Jam di pojok kanan atas ponselku sudah menunjukan pukul 20.35 yang artinya sudah lima belas menit aku memandang benda pipih itu.
Bunda itu tipe ibu rumahan banget meskipun ia juga wanita karir. Bunda jarang banget keluar rumah untuk hal-hal seru semacam arisan atau nongkrong-nongkrong cantik macem wanita karir yang bersuami kaya raya, bukan jarang lagi, seingatku tidak pernah malah. Bunda lebih suka di rumah, buka-buka buku resep masakan dan mempraktikannya dan rutin memaksa anak dan suaminya mencoba masakan atau nggak palingan ia nonton teve aja nunggu ayah pulang.
Family over everything itu motto bunda, jadi tidak heran jika bunda punya jadwalnya sendiri untuk menghubungiku. Tiap jumat malam misalnya, karena bunda selalu bilang sabtu malam waktu buat ayah. Aku sih iya iya aja karena tidak mau durhaka menganggu quality time mereka. Gimana ya.. kalau di rumah kalian cuma ada bunda dan ayah yang anaknya ngekost jauh yang diharepin kan cuma satu, mereka akur terus. Jadi setiap kali bunda bilang ingin menemani ayah sebagai kalimat penutup telpon, aku sih tidak akan protes.
Berbeda dengan bunda, ayah juga punya caranya sendiri untuk terus menghubungiku. Biasanya lewat pesan-pesan terusan di whatsapp yang isinya mengingatkan untuk belajar, sukses, dan tips-tips menjadi orang berguna, semacam itulah. Kalau dengan ayah aku lebih suka diskusi soal isu-isu bisnis, organisasi, dan perusahaan. Ayah expert kalo masalah begituan.
Jadi kalau ditanya lebih dekat dengan siapa aku ini, aku pasti jawab keduanya. Karena selama ini aku sama sekali tidak kekurangan kasih sayang dari ayah dan bunda. Bunda untuk masalah sensitif yang menye-menye tentang hidup, ayah tentang bagaimana untuk survive di hidup semacam itu.
Kedekatan yang seperti itulah yang membuatku bingung saat ini karena hari ini sudah menginjak minggu kedua dan baik ayah atau bunda sama sekali tidak memberi kabar. Saat ku tanya keduanya hanya bilang sedang baik-baik saja dan banyak kerjaan. Seumur hidup keduanya tak pernah memberi alasan seklasik itu jika aku menghubungi mereka.
"Kenapa Boi?" Ivan temenku sebiro di BEM Fakultas Teknik mengagetkanku dari belakang, membuatku memberengut tak senang karena ia pasti melihat pesan cupu yang ku kirimkan ke bunda dan ayah di grup keluarga. "Iyan kangen.." katanya membeo pesanku. "Cih.. gue nggak nyangka lo ternyata anak mami" sial, dia benar-benar mengintip.
"Ya lo kira aja emang gue lahir dari apa? Nggak mungkin dari burung bangau yang tiba-tiba nongol depan pintu bonyok (bokap-nyokap) gue bawa bayi 'kan?" dengusku, langsung mematikan layar dan mengantongi ponselku.
Sekret BEM jumat malam pasti sepi lantaran tidak semua mahasiswa suka menghabiskan waktu membusuk di sekret kecuali Ziath dan Ivan yang jomblo, aku sih tidak langganan, tapi malam ini suasana hati sedang melankolis karena merasa diabaikan oleh ayah dan bunda. Rosie sih tidak membantu sama sekali, dia malah sedang asik dengan teman-temannya.
"Gue jadi tau Yan kenapa lo selalu seneng.. ya gimana lo mau sedih kalo orang-orang disekeliling lo semuanya sayang sama lo" Ivan membaringkan tubuhnya disebelahku dan menjadikan kedua telapak tangannya yang saling menyatu sebagai bantal.
Aku tertunduk mendengar ucapannya. Kalau boleh sombong, apa yang dikatakan Ivan barusan memang benar adanya. Sejak kecil karena merupakan anak tunggal, aku seakan menjadi pusaran kasih sayang bunda dan ayah. Pusat perhatian, pusat dunia. Pun hal itu tidak berhenti ketika aku mulai puber, justru rasanya semakin meningkat. Rasanya.. aku memang tumbuh dengan menggenggam keduanya erat-erat. Saat mulai beranjak dewasa rasanya posisiku semakin penting saja, mengingat ayah dan bunda yang selalu melibatkanku disetiap keputusannya. Sesederhana potongan rambut ayah dan bunda sampai serumit urusan perusahaan.
"Gue bahagia karena gue selalu berpikir semuanya baik-baik saja meskipun kenyataannya mungkin nggak begitu" jawabku diplomatis karena entah kenapa saat ini aku berharap semuanya sedang baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destinesia #Sungai
General Fiction"Hidup itu mengalir, dinikmati, tak ada yang perlu disesali" kataku menenangkannya. "Tunggu sampai saat sesuatu yang kau abaikan menumpuk menjadi besar dan akan menghalangimu menuju tujuanmu" dan seperti biasa, ia memintaku untuk waspada. ** Tentang...