Bab 06 - Khawatir

173 10 0
                                    

6.

Alsa berjalan menuruni anak tangga, dilihatnya Linda dan Wisnu sudah siap dimeja makan untuk melakukan sarapan. Manik Alsa berhenti menatap pada salah satu kursi kosong yang biasanya diduduki oleh Penda, biasanya pria itu tidak pernah absen ikut sarapan di keluarga ini namun hari ini untuk pertama kalinya ia tidak ikut.

"Al, cepetan sarapan udah siang ini."
Linda membuyarkan lamunan anaknya yang belum juga duduk dikursinya.

Buru-buru Alsa mengambil makanan dan segera menghabiskannya, hari ini ia ada mata kuliah pagi yang mengharuskannya berangkat lebih awal.

Selama makan, tidak ada yang mengatakan sepatah katapun. Biasanya setiap ada Penda selalu ada perbincangan meskipun tidak begitu penting. Wisnu pun hanya diam dan sesekali menatap kearah anaknya yang sama diamnya juga. Wisnu yakin pasti ada sesuatu saat semalam ia tinggalkan Alsa dan Penda berdua diruang tamu.

"Ma, Pa. Alsa berangkat dulu."
Alsa beranjak meninggalkan kedua orang tuanya yang masih belum selesai sarapan. Tidak ada sahutan. Mungkin keduanya mengerti apa yang sedang terjadi.

"Pa, kenapa Papa nggak kasih tahu ke mereka kalau sebenarnya-"

"Belum saatnya Ma."

"Tapi, Mama lihat Penda sayang sama anak kita."

Wisnu menghela napas, sebenarnya ia ingin memberitahukan hal yang ia simpan rapat-rapat ini kepada Alsa maupun Penda. Namun melihat Penda yang selalu menjadi sorotan media membuatnya mengurungkan niatnya, Wisnu beranggapan Alsa akan tidak nyaman jika nanti ia masuk kedalam dunia Penda. Sehingga Wisnu membiarkan Penda bergelut di dunia perfilmannya sampai pria itu benar-benar selesai dan bersanding dengan Alsa tanpa gangguan apapun.

***

Jam sudah menunjukkan angka sembilan pagi, Penda mengerjapkan matanya menetralkan rasa pusing akibat semalam terlalu banyak meminum beer. Bibirnya mendesis tatkala dirinya kesusahan untuk berdiri dari lantai, membuatnya hampir saja limbung jika tidak segera duduk disofa. Perutnya terasa mual, dan Penda baru menyadari jika dirinya belum makan dari kemarin siang. Ia yakin magg-nya kambuh.
Mengerjap dengan menahan pusing sekaligus sakit diperutnya ia mencoba menggapai handphone yang tergeletak diatas meja ruang tamu.
Keringat sudah bercucuran di dahinya.

Penda membuka layar ponselnya dan membuka log panggilan terakhir. Disana tertera kontak Managernya dan Alsa, tanpa berpikir panjang segera ia menekan yang paling atas.
Penda mendesis meremas perutnya yang kram seraya menunggu panggilan tersambung. Sampai dua detik setelahnya terhubung dengan seseorang diseberang sana.

"Halo," suara Penda terdengar parau, sungguh kentara jika dirinya tidak sedang baik-baik saja.

"Om, kayaknya hari ini Penda nggak bisa syuting ashhh... Penda ijin dulu ya."
Tidak ada sahutan, tumben Managernya tidak bertanya apapun. Biasanya lelaki itu akan heboh menanyakan keadaan Penda.
Merasa aneh, Penda kembali bertanya kepada Managernya tersebut.

"Nggak papa kan Om. Penda serius ijin soalnya lagi nggak enak bad- ahhh.."
Penda mematikan panggilannya begitu saja, biarkan ia diomeli oleh Managernya sebab berlaku tidak sopan sebab itu urusan belakangan. Toh, perutnya terasa begitu sakit sekarang.
Rasa-rasanya ia tidak akan kuat berjalan sendiri menuju kamarnya yang berada dilantai atas. Saat hendak berdiri saja kepala serasa berputar-putar.
Mungkin tiduran disofa akan membuatnya membaik sedikit, pikirnya.

***

Alsa sedang berada dikantin kampus saat ini, dosen yang mengajar di jam paginya ternyata berhalangan hadir sehingga ia melipir kekantin hanya untuk sekedar membeli cemilan sembari menonton film di laptop miliknya. Tidak sendiri, Alsa ditemani oleh ketiga sahabatnya. Lora yang sibuk dengan mie ayam di mangkuk, Dega yang masih saja memainkan gitar yang selalu ia bawa kemana-mana dan Adel yang ikut menonton film disebelahnya.

Nikah, Om?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang