5. Kabar

24 4 1
                                    

 "Jangan sedih, jarak itu sebenarnya tidak pernahada. Pertemuan dan perpisahan itu ditentukan oleh perasaan."     

***

Semakin lama, aku merasa bahwa kita semakin dekat, Biru. Saat itu kita bukan hampir setiap hari lagi bertemu, tetapi setiap hari. Kau tahu, itu adalah hal yang menyenangkan bagiku. Karena bisa dekat terus denganmu adalah hal yang paling menyenangkan bagiku. Dengan frekuensi pertemuan kita yang semakin bertambah, aku semakin yakin bahwa perasaan itu benar-benar nyata adanya.

Aku tak ragu lagi dengan perasaanku kepadamu, rasa itu nyata dan besar adanya, kian hari kian bertumbuh. Tapi, kau sadar bukan kalau aku ini adalah wanita, wanita itu pandai menutupi perasaanya. Ingin rasanya aku mengungkapkan semua yang kurasa, namun aku terlalu takut akan reaksimu setelah kau tahu semuanya.

Hari itu sabtu pagi, kau mengajakku untuk berjalan-jalan keliling,aku ikut saja. Kau bilang, kau ingin mengajakku membicarakan sesuatu, kau tahu? Kadang aku sempat merasa ke-GR- an dengan caramu menatapku menggunakan mata teduhmum itu, dan entah kenapa aku selalu saja merasa gugup, jantungku berdetak dengan cepat.

Setelah 15 menit kita berdiam diri dengan pikiran masing-masing, kau membuka suara mulai menceritakan sesuatu dan itu adalah kata-katamu yang membuatku menyesal mendengarkananya, hatiku mencelos. Yang kutahu, saat itu duniaku terasa hancur. Bukan,ini bukan tentang wanita, bahkan sepertinya jika kau menceritakan tentang wanita lain hatiku tak akan seperih ini ketika mendengarnya.

"Aku akan pergi selama setahun" Ucapmu mengawali pembicaraan.

Aku pun heran, ku kira kau cuma bercanda. Kucoba cari kebohongan di manikindahmu itu, tapi aku tak menemukannya.

"Kau serius? Se- selama itu? Kemana? Untuk apa? Kapan?" Aku mulai terbata-bata, menanyakan segala pertanyaan yang terlintas di dalam benakku. Untung saja aku masih bisa mengontrol agar air mata initak keluar di depanmu. Kau pernah bilang jika aku menangis kau akan ikut merasakan sakitnya bukan?, aku hanya tak ingin membuatmu ikut sakit, itu saja.

"Aku serius. Satu tahun hanyalah sebentar, Tha. Kita bisa video call ataupun chatting setiap waktu, jika aku tidak sibuk tentunya. Aku mendapatkan beasiswa untuk belajar lebih dalam lagi tentang jurnalistik di Finlandia. Aku terpilih bersama kedua orang temanku, ini sudah menjadi mimpiku sejak dulu. Dan 3 bulan lagi aku akan berangkat." Kau menjelaskannya dengan mata yang berbinar-binar, nampak sekali semangatmu itu, aku jadi tidak tega untuk menahanmu tetap tinggal disini bersamaku.

Ku hembuskan nafasku, lalu kupeluk dia. Tak apa aku sakit, asal kau bahagia. Bukankah sumber bahagiaku kamu? Dan bukankah ini semua untuk masa depanmu? Kau tahu, kadang aku berpikir, apakah ada namaku di dalam daftar masa depanmu? Kau anggap apakah aku ini?. Entah, aku sendiri pun juga bingung.

"Jangan sedih, jarak itu sebenarnya tidak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan itu ditentukan oleh perasaan." Kau mengucapkan sambil mendekap dan mengusap-usap kepalaku. Lagi-lagi aku luluh dengan kenyamanan yang kau buat.

Aku berusaha membendung air mataku agar tidak jatuh, ku pasang senyum termanis dan tertulusku, sebagai ungkapan bahwa aku juga bahagia mendengarnya. Ah entahlah, sebutlah aku munafik. Terlihat baik-baik saja di depanmu, tapi hati meraung-raung ingin menhan kepergianmu. Aku ini siapamu?.

Kulepaskan dekapan hangat yang selalu menjadi tempat ternyaman itu. Aku memandangimu, mensyukuri ciptaan tuhan yang sangat sempurna di hadapanku. Kulihat juga binar matamu yang terlihat senang, lagi-lagi tak kulihat kebohongan yang ada. Aku selalu suka memandangi matamu, manik indahmu itu seakan selalu bisa menenangkanku, seolah-olah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Lagi-lagi kau mengukir senyum di bibir indahmu itu, ahh itu juga senyuman favoritku saat ini. Tuhan rupanya sedang bahagia saat menciptakanmu.

Sudah cukup suasana haru tadi menyelimuti kita berdua. Dengan sigap kau meraih tanganku, menyimpannya dalam genggamanmu, hangat seperti biasanya. Kau membawaku tempat makan di pinggir jalan, dari baunya, ah cukup menggoda, cacingku sudah meraung-raung minta diisi makanan.

"Ceweknya jangan digandeng mulu mas, kayak lagi nyeberang jalan aja." Tiba-tiba bapak-bapak penjual makanan itu berbicara kepadamu dengan nada yang bercanda tentunya.

Aku tergelak, ingin tertawa tetapi sungkan, lantas kubalas saja, "Mangkanya, Bang, lain kali jualan berdua sama pasangan biar ada yang gandeng."

Kau hanya tertawa sedikit, lalu menimpal dengan candaan, "Ini nanti kalau gak digandeng hilang, Bang! Susah nyarinya."

"Eleuh-eleuh neng, yang mau diajak juga siapa, tulang rusuk aja saya belum nemu." Bapak-bapak penjual itu menimpali lagi dengan tertawa menggeleng-gelengkan kepala.

Lantas aku menjawab lagi, "Sabar, Pak. Mungkin tulang rusuknya ikut ke masak."

Si Bapak menimpali lagi,"Haha, si Eneng bisa aja. Mau pesen apa nih, Neng, Kang?"

Seketika, kau langsung memesan apa yang ingin kau makan, dua porsi tentunya denganku, tak perlu banyak bicara, kau selalu memahamiku. Lagi-lagi aku jatuh, dan cinta, hal ini yang aku sukai darimu, tanpa aksara kau datang sebagai pelipur lara selalu ada saat suka maupun duka. Sepertinya semua hal yang menyangkutmu aku suka. Yang tak kusuka darimu? Ah sepertinya belum ada, aku selalu suka semua hal tentangmu, aku selalu antusias mendengar cerita-ceritamu.

Tak perlu menunggu lama, makanan pun datang. Kita menyantapnya dengan diam, bagiku ini diam yang menyenangkan. 30 menit berlalu, kita sudah sama-sama kenyang.

"Sudah sore, kau ingin ke mana lagi? Mari kita membuat kenangan sebanyak-banyaknya. Anggap saja sebagai penebus hutangku setahun kedepan." Ucapmu sambil bercanda

"Kemana saja, aku ikut." Jujur saja, saat itu aku bingung ingin ke mana lagi, karena di benakku pun aku masih memikirkan keberangkatanmu tiga bulan lagi. Tiga bulan bukanwaktu yang lama bukan jika kita bersama dengan orang yang kita sayangi?.

"Okay. Let's go!" Kau menarik tanganku untuk menuju ke parkiran.

Sore itu benar-benar tak terlupakan, aku masih ingat setiap detiknya. Kita pergi ke Pantai, menikmati anginnya melihat matahari tenggelam, menikmati senja bersama. Senja memang selalu indah, takpernah mengecewakan, seperti kamu. Andai waktu bisa diulang lagi.

Walaupun sesak di dadaku masih tetap ada, tak papalah, yang penting aku tak mennjukkannya kepadamu, tenang saja, aku akan bahagia, di rumah nanti aku bisa menangis bukan? Menghabiskan stock tissue yang ada di rumah. Aku hanya ingin kau tidak terlalu memikirkan diriku, dan membuatku tidak terlalu bergantung kepadamu, hey apa kau sadar? Kau itu candu.

to be continued...

***

Hello Guys! How r u? gimana nih part 5 nya? kira-kira Biru beneran pergi, atau ada sesuatu yang tak bisa ia bagi? coba tebak wkwkwkw.

penasaran ga nih, bakalan ada apa? stay tune terus ya! masukin juga ke library atau reading list kalian. Jangan lupa Vote dan Comment! 1 vomments sangat berarti. Thank you!


regards,

Lili

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HI, BIRU!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang