Sean Pov
Hujan malam ini turun dengan lebat diiringi suara gemuruh petir yang menggelegar. Kubuka tirai jendela kamar menatap pada pemandangan gelap di luar sana. Lima menit lalu, Irene baru saja tertidur setelah dia tiba-tiba menangis merindukan sosok kedua orang tuanya. Kubiarkan saja dia meringkuk membenamkan wajahnya pada salah satu bantal hingga bahunya yang bergetar terhenti dengan sendirinya.
Memoriku mulai berputar pada kejadian beberapa waktu silam dimana sampai detik ini, rasa sakit itu rupanya masih ada.
Selesai memuaskan hasrat si Nyonya besar, aku duduk di tepian tempat tidur sambil memakai kemejaku yang sudah kusut. Wanita yang masih dalam keadaan terbaring itu memberiku segepok uang yang dia lempar di sisi ruang kosong tepatku duduk.
"Besok pagi, tolong antarkan aku ke Bandara. Tiga hari ini kau bebas, tapi sepulangnya aku dari Beijing, kau harus menginap di rumahku selama satu minggu penuh."
"Nyonya!" aku menoleh dengan pandangan memprotes. "Aku tidak bisa membiarkan ibuku sendirian di rumah karena dia akan banyak bertanya jika aku sering kedapatan tidak pulang."
"Aku tidak akan menerima apapun alasanmu. Tiga hari selama aku pergi, kau boleh membawa Yukhei kemanapun asalkan dia tidak merengek mencariku."
Kubawa segepok uang itu ke rumah disaat hari hujan dan aku melihat ibu sibuk dengan mesin jahitnya yang usang. Padahal aku sudah membelikannya yang baru, tapi ibu bilang dia lebih nyaman memakai barang yang lama. Jadi saat itu kupandangi wajahnya yang penuh kelelahan. Aku yakin dia tidak akan tampak setua itu andai hidup kami berkecukupan.
"Baru pulang? Bagaimana pekerjaanmu di cafe? Apa kau sudah makan?" ibu selalu memberondongku dengan banyak pertanyaan yang membuat ulu hatiku terasa sangat nyeri.
Setahun ini aku berbohong padanya bahwa aku mengambil pekerjaan part time di sebuah cafe selepas aku berkuliah. Beruntungnya, ibu adalah orang yang sangat percaya padaku. Tapi sekalipun aku memiliki banyak uang, aku tidak bisa memberikan semuanya untuk ibu karena aku khawatir beliau akan mencurigaiku. Aku hanya mencoba memenuhi kebutuhan sehari-hari kami dan sisa uang tersebut, aku simpan di sebuah rekening Bank jika suatu saat kami membutuhkannya secara mendesak.
"Sean, Nyonya yang rumahnya tinggal di ujung jalan sana tadi datang dan meminta uang padaku. Hutang-hutang kita sudah banyak, jadi bolehkah aku menjual mesin jahit yang kau beri padaku ini?"
Kupeluk wanita itu dari belakang, lalu kubenamkan wajahku di bahunya. "Tolong jangan menjualnya bu. Aku sudah janji kalau aku yang akan melunasi semua hutang-hutang itu kan?"
Begitulah kehidupan kami yang jauh dari kata mewah. Aku dan ibu makan seadanya, hidup seadanya, dan tidak pernah kami berpikir untuk merepotkan saudara maupun orang lain. Biarlah aku yang berdosa ini yang akan bertanggung jawab dengan segala perbuatan kotorku. Keinginanku tidak banyak, aku hanya ingin melihat ibuku bahagia disaat kami hidup dalam keterbatasan.
Alih-alih bahagia, siang itu kudapati ibu pingsan di kamarnya. Lalu setelah membawanya ke dokter, aku dikejutkan dengan vonis dokter yang mengatakan bahwa penyakit kanker paru-paru ibuku sudah menginjak stadium 3. Niatanku untuk terlepas dari kungkungan si Nyonya Besar pun akhirnya pupus sudah.
Mabuk berat sudah menjadi rutinitasku sebelum si Nyonya Besar memintaku untuk melayaninya. Setelah itu, aku terbiasa akan menangis sendiri di dalam kamar tanpa seorang pun tahu betapa menyakitkannya pekerjaan ini.
Kadang aku marah pada Tuhan, aku benci dengan keadaan, dan aku jijik dengan diriku sendiri. Tapi kemudian semangatku tumbuh lagi begitu melihat wajah ibu yang melepas senyum terbaiknya untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
White and Black (HUNRENE)/ MATURE CONTENT 21+
FanfictionKehidupan Irene berubah setelah Mia (seorang mucikari) berhasil menjualnya pada sosok lelaki tampan pecinta seks. Beberapa masalah mulai muncul satu-persatu seiring berjalannya waktu. Lambat laun, rahasia besar yang sejak dulu lelaki itu simpan rapa...