Kibum menoleh pada pintu kertas geser yang terbuka, menunjukkan sosok Jinki yang sedang melepas jasnya dan melonggarkan dasinya dengan tergesa-gesa. Kibum pun segera mendekati kekasihnya itu.
"Bagaimana? Kau baik-baik saja? Apa kata Ibumu?"
Jinki mendesah panjang sebelum memandang penuh lembut pada lelaki berambut hitam legam itu. "Beliau menyetujuinya, tetapi... entahlah." Kemudian, Jinki memberikan senyum paksanya.
"Baguslah," sahut Kibum. Lelaki itu seperti menunggu Jinki berbicara setelah dirinya memberikan respon, tetapi sayangnya Jinki memilih duduk di sofa beludrunya sambil memejamkan matanya. Kening yang berkerut menggantung di kening Jinki sangat bertolak belakang dengan umur Jinki yang masih sangat muda.
Karena tidak kunjung mendapatkan sahutan, akhirnya Kibum memutuskan dirinya untuk berbicara. "Beristirahatlah. Aku akan pulang."
"Kau akan pulang kemana?" ujar Jinki yang masih dengan mata terpejam, suaranya terdengar sangat lelah.
"Err, ke rumah Jonghyun dan Sooyeon, tentu saja. Aku sudah tidak pulang dua hari, mereka pasti khawatir."
Kibum lagi-lagi tidak mendapatkan sahutan dari kekasihnya itu. Meskipun ia sedikit kecewa tidak adanya ucapan perpisahan—atau Kibum lebih berharap kecupan hangat sebelum ia pergi.
"Aku... pergi, Lee Jinki."
Kibum pun berbalik menuju pintu keluar kamar Jinki. Tetapi, langkahnya terhenti ketika suara lelah Jinki memanggil namanya. Kibum bahkan belum sempat berbalik untuk menjawab karena Jinki sudah ada di belakangnya. Keterkejutannya semakin menjadi ketika Jinki melingkarkan kedua lengannya di perut Kibum. Erat sekali hingga Kibum hampir tidak bisa bernafas, belum lagi deru nafas Jinki di balik tengkuknya hampir membuat degup jantungnya berdetak lebih cepat.
"Ke-kenapa, Jinki-ah?"
"Jangan pergi... Aku membutuhkanmu. Kaulah satu-satunya yang kubutuhkan sekarang, orang yang bisa menopangku di saat aku sedang kelelahan fisik dan mental seperti ini. Tinggalah lebih lama di istana, Kibum. Setidaknya sampai upacara pengalihan takhtaku diadakan—tidak, jangan pernah tinggalkan aku lagi. Sampai kapanpun, bagaimanapun juga."
Semakin lama, nada lelah Jinki digantikan oleh getaran yang memilukan. Belum lagi, deru nafas yang berbeda, seolah pelukan erat yang dilakukan Jinki pada Kibum tidak ada artinya—Jinki dengan susah payah mengatakannya di antara isakannya.
Kibum masih ingat ketika Jinki terakhir kali menangis di balik tubuhnya, memeluknya dari belakang seolah memang memerlukan penopang di antara kesedihannya. Airmata lelaki itu jatuh deras, sepertinya tangisannya tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
Pelukan itu melonggar, itulah kesempatan Kibum untuk memutar tubuhnya. Kali ini giliran lelaki berambut hitam itu yang memeluk erat kekasihnya itu. Kibum meringis mendengar isakan pilu Jinki, seolah ia bisa merasakan emosi yang dirasakan sang Pangeran. Emosi yang sudah lama ia pendam dikeluarkan sekaligus di dalam pelukan kekasihnya.
Malam itu pun Kibum mengurungkan niatnya untuk pulang—atau ia tidak akan pernah pulang sesuai permintaan Jinki padanya. Menepuk lembut lengan kekasihnya itu, mengecup kerutan stres yang amat terlihat di ujung mata sipitnya, memeluknya di atas tempat tidur sampai isakan Jinki berakhir, sampai pada akhirnya ia mendengar deru nafas Jinki mulai tenang, barulah Kibum ikut tertidur lelap di samping Jinki.
Sampai kapan pun, bagaimanapun, Kibum berjanji untuk terus berada di samping orang yang sekarang satu-satunya yang paling ia kasihani.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SELECTION - OnKey Vers.
FanfictionTHE SELECTION (((RE-PUBLISH))) Sebuah kompetisi dan seleksi dari kerajaan untuk mencari istri sang Putra Mahkota, Pangeran Lee Jinki. 33 peserta perempuan, berjuang untuk mendapatkan hati sang Pangeran. Salah satunya adalah Kim Kibum. Terlahir seba...