"Ahjussi! Tidak bisakah kau mengemudi lebih cepat?" Teriakku untuk keberapa kalinya dalam beberapa menit ini. Barisan mobil yang tiba-tiba memadati jalanan di sabtu siang benar-benar sebuah bencana! Ya Tuhan, aku sudah telambat setengah jam untuk bertemu dengan William. Dan haruskan aku menerima omong kosong kemacetan ini?
"Sepertinya ada kecelakaan di depan sana Nuna. Taksiku belum memiliki sayap untuk bisa terbang dan mengahalau kemacetan ini," bantah ahjussi pengemudi taksi dengan kekehan. Perut gembulnya bergoyang ketika ia tertawa.
Aku mencebik kesal. Menatap bolak balik kepada kepadatan jalan di depan sana dan menggeram frustasi. Dengan cepat aku merogoh tas ranselku. Mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang untuk kuberikan kepada ahjussi supir taksi ini.
"Aku akan turun di sini," kataku cepat dan mulai membuka pintu mobil. Mengabaikan suara klakson yang ditujukan kepadaku ketika dengan gegabah aku mulai menyebrangi satu persatu kepadatan mobil yang ada.
Jika saja Hyerim melihat apa yang kulakukan saat ini, dia pasti sudah memarahiku. Dan untungnya aku sedang tidak bersamanya.
Aku memacu kakiku cepat menuju taman bermain tempat pertemuanku dengan William Lee. Memacu semakin cepat ketika tidak sengaja melihat jam digital di salah satu kedak kopi yang kulewati dan memberitahuku bahwa sudah lewat empat puluh lima menit dari jadwal pertemuanku dengannya. Dan ini gara-gara adikku yang menyebalkan sekaligus kusayangi! Huh!
Tidak tahu sejak kapan, aku mulai berlari. Mengucapkan maaf tanpa benar-benar meminta maaf kepada pengguna jalan yang tidak sengaja kutabrak.
Ommo! Kuharap Will masih berada di sana ketika aku sampai.
Menatrik napas panjang dari paru-paruku yang rasanya seperti terbakar karena berlari tadi membuatku kepayahan. Kakiku yang pendek jelas tidak bersahabat dengan jarak yang lumayan jauh. Well, dua kilometer itu adalah jarak yang lumayan untuk cebol sepertiku, bukan?
Dengan napas yang masih tersengal, aku mengedarkan pandangnku. Mencari-cari dengan panik keberadaan Will yang tidak tampak di mataku.
Oh tidak, tidak, tidak! Bagaimana jika dia terlalu lama menunggu dan memutuskan untuk kembali?
Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Rasa lelah akibat berlari bahkan masih terasa. Dan dengan ketiadaan William membuatnya semakin terasa. Akhirnya aku memilih duduk di salah satu bangku di bawah pohon ceri yang sedang tidak berbunga. Menutup kedua wajahku dan terisak pelan.
Berjanji di dalam hati bahwa sesampainya di rumah, aku akan membunuh Hyerim Kim.
"Aku. Tidak. Akan. Sudi. Untuk. Kembali. Menjemputmu. Di. Tempat. Terkutuk. Itu. Lagi!" desisku dengan penekanan di tiap katanya.
Aku berdiri menjulang di depan Hyerim yang sedang berlutut di depanku dengan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Matanya yang bulat dan berkelopak ganda menampilkan puppy eyes yang selalu ia tampilkan ketika dia sedang dalam mode meminta maaf.
"Maafkan aku, Unnie. Kumohon, maafkan aku," katanya lagi sambil maju dengan kedua lututnya. Ia memeluk kakiku. Mendongak dan mengerjap cepat.
"Kumohon jangan laporkan aku kepada Appa. Kau kan tahu apa yang akan Appa lakukan kepadaku jika tahu bahwa aku kembali mabuk," katanya penuh permohonan.
"Tapi memang itu yang kau lakukan semalam! kau bahkan mengganggu kencanku dengan William! Untuk kali ketiga Hyrim Kim! Ya Tuhan!" Teriakku frustrasi.
Aku memang baru berkencan dengan William selama tiga kali. Dan rasa-rasanya, aku tidak pernah mendapatkan paket kencan dengannya karena selalu saja ada kejadian darurat ketika aku pergi bersamanya dan tidak berada di samping adikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Where We Meet [Completed]
PovídkyTentang hujan, kamu, dan tiga lagu kesukaanku.