dua

37 4 1
                                    

Aku dan anak itu bertemu hanya sekali. Atau, mungkin, dua kali? Aku ingat sekali ketika Masa Orientasi Sekolah, anak itu—yang namanya belum kuketahui—berdiri di sebelahku. Waktu itu jam setengah satu siang, matahari sedang jahil-jahilnya. Aku yakin tidak hanya punggungku yang berkeringat, tapi, anak satu itu, tetap mengeluarkan wangi musk. Mulutnya sering kali bergumam, setiap setelah senior kami berbicara. Baik itu marah-marah atau mengkritik. Ia sering bergumam, namun tidak pernah berbicara lantang. Mungkin nyalinya ciut.

Kedua kali, sepertinya ketika ada rapat. Aku dipaksa menggantikan temanku yang ingin menonton film sepulang sekolah. Hah! Tanggung jawab siapa? malah ditumpahkan ke aku. Alhasil, aku harus berbohong kepada ibu lewat telepon, berbicara bahwa aku ada tugas kelompok yang harus dikumpulkan besok. Ibu melarangku mengikuti kegiatan diluar kegiatan akademis. Biar fokus, katanya. Kalau mau aktif organisasi, mending di kuliah, ucapnya ketika aku bercerita tentang keinginanku mendaftar kepanitiaan.

"Siapa?"

Aku menatap lawan bicaraku bingung.

"Ngegantiin siapa?"

"Oh, Nida," jawabku cepat. "Fenida, kelas sepuluh satu?"

ia mengangguk. Setelah membiarkan aku masuk ke kelas tempat rapat, aku berhasil melirik name-tagnya. Nino Prahastomo.

***

"Heh! Gue cariin juga!"

Aku tersenyum sambil meminum gelas kedua es manado. Atau es apa ya?

"Gue kira lo pulang duluan!"

Aku menatap sahabatku, "emang lo mau pulang sendiri?"

Lisa terkekeh. "Gue tadi ketemu Rama!"

Aku hanya mengangguk, mulutku terlalu sibuk mengunyah potongan degan dan nata de coco untuk menjawab celotehannya tentang cowok tengil yang pernah mengejarku semasa SMA. Itu kata Lisa dan Kira, sih. Menurutku, Rama hanya berusaha "mengejarku" untuk mendapat ID LINE Kira.

"Dia ganteng, sekarang!"

Aku masih mengangguk.

"Pilot, lho! Kata anak-anak, sih."

Oh, ada yang lain juga yang datang?

"Sa, lo baru tunangan sebulan yang lalu, ja-"

"Heh, calon jomblo awet! Gue tuh ngepromosiin laki ke lo! Bukan buat gue!" Lisa mendengus. "Ya kali gue mau melengdari calon suami gue yang gantengnya ngalah-ngalahin Chris Evans!"

"Halah, calon suami lo gantengnya cuma 4/10!"

Ini bercandaanku. 1-10 adalah skala kegantengan laki-laki di mataku, di mana 10 adalah paling ganteng, dan 1 adalah, hm, kurang memadai. Ya. Bukan kurang ganteng, kurang memadai.

"Dara?"

speak of the devil...Aku melihat ke balik tubuh Lisa dan cepat-cepat memasang senyum. Sarafku perlu beberapa detik untuk menyesuaikan apa yang kulihat dengan memori yang kusimpan di belakang kepala.

"Lupa, ya, gue siapa? Rama, nih."

"Eh, halo, Ram. Lisa, nih." Aku mengisyaratkan Lisa untuk berbalik dengan tatapan mata. Berharap mereka bisa mengobrol sebentar. Ayolah! Es-ku belum habis.

"Rama, nih? Beneran Rama?"

Kenapa, sih, Lisa suka sok-sok drama begitu... jelas-jelas dia tadi bilang, dia Rama.

"Iya, Sa. The one and only Ramadan Adhitama."

Lisa tertawa. "Masih senga. Udah pasti bukan Rama yang lain."

goneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang