuk memaksimalkan kinerjanya.

***

Abel memang sengaja ingin membuat selai buah lobi-lobi kesukaannya dan juga kesukaan ibunya Rigel Dharmawangsa. Selain itu, buah lobi-lobi memang sangat cocok dibuat olahan sebagai selai karena rasanya yang masam dan diselipi rasa manis yang memikat serta dilengkapi dengan aromanya yang menggoda membuat siapa saja tidak akan menolak jika dihadapkan dengan selai buah lobi-lobi.

"Ibu, bagaimana rasanya? Enak?" Abel memandangi ibunya dengan perasaan hati tak karuan.

Rigel memasukkan satu gigitan roti berwarna cokelat keemasan tanda telah dipanggang yang di dalamnya berisi selai buah lobi-lobi ke dalam mulutnya. Lalu berucap, "Tidak mengecewakan," diiringi senyuman yang terbit dari bibirnya.

"Sepertinya Ayah harus merasakannya juga," Lukas mengambil sepotong roti yang sudah dipanggang dari atas piring lalu menyodorkannya kepada Abel untuk diolesi selai buatannya.

"Tentu saja Ayah, ini," jawab Abel diikuti jemari tangannya yang mengolesi roti panggang dengan selai buah lobi-lobi di tangan Lukas sambil memasang seulas senyum manis di wajahnya.

Lukas mencoba selai buatan anaknya. Lalu berucap, "Tidak mengecewakan," jawaban Lukas yang sama dengan Rigel membuat ibu dan anak itu tertawa keras.

Setelah selesai sarapan Lukas berangkat bekerja. Sebelum berangkat bekerja, Lukas mencium kening anak dan istrinya secara bergantian sebagai luapan cinta dan kasih sayang mendalam yang diberikannya.

***

Seperti biasa ketika Lukas Dharmawangsa pergi bekerja, Abel diharuskan belajar di rumah dipandu dengan Rigel Dharmawangsa ibunya. Abel berada di perpustakaan yang terletak di dalam rumahnya, perpustakaan ini cukup besar dengan rak buku yang menempel pada hampir setiap sisi dindingnya. Koleksi buku di perpustakaan ini pun terbilang langka, di perpustakaan ini ada sebuah jendela besar yang memperlihatkan dunia luar, berhubung lokasi perpustakaan ini berada di lantai tiga. Jadi, pemandangan yang terhampar di luar jendela sangat indah dengan bangunan-bangunan penduduk dan lahan hijau serta langit biru yang terpancar seluas mata memandang.

Di Svalbard penduduk yang usianya masih belia di bawah 20 tahun diharuskan berliterasi sesuai berbagai jenis buku untuk menambah pengetahuannya sebanyak mungkin, biasanya mereka dipandu oleh orang tua yang sudah memiliki banyak ilmu, tidak heran jika setiap rumah di Svalbard memiliki perpustakaannya masing-masing. Kemudian setelah berusia 21 tahun barulah anak di Svalbard dapat bekerja untuk kelangsungan bumi, sesuai dengan minat dan potensi yang dimilikinya.

Semua ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah Svalbard di bawah pimpinan tertinggi Lukas Dharmawangsa.

***

Lukas menatap langit Svalbard dari jendela kaca tempatnya bekerja, pikirannya berkelana ke masa lalu. Dulu bumi masih sangat indah dengan banyak kehidupan di dalamnya tetapi karena manusia adalah makhluk yang serakah, tanpa sadar bahwa mereka telah merusak alam dengan begitu hebatnya. Bukan hanya alam, tetapi diri manusia itu sendiri juga ikut dirusak.

Alam mulai lelah akan keserakahan manusia, manusia terus menginginkan hal lebih dari alam, membuat alam mati sehingga Sang Pencipta murka akan keserakahan manusia mulai dari pengeboran minyak, meraup napas alam dengan menebang pepohon di hutan, melubangi hati bumi dengan pertambangan batu secara besar-besaran tanpa batasan dan perkiraan, kapan bumi lelah?

Raungan, jeritan, tangisan alam dan makhluk lain yang menderita akan ulah manusia terdengar Sang Pencipta, membuatnya menjatuhkan hukuman kepada manusia dan membawa kematian bumi oleh keserakahan manusia itu sendiri tetapi Sang Pencipta masih mengampuni sang pendosa, memberinya kesempatan agar dapat menghidupkan kembali bumi yang mati dengan perlahan bangkit hingga sampai sekarang di Svalbard, masih banyak jiwa yang bertahan di bumi Sang Pencipta masih memberikan kesempatan kedua, menyisakan tempat kehidupan agar makhluk kotor penuh dosa dapat hidup dan memperbaiki semua kesalahannya.

Meski alam telah mati beratus tahun yang lalu tanda murka Sang Pencipta kepada manusia, tetapi Sang Pencipta masih berbaik hati kepada manusia dan ingin manusia memperbaiki kesalahannya dengan sebaik-baiknya.

Bersambung...

***

_________________________________
Kamis, 19 April 2018

SCOVIO HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang