tiga

40 3 3
                                    

Aku tertawa menatapnya berjalan. Tidak ada yang lucu dengan caranya berjalan, aku tertawa karena apa yang ia lakukan barusan. Ia baru saja menggoda mbak-mbak bioskop.

"Dua tiket, seratus ribu, ya,"

"Kalau sama mbaknya berapa?"

Aku refleks menoleh dan hampir saja menyenggolnya. Mulutnya suka ngawur.

"Maksudnya, mbaknya saya bayarin nonton, juga. Biar nggak suntuk motongin tiket orang mulu," lanjutnya sambil menyerahkan dua lembar uang lima puluh ribuan. Aneh. Padahal minggu lalu, dia juga yang membayar.
Diluar dugaanku, mbak bioskop yang namanya Dewi (kubaca dari name tag) itu tertawa, "selamat menikmati filmnya,"

"Heh! Jalannya lama banget!"

Aku mendongak lalu melangkah lebih cepat ke sisinya.

"Lagi fashion show, ya?"

"Jalannya sengaja aku lama-lamain, ada yang ganteng lagi duduk di depan studio satu, siapa tau noticeaku," jawabku asal sambil melihat poster-poster film yang dilabeli 'coming soon' di sepanjang lorong.

"Oh... Mau diajak nonton, juga?"

"Yuk? Nanti aku sama masnya, kamu sama mbak Dewi."

Ia tertawa sambil menarik tanganku ke studio lima, tempat film kami dimulai sepuluh menit yang lalu.

***

"Dar, pulang sama siapa?"

Aku menoleh, mengalihkan pandangan dari macet di luar gerbang gedung pernikahan Nino dengan sahabatku. "Kayaknya mau pake taksi online," jawabku. Sebenarnya, aku ingin pulang bersama Lisa. Tapi, sahabatku satu itu akan dijemput tunangannya. Rasanya tidak enak menumpang.

"Kenapa nggak naik mobil sendiri, Dar?"

"Macetnya kayak gini?" aku kembali menatap jalanan yang meskipun sudah malam, tetap saja penuh. "Nggak, deh, makasih."

Rama terkekeh. "Bareng gue, yuk?"

"Nggak ngerepotin, nih?" lumayan, deh, menghemat ongkos.

"Nggak, lah." Rama mengambil kunci mobil dari dalam celana hitamnya. Harus kuakui, Rama yang sekarang jauh lebih ganteng daripada Rama semasa SMA yang tengil. Apalagi ketika memakai kemeja batik.

"Lo udah makan, Dar?"
Aku mengikutinya berjalan ke parkiran. "Belum, sih. Tadi cuma minum es."
"Sama. Mau makan dulu, nggak?"

Aku mengangguk, kemudian menyadari ia tidak bisa melihat anggukanku. "Ayo aja, tapi gue yang milih tempat makannya, ya?"

"Mau nyetir sekalian?" Ia menggoyangkan kunci mobilnya di hadapanku.

"Ogah."

"Mau makan apa, nih?" Rama menyalakan mesin mobil.
"Nasgor pingjal."
"Hah?"

"Udah, ngikut aja."

"Siap, tuan putri!"

Aku terkekeh kemudian menyalakan radio, membiarkan lagu menye romantis khas malam minggu menutup hening di antara aku dan Rama.

***

"Sorry, nih, tapi pisang keju itu kenikmatan kedua yang diciptakan Tuhan, setelah surga," ucapku setelah suapan kedua.

"Apa, sih, spesialnya? Cuma pisang goreng dikasih keju."

Aku melongo. "Kamu kurang bisa menikmati, deh."
"Yang nikmat, tuh, ini," Nino menunjuk nasi goreng di hadapannya. "Pisang keju itu jauh levelnya di bawah ini."

Aku sontak menggeleng. "Wah, maaf, untuk statementsatu itu, Andara Maheswari harus tidak setuju."

Cowok di depanku itu tertawa, "aku bener-bener nggak ngerti di mana enaknya pisang keju sampai kamu dewakan begitu."

"Kapan-kapan deh, aku ajak ke tempat pisang keju yang sangat worthbuat didewakan," aku menggulung mie dengan garpu, sebelum memasukkan suapan kedua.

"Oke, Sabtu depan gimana?"

"Hah?" calon suapan keduaku terhenti di udara.

"Ada acara?"

"Nggak, sih..."

"Aku jemput, ya."

Mungkin itu. Mungkin malam itu awal mula kami—aku dan Nino—jadi selalu berusaha menyempatkan keluar setiap hari Sabtu. Tidak pernah direncanakan, juga. Asal ada tujuan, kami berangkat. Nino suka bercanda, dulu, "berangkat dulu aja, nanti di sana dipikirin, mau ngapain."

***

"Dar, ini nasi goreng termurah dan terenak yang pernah gue makan."

"Nggak, ah. Lo aja kali yang kebanyakan makan makanan dalam pesawat. Lidah lo jadi asing."

Rama tertawa. "Nggak juga. Gue lebih sering makan di tempat daripada di pesawat."

"Kalau flightyang lama?"

"Biasanya minta Bunda masakin."

Aku tersenyum.

"Lo... putus sama Nino dari kapan, Dar?"

Aku berhenti menyendok nasi goreng. "Udah lama."

Rama tidak bersuara.

"Kenapa?"

"Nggak, seinget gue dulu waktu SMA, kalian deket."

Giliranku yang tidak bersuara.
"Maaf kalau pertanyaan gue bikin lo nggak nyaman, Dar."

"Nggak, kok, udah lama juga."

Udah sembilan tahun...lanjutku dalam hati.

"Lo... punya pacar, Dar?"

Aku menggeleng sambil tersenyum simpul, "menurut lo ada yang mau sama gue? Udah sibuk terus, galak, males ke mana-mana."

"Masa sih nggak ada yang mau?" Rama menyelesaikan nasi gorengnya. "Kalau gitu, gue yang antri, deh."

Aku cepat-cepat menyeruput es jerukku sebelum tersedak.

"Masih nggak lucu, ya, lo."

Aku dan Rama sama-sama tertawa. Aku mendesak Rama bercerita tentang pekerjaannya. Tentang apa saja yang ia rindukan ketika sedang banyak kerjaan. Tentang pramugari-pramugari yang gemar memanggilnya 'mas', padahal jarak umur mereka hampir sepuluh tahun. Rama bercerita, ia benar-benar berubah setelah lulus SMA. Bukan lagi anak cowok tengil yang sering bolos.

"Iya, sih, kelihatan," ucapku. "Lebih... laki."
"Lebih ganteng?"
Aku menggeleng, "gotta say no to that."

"Lo kenapa milih spesialis anak, Dar?"

"Asik aja."

"you seriously think I'll buy that lie?"

Aku menghembuskan napas panjang. Ya sudah lah, ceritakan saja, toh, ini bukan rahasia negara. "Dulu, ada yang janji sama gue buat bikin TK. Terus, gue yang jadi gurunya. Emang, sih, cuma lucu-lucuan. Tapi, gue selalu mikir janji itu sebagai mimpi kami bareng-bareng. Terus, ternyata, jalan kami beda, Ram. Beda jauh. Jadi, yaa..." ada sedikit panas yang terasa di belakang mataku. "This is the closest I could be with that lost dream."

***


Kami pulang ketika macet sudah lumayan reda. Selama perjalanan pulang, bukannya hening, Rama sibuk melucu. Mungkin ia bisa menyadari moodku yang berubah.

Sebelum ia pulang, pilot yang selera humornya rendah itu sempat-sempatnya masih melucu,

"Eh, Dar?"

"Ya?" aku menunduk sedikit, sehingga bisa menatapnya lewat jendela mobil.

"Masalah antrian tadi,"

Aku mengangkat kedua alis.

"Gue nggak bercanda, lho."

Pilot sukses di umur 28 tahun, tapi payah sekali dalam urusan melucu.


"Pulang lo sana," aku tertawa sebelum ia melaju keluar dari parkiran apartmentku.

***

perihnya beda.

hahah, selamat menikmati, semuanya! :)

-a

goneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang