SEKEPING ASA UNTUK RINDU

516 7 3
                                    

Gadis kecil itu tak pernah mengeluh. Sekalipun tak pernah. Bahkan saat Tuhan merenggut kedua orang tuanya tiga tahun yang lalu, gadis itu tetap mampu berdiri tegar menantang dunia. Rindu tak pernah tahu ia akan hidup sendiri di usianya yang ke sebelas. Dia tak pernah tahu keadaannya akan benar-benar berubah. Keadaan hidupnya, sekolahnya, rumah bahkan sanak saudaranya. Semua berubah. Namun Rindu tak pernah mengeluh. Dia menerima semuanya dengan besar hati. Bahkan perlakuan buruk sepupunya pun, dia terima dengan senang hati.

"Woy, mana nih sepatu gue?" Teriak Salsa dari ujung tangga, sepupu Rindu yang memperlakukannya sesuka hati seperti pembantu.

"Sebentar, Sa. Sepatunya lagi aku cuci, belum kering." Rindu menyahut dari dapur. Gadis berkaos lusuh dengan celana pendek kumal itu melangkah menuju meja makan sambil membawa sepiring nasi goreng.

"Apa? Trus gue ke sekolah pake apa, monyong?"

"Sepatu kamu, kan bukan yang itu aja. Masih banyak yang lainnya. Pakai aja yang lain dulu, Sa."

"Nggak. Gue nggak mau. Pokoknya gue mau sepatu gue kering detik ini juga. Kalo nggak, siap-siap aja lo gue laporin ke Papa." Salsa turun ke meja makan, lalu menyendok nasi goreng buatan Rindu. "Puih! Apa-apaan ini? Nggak enak banget! Lo niat nggak, sih masakin gue sarapan?" Salsa membuang nasi goreng di hadapannya ke lantai.

Pyaar....

Rindu menatap nanar nasi goreng buatannya yang kini sudah berhamburan di lantai. Gadis itu buru-buru membersihkan pecahan kaca yang berserakan di sekitar kakinya, sementara Salsa menghempas sisa sarapannya yang lain -setangkup roti selai strawberi dan segelas susu- ke lantai di depan Rindu, membuat gadis empat belas tahun itu terkesiap.

"Astaghfirullah, Sa. Ya Allah." Rindu mengurut dadanya, memperhatikan Salsa yang sudah melangkah kembali ke atas.

"Apa-apaan ini, Rindu?" Suara lengkingan terdengar di telinga Rindu.

"Anu, Tante, Salsa lagi-lagi membuang sarapan yang aku bikin." Rindu menegakkan tubuhnya, tersenyum tipis ke arah Dina, ibunya Salsa yang sedang tegak pinggang di hadapannya.

"Ya iyalah. Kamu masak nggak becus kayak gitu. Eh, anak yatim piatu, gimana mau makan anak saya kalo kamu masak kayak makanan anjing seperti ini, ha?" Dina mendorong tubuh Rindu hingga terjengkang. Gadis itu terduduk di lantai dengan kaki kiri yang terluka terkena pecahan piring.

"Mulai sekarang kamu nggak usah masak lagi, sekalian aja kamu nggak usah tinggal di sini lagi. Besok, Pak Karyo akan menjemputmu dan menaruhmu di panti asuhan. Selamat bersenang-senang di sana, ya!" Dina tertawa culas, lalu meninggalkan Rindu yang mulai menitikkan air mata.

"Ya Allah, apa salah hamba Ya Allah? Hingga hamba mesti hidup seperti ini?" Rindu bangkit dan berjalan terseok-seok   menuju kamarnya. Kamar sempit yang kotor dan berdebu. Di sinilah Rindu menghabiskan tiga tahun penuh penderitaan. Di sinilah tempatnya tidur, makan fan berkeluh kesah.

Gadis itu menutup pintu kamarnya. Membiarkan kakinya terluka, Rindu mengambil sesuatu di bawah ranjang tidur usangnya. Sebuah album foto dengan sampul cokelat yang lusuh. Rindu tersenyum kecil kala membuka lembar demi lembar album itu.

"Mama, Papa. Aku rindu kalian. Rindu yang malang ini merindukan kalian." Gadis itu terisak. Ia memeluk erat satu-satunya benda berharga miliknya.

Tok tok tok....

"Ya?"

"Neng Rindu, ini saya, Karyo. Neng udah siap belom? Anu, eh, beres beres maksud saya."

"Tunggu sebentar, ya Pak. Saya berbenah dulu." Rindu tersenyum masam. Ternyata tantenya memang ingin membuangnya.

Gadis itu segera membereskan pakaiannya, tak lupa membawa album foto peninggalan orang tuanya. Rindu lalu melangkah keluar kamar.

"Sudah siap, neng?" Pak Karyo terswnyum tulus. Tangannya meraih tas hitam Rindu dan membawanya duluan ke mobil.

"Aku mau pamitan dulu ke Tante dan Salsa." Rindu melangkah ke kamar tantenya.

"Tante, Rindu pergi dulu. Semoga Tante, om dan Salsa diberi kesehatan dan keselamatan oleh Allah. Rindu pamit dulu, ya. Assalamu'alaikum." Tak ada jawaban dari dalam kamar. Ribdu menghembuskan nafas lelah, lalu ia menyusul Pak Karyo ke depan.

***

Rindu menatap rumah barunya dengan harapan baik. Panti asuhan dengan nuansa sederhana berwarna hijau di depannya membuat hati gadis itu sedikit lega. Setidaknya di sini ia akan memulai hidupnya yang baru.

"Neng, semoga betah, ya di sini. Maaf Bapak nggak bisa bantu apa-apa, neng. Padahal papanya eneng sering bantu Bapak dulu." Pak Karyo menyalami Rindu.

"Iya, Pak. Nggak apa-apa. Semoga ini awal hidup saya yang baru. Bapak jaga kesehatan, ya." Rindu tersenyum lebar, lalu melangkah meninggalkan Pak Karyo.

"Ya Allah, semoga hidupku di sini lebih baik, semoga Engkau betahkan aku di sini, Ya Allah. Semoga harapan baru untuk hamba ada di sini, Ya Allah. Terimakasih." Doa meluncur di bibir Rindu, sebelum dia masuk ke dalam panti.

THE END

Note: Ini adalag bonus pemenang kelima.
Story by Codenameazka
Waah ... Selamat yaa. 😊😊

REKOMENDASI CERPEN TERBAIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang