Bab 04 - Kecemburuan tanpa hak

230 18 0
                                    

04.

Penda menyeruput pelan kopi yang telah dibelikan oleh asisten crew. Sudah hampir empat jam ia melakukan syuting dan beberapa kali sang produser memberikan tepuk tangan tanda senang dengan kinerja Penda. Dan itu, tentu sudah biasa baginya.
Mengingat sudah berapa lama pria itu berkecimpung di dunia peran, maka mendapat pujian seperti itu sudah sekian kalinya ia terima.

Cuaca hari ini kurang bersahabat, diluar sana hujan mengguyur tempat yang menjadi lokasi syuting. Mau tak mau proses pengambilan adegan harus dihentikan.

"Masih belum reda," desisnya dengan masih menggenggam kopi hangat ditangannya.

"Sepertinya syuting dipending dulu. Cuaca lagi nggak bagus buat pengambilan adegan," ujar sutradara kepada seluruh crew film.
Penda melihat jam tangan yang melingkar ditangan kanannya. Seketika ia teringat sesuatu. Ia berjanji akan menjemput Alsa sore ini. Buru-buru ia beranjak dari kursi dan menemui sutradara untuk meminta izin.

"Om, saya pergi duluan soalnya ada janji."
Lelaki paruh baya yang dimintai izin menoleh sebentar, lalu kembali melanjutkan membaca naskah sang pemeran.

Penda sendiri sudah was-was dalam posisinya, takut jikalau sang sutradara tak memberikan izin kepadanya sebab proses syuting memang masih lumayan panjang.

"Iya, boleh."
Penda tersenyum setelah kalimat tersebut keluar dari mulut pria paruh baya itu. Sesegera mungkin ia bergegas untuk menuju parkiran dimana ia memarkirkan mobilnya. Penda merasa seluruh saraf tubuhnya bugar kembali jika nama Alsa yang selalu berdengung di gendang telinganya.

***

Mobil penda sudah berhenti tepat di depan gerbang gedung kuliah Alsa. Senyumnya masih belum pudar selama mengemudi, sebahagiakah itu dirinya? jawabanya adalah iya. Jika dipikir kembali, apakah wajar Penda bersikap demikian. Melihat kenyataan yang seolah memukulnya cukup dalam. Seorang Om yang menyukai keponakkannya sendiri.

Semua ini bukan sepenuhnya kesalahan Penda dikarenakan perasaan tidak ada yang tahu akan diberikan kepada siapa. Bukankah menyukai seseorang tidak melulu mengutamakan alasan, bahkan yang Penda rasakan bukan hanya rasa suka melainkan sebuah cinta.
Dirinya pernah membaca buku psikologi disebuah perpustakaan umum, itupun tidak sengaja. Disana tertulis jika fase menyukai seseorang hanya bertahan sampai 4 bulan, dan jika lebih dari itu bisa dibilang benar-benar menaruh hati.
Sedangkan Penda, pria itu sudah menyukai Alsa hampir 4 tahun lamanya. Jadi perasaan Penda sudah tidak diragukan lagi.

Akhir-akhir ini Penda sering melamun. Melamunkan hal-hal yang menyangkut tentang Alsa dan itu membuat dirinya tiba-tiba seolah menjadi patung saja.
Menggelengkan kepala, ia segera melepas sabuk pengamannya dan keluar dari dalam mobil.
Bersamaan dengan itu ia melihat Alsa tengah berjalan keluar menuju gerbang kampus bersama dengan seorang pria.
Penda diam, seolah meneliti wajah pria asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Diam-diam pikirannya sudah dipenuhi banyak pertanyaan.

Bakat akting Penda memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Seperti saat ini, dirinya mencoba memasang wajah seramah mungkin agar tidak terlihat seperti sedang cemburu... tunggu, pantaskah jika kata barusan mengungkapkan keadaan hati Penda saat ini.

"Om, udah dateng. Alsa pikir nggak jadi jemput." Alsa kini sudah berada di depan Penda. Tidak sendiri, disebelahnya sudah berdiri pria asing yang sempat Penda teliti sebelumnya.

"Kenapa? mau pulang sama dia?" ucap Penda skeptis, ia melupakan gelar aktor ternama dalam dunia Perannya. Namun nyatanya perasaan tak suka itu muncul saat melihat Alsa bersama pria lain. Membuatnya begitu kentara jika sendirinya sedang cemburu. Dan itu terdengar jelas dari nada bicaranya.

"Awalnya mau git-"

"Tahu gitu Om nggak usah jemput kamu."
Entah sadar atau tidak, kalimat yang diucapkan penda barusan terdengar lebih tinggi dari nada biasanya. Terkesan... seperti tengah merajuk pada sang kekasih.

"Jadi, ini Om kamu Al?" Pria asing itu bertanya kepada Alsa, membuat Penda mengalihkan tatapan. Dilihatnya Alsa menggangguk mengiyakan pertanyaan pria barusan.

"Kebetulan Om ada disini, jadi saya sekalian mau minta ijin buat ngajak Alsa jalan." Penda mengernyit, lalu tatapannya mengarah kepada Alsa yang masih saja diam tanda ia memang mau-mau saja diajak jalan oleh pria di sampingnya ini.

"Iya Om. Alsa lagi ada hal yang perlu dibahas sama Delo."

Oh, jadi ini yang namanya Delo. Yang tadi pagi nggak jadi jemput Alsa.

Penda menghela napas. Inilah yang membuat Penda benci dirinya sendiri, ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya kepada Alsa. Jadi ia tidak bisa mengikat gadis itu untuk menjadi miliknya. Penda tidak berhak untuk membatasi pertemanan gadis itu dengan pria lain.

"Urusan apa?"
Bukan Penda namanya jika tidak bertanya lebih teliti. Matanya menyorot tajam kearah Alsa, namun gadis itu hanya diam seolah tak merasa dihujam tatapan.


"Kuliah, Om," jawab Delo cepat.

yang ditanya siapa, yang jawab siapa.
Penda mendesah jengah.

Pria bernama Delo itu melihat gelagat aneh yang Penda tunjukkan. Mungkin Alsa tidak pernah menyadari segala keposesifan yang Omnya sembunyikan secara diam-diam;tidak peka lebih tepatnya, namun berbeda dengan Delo. Pria itu paham betul arti dari mimik wajah Penda saat ini. Seolah lelaki tersebut sedang cemburu pada kekasihnya.

"Om penda pulang aja nggak usah nunggu, biar nanti Delo yang nganterin Alsa pulang."

Untuk kali ini Penda tidak bisa berbuat lebih, meski nyatanya memang tidak akan bisa. Menghela napas kembali, Penda mengangguk mengiyakan permintaan Alsa, tidak... Penda rasa ini hanya akal-akalan Delo agar bisa lebih dekat dengan keponakkannya itu.

"Jangan pulang larut."
Hanya itu yang mampu Penda ucapkan, dan Alsa hanya menganggukinya lalu berpamitan untuk segera pergi bersama Delo.

"Mari Om," ucap Delo sebelum kembali berbalik jalan memasuki area kampus bersama Alsa disampingnya, sebab kendaraannya terpakir di dalam area parkir khusus mahasiswa.

Melihat Alsa berjalan bersama pria yang seumuran dengan gadis itu membuat Penda menunduk merasa sedih sekaligus bersalah.
Dilihatnya sepatu berwarna putih yang ia kenakan terkena cipratan berwarna coklat di bagian sisinya akibat terkena tanah bekas hujan. Mungkin tak seharusnya Penda egois seperti ini, menginginkan Alsa menjadi pendampingnya. Seharusnya Penda mengalah saja kepada semesta. Bisakah Penda ikhlas jika suatu saat nanti melihat gadis pujaannya berdampingan dengan pria yang berumur lebih muda darinya. Bukan dengannya yang terpaut umur sangat jauh.

"Nggak seharusnya Om egois kayak gini, Sa. Maafin Om yang udah terlanjur cinta sama kamu," lirihnya sesak serasa oksigen disekitarnya menipis secara berkala dan tiba-tiba.

Dengan hembusan napas putus asa, Penda kembali memasuki mobilnya untuk kembali membelah jalanan yang padat tiap harinya. Ia hampir saja melupakan syutingnya jika managernya tidak menghubunginya terlebih dahulu dengan pesan singkat. Ia yakin managernya sudah banyak diberi pertanyaan oleh crew maupun sutradara akibat lamanya ia keluar.

_____

Om pendanya lagi sedih tuh. silakan yang mau ngehibur atau nemenin gak apa-apa. Dateng aja ke rumahnya bawa gula sama kopi sekalian😂

Nikah, Om?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang