satu

51 4 0
                                    

Nino tesenyum, aku selalu suka ketika dia terseyum. Matanya seperti ikut tersenyum. Bukan seperti kucing gendut yang licik di film Alice in Wonderland. Tetapi, senyum yang hangat dan kadang bisa membuat lututmu lemas.

Atau, lututku saja ya?

"Apa, sih?" katanya tiba-tiba.

"Hah? Apa?" tanyaku.

"Kenapa ngeliatin mulu?"

"Ih, enggak. Orang aku ngeliatin spion di belakang kamu."

Nino menatapku selama sepersekian detik. Kemudian, ia tersenyum. Ada satu hal lagi tentang senyum Nino. Kadang, entah ini hanya aku yang bisa melihatnya, atau memang bisa terlihat jelas, ada sarat jahil dalam senyumnya. Ada isyarat tengil.

"Apa?" kini, giliran aku yang bertanya.

"Aku tahu aku ganteng, tapi ngelihatinnya jangan gitu, nanti aku grogi, terus kita kenapa-napa." Nino kembali memperhatikan jalan. Padahal mobilnya berada di bawah lampu merah, dan angkanya masih berada di 34.

"Pede."

"Emang."

Aku terkekeh, tidak tahu juga untuk apa. Mungkin untuk berucap terima kasih kepada semesta, sudah menghadirkan Nino. Berucap terima kasih kepada semesta, karena jalanan hari itu agak lengang, sehingga aku tidak perlu mendengar Nino berceloteh tentang macet dan bagaimana ia berharap ia bisa terbang.

***

Aku memperhatikan rintik hujan di kaca taksi. Macet sudah berlangsung selama tiga puluh menit. Hatiku sibuk berkomat-kamit supaya aku tidak telat sampai acara. Aku tidak bisa telat! Gaunku sudah kusiapkan dari sebulan yang lalu, semenjak aku mendapat undangan itu! Sepatu yang kukenakan juga sudah kubeli dari dua minggu yang lalu, tanpa menunggu sale, di minggu yang akan datang. Aku tidak bisa telat!

Aku tidak boleh telat!

Hujan dengan asiknya jatuh, tidak menghiraukan nasib manusia-manusia yang bisa saja acaranya hancur. Untung acaranya indoor.

Kalau saja acaranya outdoor, seperti keinginanku, bisa saja sekarang mereka sedang menikmati kudapan rasa air hujan.

Ah, akhirnya, jalan juga!

***

"Dara! Lama banget, sih, lo bilang otw dari satu setengah jam lalu, tau!"

"Macet, Sa," aku tertawa melihat sahabatku dari SMP panik, ia menjinjing gaun sewarna madunya sambil menggiringku masuk ke gedung tempat acara.

"Lo kan bridesmaid, kok di sini, sih?"

"Belum mulai acaranya, gue mau memastikan lo selamat, nggak terbang ditiup badai."

Aku tertawa.

"Gue duduk di mana, nih?"

"Di kursi."

"Iya, maksudnya, di mana?"

"Apanya?"

Lisa memang begini. Otaknya bekerja lebih lambat sepersekian detik dari otak manusia biasa.

"Oh..."

Barusan itu adalah tanda otaknya sudah mulai kembali bekerja.
"Di depan."

"Oke," kataku sambil mengikutinya berjalan masuk. Kursi-kursinya ditata dengan cantik, berkeliling dengan untaian bunga digantung di belakangnya. Aku selalu suka bunga itu, meskipun tidak tahu apa namanya, tapi warnanya yang putih kalem selalu membuatku suka.

Bau bunga sedap malam langsung tercium ketika aku duduk.

"Ra, nggak pa-pa nih gue tinggal? Gue mau ke belakang dulu, mau bantu yang lain juga."

Aku mengangguk. Lisa memang jago mengurusi party.

"Beneran nggak pa-pa, kan, Ra?"

Aku mengangguk lagi, kali ini dengan putaran bola mata. "Udah, sana, jangan lupa benerin make-up juga!"

***

Aku tahu datang ke acara ini merupakan pilihan terbaik. Karena, memang seharusnya begitu. Yang mengadakan acara ini, toh, temanku juga. Aku tahu datang dengan penampilan yang sangat kujaga merupakan pilihan terbaik.

Tetapi, aku tidak tahu, kalau mendengar Nino mengucap ijab qabul, membuat hatiku mencelos. Ada rasa sakit di sana, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.

Mataku terasa sangat panas. Pasti karena bahagia.

Pasti karena aku terharu.

Ketika melihat sahabatku yang lain, Kira, yang kini sedang duduk di sebelah Nino, tertawa bahagia, air mataku tidak bisa dibendung lagi. Aku ingin tersenyum, sekalian memuji Lisa bahwa ia terlihat sangat cantik ketika tadi memberikan cincin, tapi mulutku tidak bisa terbuka.

Berharap tidak ada yang melihat, aku bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan.

***

goneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang