Part 3

1 0 0
                                        

"Tunggu, gue juga pengen kesana. Mending kita pergi bareng!" laki-laki itu menarik lengan Zela.

"Lo mau ngerawat lavender-lavender lo, kan?" tanyanya lagi.

'Ha? Dia tau gue nanam lavender?! Bentar, suara itu... Suara yang gak asing bagi gue. Ya, dia Daffa!'

"Eh, lo, Daf!" Zela mengangkat kepalanya. Benar saja seperti dugaan, dia Daffa!

"Ye, lo pikir gue siapa? Hantu?!"

"Hehehe. Maapkeun!"

"Eh, lo tadi mau ke taman juga, kan?" tanya Zela lagi.

"Iya."

"Buruan!" Daffa mempercepat langkahnya, mendahului Zela yang berjalan di belakang.

"Eh, iya. Tunggu!"

"Huft. Akhirnya selesai!" Zela menyiram bunga terakhir.

"Jangan sering-sering disiram," Daffa berkomentar dari salah satu kursi taman berwarna putih.

"Kenapa?" Zela beranjak dari bunga-bunga itu, lalu ikut duduk di kursi berwarna putih.

"Lo nanam lavender dan gak tau cara ngerawatnya?" Zela menggelengan pelan. Ia benar-benar tidak tahu, satu alasan kenapa ia menanamnya adalah karena indah, tidak ada alasan lain.

"Oke, gue bolot? Iya! Masa nanam tanaman gak tau cara ngerawatnya, sih!" Zela cemberut, menyadari kebodohannya.

"Lavender itu bunga yang unik. Dia gabisa terkena paparan sinar matahari langsung dan tidak juga membutuhkan banyak asupan air. Lo gak bolot, kok! Cuma, kurang memahami, aja!" Daffa tersenyum.

"Lo tau banyak tentang bunga, ya? Cewek aja kalah!"

"Kalo bunga mawar, sulit gak ngerawatnya?" Zela kini antusias. Wawasannya tentang bunga benar-benar minim.

"Nah, kalo bunga mawar itu beda. Dia memerlukan nutrisi yang banyak. Disiram tiap pagi dan sore, dikasih pupuk, diletakin di area yang terkena sinar matahari. Pokoknya, sulit, deh!"

"Tapi, kenapa lo mau nanam mawar? Padahal kan, ribet!"

"Bunga mawar itu adalah simbol cinta, keindahan dan keharuman. Namun, mawar ada durinya. Untuk itu, kita perlu belajar memegangnya. Dan mawar itu, bunga yang sulit dirawat, tetapi ketika dia tumbuh dengan baik, kita akan bisa melihat dan menikmati keindahan yang ia sajikan!"

***

Luna merogoh laci mejanya, "dug!" terdengar telapak tangan Luna menyentuh sesuatu. Ia mengambilnya, bunyi itu berasal dari sebuah kotak dengan tinggi 10 cm dan panjang 20 cm. Luna menggelengkan kepalanya pelan.

"Lagi-lagi ada hadiah, Lun?" Zela yang baru masuk kelas berhenti tepat di sebelah Luna.

"Ga tau, La, hobi amat kasih hadiah, ga rugi apa, ya?" bola mata Luna menghadap ke atas, seperti orang yang berpikir serius. "Mana gue tahu, tanya aja sama yang ngasih lo hadiah!" Zela melempar tas sembarang, lalu duduk di bangkunya.

"Yaelah, La, kalo tahu orangnya udah gue suruh berhenti kali!" Luna memasukkan kotak itu ke dalam tas, lalu duduk di hadapan Zela.

"Ada kabar apa, guys?" Ratna yang baru datang, menarik kursi dan ikut duduk di sebelah Luna dan Zela.

"Ratna! Kenapa, sih? Baru datang padahal!" Luna berteriak kencang, kebiasaannya. "Luna bisa berhenti teriak ga, sih?" Ratna menggosokkan kedua telinga dengan jarinya. Zela hanya tersenyum menyaksikan adegan yang sudah sangat sering terjadi.

"Gue ada ide!" Zela tersenyum licik. "Apa?" Luna dan Ratna mengatakan hal yang sama pada waktu yang sama pula. "Gimana kalo kita sok jadi detektif? Pulang sekolah kita lihat siapa yang ngeletak kado di laci lo. Gimana?" Zela menatap lekat kedua sahabatnya. "Setuju!" Luna dan Ratna mengatakan hal yang sama pada waktu yang sama kembali.

You're My FlowerWhere stories live. Discover now