E N A M

0 0 0
                                    


Calulla POV

     Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah. Ya, tentu saja bersama kak Teresa. Namun, jika di Bumi kak Teresa sudah SMA, di sini kak Teresa masih SMP. Karena SMP di sini, di atur lima tahun. Sedangkan SMA hanya satu tahun. Semester di sini pun ada lima semester tiap satu tahun ajaran.
     Kami datang ke Academy ini, terlalu cepat satu minggu, seharusnya. Karena ulah Dad dan Mom yang takut kami ketinggalan pelajaran, maka kami pun di ikutkan khursus tambahan selama beberapa bulan ini. Mungkin kira-kira selama tiga bulan ini. Oh ya, di sini, satu minggu itu dihitung sebanyak delapan hari. Namun satu bulan, tetap tiga puluh hari kok. Aneh bukan? Namun, beginilah keadaan di Qualet.
     "Calulla, belajar yang rajin dan jangan nyusahin dan bikin ribet kak Teresa ya. Teresa, kamu juga belajar yang rajin. Adiknya dijagain, jangan dijailin, jangan dinakalin. Kalian baik-baik di sini.
     "Kalian juga ikut pembelajaran full day school, jadi kalian harus pandai-pandai mengatur waktu. Ya sudah, Mom sama Dad pamit pulang dulu ya." kata Mom dan Dad pamit undur diri untuk kembali ke istana.
     Setelah Mom dan Dad pergi, kami pun melangkahkan kaki ke dalam Academy.
     Baru saja beberapa langkah, kami sudah disuguhkan dengan keindahan Academy ini. Mulai dari tanaman yang melayang, hingga bangunan melayang pun juga ada. Jangan heran, namanya juga sekolah sihir.
     Kamipun terus menyusuri jalan setapak, hingga berhenti di depan pintu utama. Baru saja kami hendak membuka pintu utama, kami sudah dikejutkan oleh pintu yang terbuka sendiri. Tak lupa sang empu juga menampakkan diri.
     Namun, bukan berjalan, tapi naik awan! Ya, ada name tag di sana. Tuan Hedre.
     "Tuan Hedre ya? Saya Teresa Pricillya Darena. Dan ini adik saya, Calulla Patricia Pricil. Kalau boleh tahu, di mana kamar asrama kami ya?" kata kak Teresa dengan cepat hingga membuat Tuan Hedre melongo tanda tak mengerti.
     "Baru kali ini ada siswa baru seperti kalian. Saya sangat takjub sekali.
     "Selamat datang di Qualet Xerzyo Academy. Sekolahnya para bangsawan dari seluruh penjuru negeri. Memiliki pelayanan yang bisa dibilang kelas A, dan tidak pernah membeda-bedakan muridnya.
     "Di sini, tidak ada Zakatushe ataupun Zamatushi. Semua orang di mata kami sama. Karena kalian diajarkan hidup mandiri di sini, dan dilarang membeda-bedakan.
     "Kamar kalian ada di gedung asrama khusus Zamatushi. Di koridor Andromeda nomor 29. Semua sudah disediakan di kamar. Kalian bisa mengetahuinya sendiri. Maka dari itu, saya pamit dahulu, karena saya juga punya pekerjaan."
     Lalu, Tuan Hedre pun pergi meninghalkan kami. Kamipun dengan cepat menuju gedung asrama putri. Dan, kamipun juga melewati koridor Andromeda, hingga sampai pada kamar nomor 29.

     Satu kamar ada dua orang. Dan, di dalam kamar, sudah ada jadwal dan sepuluh pasang seragam tiap orang. Ada pula sepuluh pasang sepatu, dasi, bando, topi, tas, dan masih banyak lagi. Semua perlengkapan sekolah berjumlan sepuluh pasang.
     Di sepanjang koridor tadi, suasana lumayan sepi. Mungkin karena faktor kami yang datangnya paling awal. Itupun bukan karena kami antusias, namun karena Mom dan Dad yang cemas.
     Bukan cemas atas keselamatan kami, namun cemas karena pengetahuan kami. Di atas ranjang, jelas terpanpang nyata selembaran kertas hitam yang bertuliskan menggunakan tinta putih. Ya, itu adalah jadwal.
     Jadwalku dan kak Teresa berbeda. Sangat berbeda.
     "Kenapa jadwal kita padat sekali? Coba saja kalau kita bisa, pasti jadwal kita tak sepadat ini." kata kak Teresa frustasi.
     Akupun teringat dengan benda yang diberikan kak Devto kemarin.
     "Kakak ada sesuatu untuk kamu. Kakak yakin, kamu bisa menjaganya baik-baik. Karena kakak bisa melihat apa yang ada dalam diri kamu, yang tidak dimiliki oleh Teresa. Tapi kamu harus janji, ini hanya rahasia kita berdua saja." kata kak Devto yang nampak serius kala itu.
     "Kakak mau memberikan liontin ini untuk kamu. Ini bukan sembarang liontin. Ini liontin yang mampu mengeluarkan cahaya merah dan biru, tergantung apa yang kamu hadapi dalam situasi terdesak saat itu. Kakak juga memakai, namun berupa gelang.
     "Itu adalah pelindung, sekaligus penyelamat. Kamu pikirkan saja sendiri apa yang harus kamu lakukan, dan apa yang bisa membuay liontin itu bekerja.
     "Banyak-banyaklah membaca agar kamu bisa paham apa yang kakak ucapkan. Sebenarnya, kakak ragu dengan Teresa. Karena dia seperti berbeda dari keluarga kita.
     "Walaupun kamu anggap dia sama, namun kakak rasa tidak. Mungkin suatu saat nanti, kita bisa mengetahui apa yang seharusnya kita ketahui." kata kak Devto sembari memakaikan lionting di leher jenjangku.
     "Nggak usah ngelamun mulu napa?" kata kak Teresa membangunkanku dari lamunanku.
     "Nggak apa-apa kak Teresa. Yuk keluar, gerah di dalam ruangan terus." kataku mengalihkan topik. Dan benar saja, itu bekerja. Kak Teresa begitu mudahnya menerima tawaranku.

***

Teresa POV

     Ada yang aneh dengan Calulla. Sepertinya dia sedang ada masalah. Tadi dia ngelamun, terus dengan seenaknya menggantikan topik. Mengajakku keluar, dengan alasan yang sangat tak masul akal. Aku sih terima aja, biarin saja dia merasa lega jika aku tidak mengungkit masalahnya lagi.
     Aku masih terpikir oleh perkataan Mom kemarin. Tak lupa dengan perkataan kak Devto pula.  
     Saat itu, tak sengaja aku mengikuti mereka. Mengapa? Karena aku sangat penasaran atas gerak-gerik mencurigakan mereka. Enak saja, aku ditinggal di ruang belajar. Sementara mereka malah keluyuran.
     Saat itu, akupun juga turut mendengar kata-kata yang serasa menusuk hatiku. Apa-apaan kak Devto ini. Dia bilang, aku berbeda dengan yang lain? Itu seperti belati yang tiba-tiba menyayat hati ku ini.
     "Kakak ada sesuatu untuk kamu. Kakak yakin, kamu bisa menjaganya baik-baik. Karena kakak bisa melihat apa yang ada dalam diri kamu, yang tidak dimiliki oleh Teresa. Tapi kamu harus janji, ini hanya rahasia kita berdua saja." kata kak Devto yang nampak serius kala itu.
     "Kakak mau memberikan liontin ini untuk kamu. Ini bukan sembarang liontin. Ini liontin yang mampu mengeluarkan cahaya merah dan biru, tergantung apa yang kamu hadapi dalam situasi terdesak saat itu. Kakak juga memakai, namun berupa gelang.
     "Itu adalah pelindung, sekaligus penyelamat. Kamu pikirkan saja sendiri apa yang harus kamu lakukan, dan apa yang bisa membuay liontin itu bekerja.
     "Banyak-banyaklah membaca agar kamu bisa paham apa yang kakak ucapkan. Sebenarnya, kakak ragu dengan Teresa. Karena dia seperti berbeda dari keluarga kita.
     "Walaupun kamu anggap dia sama, namun kakak rasa tidak. Mungkin suatu saat nanti, kita bisa mengetahui apa yang seharusnya kita ketahui." kata kak Devto sembari memakaikan liontin indah itu ke leher adikku, Calulla.
     "Sekarang, ganti kakak yang ngelamun?!" seru Calulla yang membuatku tersadar atas lamunanku.
     "Siapa juga yang ngelamun. Ah, sudahlah. Yuk duduk saja." akupun duduk terlebih dahulu di bangku danden (taman).
     Dan menutup mataku, merasakan semilirnya angin pagi yang senantiasa menerpa badanku. Pikirankupun mulai menerawang perkataan Mom kemarin sore.
     "Ren, aku khawatir dengan Teresa." kata Dad kala itu.
     "Iya Van. Bagaimana tidak, cepat atau lambat, Teresa juga bakal tahu jati dirinya. Dan mungkin, keluarga kitapun juga akan hancur. Tapi, aku sudah siap jika itu terjadi.
     "Toh, juga Teresa sudah dewasa. Dia pasti bisa membedakan, mana yang baik, dan mana yang buruk." kata Mom juga angkat bicara.
     "Semoga saja, tidak akan terjadi kejadian yang tidak diinginkan." kata Dad kala itu juga.
     Akupun reflek menjauh dari pintu dan pergi dalam diam menuju halaman istana..

X E R Z Y OTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang