Prolog

54 0 0
                                    


            Aku mengambil sebuah boneka, lalu ikut duduk dengan tetanggaku, Yunda dan Kak Tia di hamparan rumput luas nan teduh di bawah pohon mangga. Nguuunnggggg. Sebuah pesawat besar melintasi langit biru diatas kami.

"Pesawatnya besar, ya!" Yunda berteriak dengan semangat sambil menunjuk pesawat terbang milik perusahaan pemerintah itu.

"Iya, nanti kalau udah besar, Kakak mau naik itu!" Kak Tia ikut bersemangat.

"Kakak mau kemana?" tanyaku penasaran, menatap bingung pada tetangga yang kupanggil 'kakak' ini karena umur kami berbeda satu tahun.

"Mau keliling dunia!" Kak Tia menekukkan kedua tangannya di dada lalu merentangkannya lebar.

"Zela mau kemana?" sekarang berbalik Yunda menanyaiku.

"Mau ke..."

"Mau kemana, ya?" aku bertanya pada diriku sendiri, mau kemana aku besar nanti?

"Zela gak tau mau kemana?" aku menggeleng pelan.

Druk. Dari kejauhan terdengar bunyi gemuruh yang dahsyat, gumpalan awan hitam siap menyerbu dan berperang dengan awan putih yang sedari tadi menghiasi langit biru. Tik, tik. Aku merasakan tetesan air lembut di wajah, kurentangkan kedua tanganku untuk merasakan lebih banyak tetesan itu, benar saja, itu hujan.

"Hujan, kita pulang, yuk!" Kak Tia berdiri dari posisi sebelumnya.

"Yaudah, dadah!" ketiga anak berumur lima dan enam tahun berlarian menuju rumah masing-masing, termasuk aku.

"Halo, namaku Luffy. Aku anak beruang yang lucu!" aku goyangkan sebuah boneka berbentuk beruang dengan warna cokelat di hadapan sebuah boneka lainnya berbentuk panda.

"Salam kenal Luffy, namaku Pan, si anak panda!" aku gerakkan lengan kanan boneka panda lucu itu.

"Zela, sini, minum susu dulu!" terdengar bunyi seorang wanita lembut dari dapur, siapa lagi jika bukan Mama. Aku berlari, mengambil gelas yang sudah terisi dengan susu cokelat yang aku sukai.

"Ngomong apa?" Mama menaikkan alisnya. "Makasih, Ma!" aku lantas berlalu pergi, kembali mengambil boneka dan memainkannya di ruang keluarga.

Layar pada televisi menampakkan seorang pembawa acara sedang meliput sebuah festival di belahan dunia lainnya. Hujan menderu kencang di luar sana, bagai meyerbu bumi untuk membalaskan dendam yang sudah lama tersimpan.

"Sekian laporan dari kami, Pak. Renata dari Moscow, Rusia, melaporkan," terdengar bunyi televisi memecahkan deruan kencang hujan.

"Baiklah permirsa, dari Rusia kita beralih pada ibukota Inggris, London. Disana ada reporter kami yang siap menyiarkan khusus untuk anda!"

"Terima kasih, disini saya sedang berada di Bigben, salah satu landmark terkenal dari London. Siapa yang tidak tahu? Pemandangan indah dengan gaya Gothic Victoria yang menawan," sebuah jam raksasa tampak pada televisi, disertai banyak orang berlalu lalang di depannya, tak sedikit juga yang mengambil foto bersama jam tinggi itu. Aku mengentikan permainan, tertarik dengan apa yang disiarkan.

"Tak jauh dari Big Ben, ada juga sebuah landmark yang patut anda kunjungi jika ke London. Yaitu London Eye, berada di sisi pulau Thames menjadikannya sebuah pemandangan tersendiri yang menarik perhatian," aku amati dengan seksama, sebuah komedi putar yang sangat besar, lebih besar berkali-kali lipat dari yang sering aku naiki di pasar malam. Aku letakkan kedua boneka, lalu duduk di sofa depan televisi, berusaha untuk melihat lebih dekat.

"Sekian laporan pariwisata dari kami, Lita dari London, Inggris melaporkan." aku mendengus kesal, laporannya sudah selesai.

"Zela suka London?" suara Papa menghancurkan kekecawaanku.

"Ya!" aku kembali bersemangat.

"Yang tadi, yang menara jam besar itu biasa dipanggil dengan Big Ben, di bagian bawah jam, di setiap sisi jam Big Ben itu ada tulisan loh!"

"Oh, ya? Apa tulisannya?" aku penasaran.

"Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, artinya, Oh Tuhan, lindungi Ratu Victoria yang pertama!" aku mendengar setiap penjelasan Papa dengan seksama, takjub.

"Nah, kalau London Eye..." Papa melanjutkan ceritanya.

"London Eye adalah roda pengamatan terbesar di dunia setinggi 443 kaki. London Eye berputar dengan kecepatan 0.26 meter per detik dan satu kali putaran menghabiskan waktu sekitar 30 menit. Kalau Zela di London, Zela mau naik?" Papa bertanya sambil tersenyum.

"Tentu!" aku berteriak semangat. Kini, aku tahu kemana aku ingin pergi besar nanti, aku ingin ke tempat itu, London.

"Pa, kalau Papa pergi-pergi beliin Zela barang-barang yang ada hubungannya sama London, ya!" Papa tertawa kecil mendengar permintaanku, lalu mengangguk.

***

Pukul 09.00, aku sudah berjanji dengan Kak Tia dan Yunda di tempat kemarin. Aku berlari pelan sambil membawa sepasang boneka beruang dan panda kesayanganku. Sebuah pesawat melintas saat kami asik bermain.

"Oh, ya. Zela sudah tahu Zela mau kemana besar nanti!" aku menghentikan permainan.

"Kemana, La?" Kak Tia meletakkan bonekanya.

"Ke London!" akumerentangkan tanganku. Ya, sejak saat itu, aku memiliki cita-cita agar bisamengunjungi ibukota Inggris itu, aku ingin menyaksikan sendiri pemandanganLondon, lihat saja nanti, aku yakin impian itu pasti akan tercapai.    

You're My FlowerWhere stories live. Discover now