"Hajima! Hentikan! Astaga! Ya Tuhan, kumohon, jangan rusak rumah kami. Kami berjanji akan membayar utangnya tepat waktu. Ya Tuhan... Kumohon... Astaga! Jangan guci peninggalan Ibuku! Itu berharga-"
"Sepertinya kita akan ambil ini. Ada baiknya juga kita membongkar-bongkar rumah ini," seorang lelaki tersenyum sinis melihat sebuah guci berwarna putih susu dengan gambar naga melingkar-lingkar. Guci itu adalah satu-satunya benda mahal yang dimiliki keluarga malang ini.
Kibum meringis, tidak kuat lagi melihat dari kejauhan. Ia tidak sanggup melihat kedua adik perempuannya yang masih kecil menangis, belum lagi kakak perempuannya yang sekarang bersujud memohon ampun agar tidak mengambil guci pemberian Ibu mereka.
"Noona!" panggil Kibum sambil memeluk kakak perempuannya. Tangis perempuan itu lantas tumpah di pundaknya. Kibum menghela nafas sambil merangkul kedua adiknya yang menghambur ke arahnya.
"Maafkan kami yang tidak bisa membayar utang dengan secepatnya. Tolonglah, berikan kami waktu lagi. Aku janji akan membayar dalam awal bulan ini-"
Belum selesai Kibum berbicara, para lintah darat itu menarik kakak perempuannya sehingga perempuan itu meronta-ronta untuk dilepaskan. Kibum hendak menarik kakaknya lagi, tetapi ia tidak bisa apa-apa. Ia hanya bisa mengepalkan tangannya, geram.
Orang-orang yang ada di sekitar mereka hanya bisa menonton, hanya memberikan tatapan kasihan dan simpati, bukannya menolong.
"Kibum-ah..." lirih kakaknya, mata wanita itu sembab dikarenakan airmata yang tidak berhenti keluar.
Kibum bangkit dari posisinya. Ia menarik cepat kakaknya hingga wanita itu sepenuhnya terlepas. Ia tidak peduli lagi apa yang akan dilakukan lintah darat ini. Ia tidak peduli kepada siapa mereka bekerja, toh mereka bukan pekerja dari negara atau kerajaan.
"Baiklah, kalian ingin apa?! Asal jangan menyandra kakakku. Kau ingin mengambil guci itu? Silahkan! Hidup kami tidak bergantung pada guci itu!" ucap Kibum, berusaha sesadis mungkin.
Para lintah itu tertawa keras. Kibum mengutuk tawa mereka bak lintah pada jaman Joseon itu. Semoga saja lalat masuk dalam tawa mereka yang terlalu lebar itu.
Betul saja, tidak lama kemudian salah satunya terbatuk-batuk dan berusaha mengeluarkan sesuatu dari tenggorokannya. Kibum mengulum senyumnya, pasti mereka telah kemasukan hewan terbang yang menjijikkan itu.
Namun, Kibum tidak bisa menawakan mereka lebih lama. Salah satu dari mereka menendang perut Kibum. Kibum mengerang keras. Seketika orang-orang yang di sekitar mereka memekik ketakutan kecuali para lintah darat itu.
"Hei, anak kecil! Jangan ketawa!" Kedua adik Kibum menangis dan bersembunyi di balik tubuh Kibum yang masih terjatuh di tanah.
"Kenapa kau memarahi anak kecil sepolos mereka? Pengecut!" kata Kibum dengan nada yang rendah sinis.
Kedua tangan lintah darat itu mengepal erat. Meskipun menyahut dengan kata-kata pedas, Kibum tetap takut. Ayolah, siapa saja akan takut melihat otot yang dimiliki lintah darat itu. Belum lagi daritadi matanya melotot marah, seolah-olah ingin keluar dari tempatnya. Lalu, janggut itu! Mengingatkan Kibum pada bandit-bandit jaman Joseon.
Oh, ya. Negeri ini memang kembali menganut kekejaman jaman Joseon. Negara ini kembali menganut kasta. Memuakkan sekali.
Kibum menyesali dirinya yang terlahir di jaman terlewat modern tapi kembali menganut kasta. Tapi kalau ia mengatakan seperti itu, sama saja ia menyesali lahir dari rahim Ibunya. Padahal Ibunya dan Ayahnya sudah tidak ada di dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SELECTION - OnKey Vers.
FanfictionTHE SELECTION (((RE-PUBLISH))) Sebuah kompetisi dan seleksi dari kerajaan untuk mencari istri sang Putra Mahkota, Pangeran Lee Jinki. 33 peserta perempuan, berjuang untuk mendapatkan hati sang Pangeran. Salah satunya adalah Kim Kibum. Terlahir seba...