Aku terbangun karena merasakan sentuhan di pipiku. Aku melenguh kesal. Membalikkan tubuhku karena merasa terganggu. Waktu pagi adalah saat-saat terburuk setiap harinya. Dengan nyawa yang masih berceceran dan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, aku akan menjelma menjadi makhluk paling menyebalkan sejagat raya.
Merasa bahwa kali ini apapun, atau siapa pun yang berusaha mengusik tidurku akhirnya pergi, aku kembali menghela napas panjang dan terlelap. Merasuk ke dalam kelembutan sprei sutra dan selimut yang terasa sejuk.
Sepasang lengan lalu merengkuhku. Menarik tubuhku sehingga punggungku menyentuh dada bidang yang membuatku semakin nyaman. Aku melenguh senang. Semakin menyurukkan kepalaku pada bantal sampai suara kekehan yang sudah kuhapal di luar kepala menyentak seluruh kesadaranku.
Aku membuka kelopak mataku dengan cepat. Menemukan korden berwarna cokelat lembut alih-alih korden berwarna merah muda dengan aksen bunga lah yang seharusnya kulihat begitu membuka mata. Selimut berwarna senada juga turut membuat nyawaku yang sebelumnya masih berceceran langsung terkumpul sempurna. Aku menyuki motif bunga memenuhi kamarku. Karena itulah hampir semua barang-barang yang ada di kamarku memiliki motif bunga. Dan saat ini...
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku dengan cepat. Mengumpulkan ingatan mengenai di mana tepatnya aku berada saat ini.
Ommo! Ini benar-benar memalukan!
Aku lalu menggeliat. Berusaha untuk bergerak dan melepaskan diri dari belitan tangan Will yang sama sekali enggan terlepas.
Kemudian kudengar ia kembali terkekeh dengan wajahnya yang bertumpu di pundakku. Ia lalu menggigitnya hingga membuatku memekik kecil.
"Kau sudah bangun." Pernyataan darinya membuatku cepat-cepat menutup mulutku. Aku lalu berbalik. Membuka sedikit kelopak mataku untuk mengintipnya. Netra abu-abunya kembali menangkapku hingga membuatku menghela napas.
"Hallo..." cicitku yang membuatku disuguhi gelak tawanya.
"Hallo, Love," balasnya yang membuat wajahku terasa panas. "Sangat menyenangkan ketika aku terbangun dengan kau dipelukanku." Will lalu mengunci kedua kakiku dengan kakinya. Mengeratkan lengannya di seputar tubuhku.
"Jadi aku sama sekali tidak bermimpi."
Aku mencebik kesal sebelum balas menggigit pundaknya dan menyebabkan dia memekik kecil. "Untuk apa itu?"
"Untuk membuktikan bahwa kau memang tidak bermimpi. Lagi pula kau yang terlebih dulu mengigitku!"
"Kau benar-benar pendendam." Gerutunya.
Aku mencibirnya. Mataku mendelik kesal ke arahnya yang membuatnya malah tersenyum lebar.
Sebelah tangannya lalu membelai pipiku dengan lembut. Membuat degupan di jantungku terasa berlari secepat kuda pacu.
"Kapan kau sampai?"
Netranya lekat menatapku. Dan di sana, aku menemukan rasa cinta yang meluap milik Will. Yang kutahu, hanya ditujukan untukku.
"Tadi malam," jawabku dengan sebelah tangan yang sudah gatal untuk membelai wajahnya. Aku bersyukur karena dia tidak lagi terlihat pucat. Wajahnya juga telah menunjukkan ronanya.
Dia sangat tampan meski baru bangun dari tidurnya. Dan aku merasa ini sangat tidak adil megingat rupaku jika baru saja terbangun di pagi hari.
Mataku membelalak lebar. Segera saja aku mendorongnya menjauh. Berdiri super cepat dengan iringan teriakkan Will yang bertanya ada apa denganku.
Tentu saja karena aku terlihat mengerikan di pagi hari, Will!
Segera saja aku menemukan kamar mandi. Menatap rupaku di depan cermin yang membuatku ingin menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Where We Meet [Completed]
Short StoryTentang hujan, kamu, dan tiga lagu kesukaanku.