PROLOG

81 5 3
                                    

Langit kembali kelabu tepat saat kepulan pertama kopi hitam melambung. Jendela kaca besar disebelahku tak henti-hentinya menayangkan lalu lalang orang-orang yang saling mendahului seakan urusannyalah yang terpenting. Manusia dan ambisinya. Proyektor nyata itu masih saja merekam setiap gerakan dengan sabar, menyajikannya pada beberapa kepala yang saling menunduk di dalam coffee shop. Ku duga mereka sudah lelah memperhatikan yang nyata. Kelabu yang suram itu berubah menjadi mendung pekat dan aku mulai khawatir seseorang yang ku tunggu tak akan pernah datang, sedang jam di tangan kiri menunjukan hampir pukul setengah enam.

Ah.. kopi dan mendung. Aku tertunduk lesu. Bukan untuk mengecek social media seperti yang dilakukan kebanyakan orang ketika bangun pagi sampai kembali tidur, tapi untuk menatap kepulan putih yang menebarkan wangi menenangkan. Kopi dan mendung. Dua kombinasi yang jika ku renungkan akan membawaku kembali kepada kenangan silam yang entah tergolong manis atau pahit. Yang jelas, keduanya seharmonis gula dan kopi didepanku. Aku menyukainya. Kenangan yang meski membawa kegetiran di hati, tapi juga sengatan rindu yang terletak dilipatan hati terdalam. Kenangan tentang hidup, ambisi, dan tujuan. Kenangan tentang seseorang dengan mata bulat yang selalu bertanya, "Bagaimana cara menjalani hidup yang tidak kita sukai?" tanyanya, hampir selalu disetiap pertemuan kami. "Hidup bukan untuk dijalani, tapi dinikmati" kataku yang akan dilanjut dengan perdebatan tentang bagaimana hidup seharusnya.

Ting!

Ponsel yang sengaja ku letakan di sudut terjauh dari meja berbunyi, menampilkan dua kalimat yang membuatku mengumpat pelan. Ceking sialan!

Yan, gue lembur ngga bisa dateng. Sorry.

Gagal lagi misi interogasiku.

Ketika jam menunjukan pukul 6 aku mulai bangkit dan memaksa kepalaku untuk tetap tegak meskipun kekecewaan mulai menjalari punggungku dan membuatku merinding. Kemana lagi harus ku temukan dia yang telah menghilang beberapa tahun lamanya. Dengan berat dan kecewa ku langkahkan kaki menuju trotoar depan kafe.

"Saya di depan Kafe Louis pak." Dadaku mencelus saat mendengar suara itu. Ku arahkan kepalaku ke segala arah sampai mataku bertemu sosok dengan gaya pakaian yang sangat ku kenali dengan baik. Celana kain hitam dengan blouse putih yang dipadukan dengan blazer hitam dan oxford shoes terpasang rapi pada kedua kaki yang bergantian menghentakan tanah tanda gusar.

Tuhan.. ku rasa aku menemukannya.

Destinesia #SungaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang