Seusai mengobrol banyak dengan Ivan mengenai proker-proker yang akan datang dan beberapa topik random lainnya aku baru sadar aku telah mengacuhkan benda pipih itu cukup lama. Thanks to Ivan aku tidak lagi memikirkan rumah. Positifnya mungkin bunda dan ayah sedang menikmati waktu senggang berdua, negatifnya mungkin masakan bunda gagal dan ayah keceplosan mengatakannya.
Suara gaduh di luar dibarengi dengan siulan panjang penghuni tetap sekret membuatku dan Ivan saling pandang karena terakhir kami mengecek ke luar sekret hanya ada kami berdua dan... beberapa cowok fakultas teknik di gazebo milik anak sipil yang dekat dengan parkiran mobil. Karna jantan jarang sekali bersiul kepada sesama, kamipun mengartikan ada betina yang salah masuk kandang. Aku dan Ivan buru-buru keluar mencari tau siapa betina yang sedang sial masuk ke kandang jantan kurang belaian ini. Dan benar saja begitu kami keluar aku mengenali sosok pucat itu cemberut saat ditodong dengan berbagai pertanyaan dan komentar yang membuat wajahku panas. Apalagi saat aku dapat melihat jelas sosok itu adalah pacarku, Rosie. Ck, ada-ada saja. Ngapain sih dia muncul pukul 22.00 begini.
Ivan yang sepertinya sudah mengenali sosok itu mengikuti langkahku mendekati kerumunan yang menatap pacarku dengan kurang ajar. Kalau saja bukan karena sentuhan tangan Ivan di pundakku, aku pasti sudah kalap. Siapa yang tidak marah melihat pacarnya dikelilingi cowok-cowok dengan komentar dan pertanyaan kurang ajar? Meski tidak dicolek tetap saja itu namanya pelecehan secara verbal. Katanya berpendidikan, hal sesederhana menghormati wanita baik verbal maupun nonverbal saja tidak becus.
"Yan.. jangan ngamuk, bahaya nanti. Cewek lo juga kasian. Udah tarik aja kesini" Ivan mengingatkanku begitu tau lagak jalanku mulai tidak wajar.
Rosie yang sedari tadi menunduk sambil memeluk diktat kuliah di dadanya mengangkat kepalanya dan menemukanku. Seketika wajahnya terlihat ingin menangis. Aku tidak tega jadi aku mempercepat jalanku.
"Kamu ngapain kesini?" tanyaku begitu sampai di dekat kerumunan itu. Anak-anak sipil mulai membelah dan memberiku jalan. Langsung saja kugenggam tangannya yang Ya Tuhan.. gemetaran dan dingin sekali. "Temen-temen sorry ya ini cewek gue, jadi gue bawa dulu ya" pamitku yang diikuti koor 'yaaa' seantero kerumunan itu. Ivan yang tertinggal di belakangku cekikikan.
"Pertanyaan pertama buat cewek jam segini mah yang bener 'lo manusia apa setan?' bukan 'mau mampir kosan abang ngga?' dasar mesum lo pada!" candanya pada kerumunan itu. Setelahnya aku tidak lagi mendengar pembicaraan mereka karena cewek di sebelahku mulai sesenggukan.
"Aku nggak suka teman-temen kamu!" katanya lirih saat kami sudah sampai di halaman gedung sekret. Tangannya masih gemetaran.
Perlahan aku menyentuh tangan itu, "Iya dong. Kalo kamu suka bisa berabe aku cemburu sama cowok satu fakultas" candaku, wajahnya yang memerah karena menangis memandangku dengan cemberut. Aku menyentuh hidungnya dan mengelus rambutnya. "Lagian kamu ngapain malam-malam kesini?"
"Kamu dihubungin nggak bisa Yan. Kata Ziath kamu masih di sekret. Mobil kamu kan lagi di bengkel, motor lagi dipinjam Ucup 'kan?"
Aku memandangi wajahnya dan tersenyum.
Kalau sudah begini Rosie mirip sekali dengan bunda bawelnya. Aku jadi kangen bunda.
"Kita pergi ke puncak yuk Yan. Aku lagi suntuk" katanya tiba-tiba sambil menggenggam tanganku.
"Malam ini?"
Ia hanya mengangguk. "Tapi.. ini udah malem, besok aja ya kita berangkat pagi-pagi"
Ia menggeleng dan matanya mulai berkaca-kaca. Rosie bukan tipikal cewek yang mudah menangis, sebaliknya ia kuat luar dalam. Melihatnya dalam mode cengeng seperti ini membuatku gelagapan sendiri. Jadilah aku hanya seperti orang bego dengan satu tangan menggengam kedua tangannya dan tangan yang lain berusaha menghapus air mata yang mulai berjatuhan tak beraturan. Ya Tuhan.. ada apa sih dengan orang-orang hari ini?
"Mama sama Papa kamu bisa nyariin nanti Ros.. ngga mungkin aku bawa kabur kamu dengan kondisi begini kan?" bujukku berusaha mengembalikan akal sehatnya. Sebaliknya, Rosie malah mengambil ponselnya dan menunjukan pesan di grup keluarganya kalau ia akan ke Puncak denganku. Aku menatapnya macam menatap orang yang tidak waras.
Maksudku, aku bukannya tidak ingin pergi ke Puncak dengannya. Tapi ini malam hari, mana mungkin aku membawa anak orang sekalipun orang tuanya mengizinkan. Lagian orang tua Rosie mikir apa membiarkan anaknya semalaman denganku sekalipun mereka mengenalku dengan baik. Tetap saja kita masih pacaran. Khilaf bisa saja terjadi, 'kan?
"Kita nggak akan ngapa-ngapain kok Yan.. aku janji" katanya polos membuatku ingin mencubit pipinya agar ia tersadar. Harusnya aku yang ngomong begitu, kan aku cowok. "Aku Cuma mau ngomong serius sama kamu. Aku butuh udara dingin biar otakku dingin. Aku pengen bekuin otak supaya stop memikirkan hal-hal yang bikin aku sedih"
Aku menarik napas dan mengiyakan ajakannya. Sesuai dugaan ia langsung memelukku dan yang membuatku semakin tidak mengerti adalah dia langsung menangis disana. Air matanya membasahi leherku dan aku tidak tahu harus bagaimana selain mengelus punggungnya.
Sayup-sayup bersamaan dengan isakannya aku mendengar ia menggumam kata 'makasih' dan 'maaf'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destinesia #Sungai
General Fiction"Hidup itu mengalir, dinikmati, tak ada yang perlu disesali" kataku menenangkannya. "Tunggu sampai saat sesuatu yang kau abaikan menumpuk menjadi besar dan akan menghalangimu menuju tujuanmu" dan seperti biasa, ia memintaku untuk waspada. ** Tentang...