Setelah acara makan malam dirumah keluarga Pramana, Zira berpikiran bahwa ia akan segera terlepas dari jangkauan pria tinggi itu, Devan. Mengira jika kegiatan tipu-menipu yang mereka lakukan terhadap para paruh baya dihadapan mereka akan segera berakhir. Namun siapa sangka, ekspektasi Zira bertolak belakang dengan realita yang ada. Semua karena Nadara, mama Devan. Wanita setengah abad itu menghancurkan harapan Zira untuk segera terbebas dari Devan.
"Kamu antar Zira pulang yaa Van. Biar mama sama papa pulang duluan. Mungkin kalian masih membutuhkan waktu untuk berdua." Nadara tersenyum, menggoda putranya bersama gadis yang ia harapkan akan segera menjadi menantunya itu.
Zira hanya dapat tersenyum kikuk, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
"Mama tau aja kalo Devan masih kangen sama Zira. Secara kan Devan dan Zira jarang ketemu karena kesibukan masing-masing. Iya kan sayang?" Devan mengode Zira dengan tatapan pembunuhnya, membuat Zira hanya mampu mengangguk ragu.
"Yaudah deh ma, pa Devan sama Zira berangkat duluan yaa." Devan dan Zira meraih tangan kedua paruh baya itu dan segera berlalu dari kediaman Pramana.
Devan hanya berniat untuk mengantarkan Zira pulang, bukan melakukan hal-hal romantis seperti yang diharapkan mamanya.
Selama perjalanan menuju kos-kosan Zira suasana didalam mobil begitu hening. Keduanya lebih memilih untuk diam. Devan sesekali melirik gadis disebelahnya yang terlihat sedang uring-uringan sejak dari kediaman keluarga Pramana.
"Lu kenapa sih? Dari tadi gk bisa diam, kaya orang cacingan." Devan membuka obrolan dengan kalimat yang mampu membuat Zira berubah menjadi banteng yang siap menyeruduk ketika sudah merasa tertekan.
"Harusnya gue yang nanya gitu. Lu kenapa hah?! Maksud lu apa nyeret-nyeret gue ke dalam masalah perjodohan lu?! Enggak mau dijodohin sama mbak Avi? Kalo enggak mau kenapa enggak terus terang aja? Kenapa lu sangkut pautin sama gue?!" Zira akhirnya menyemburkan segala lahar panas miliknya.
"Gue minta maaf untuk masalah ini. Gue bingung harus gimana, udah berulang kali gue nolak untuk dijodohin tetap aja orangtua gue kekeuh. Dan kebetulan tadi lu ada, gue enggak punya cara lain selain nyeret lu kedalam masalah gue." Devan melirik sekilas gadis disebelahnya, untuk melihat perubahan ekspresi gadis itu.
Zira memalingkan pandangannya dari pria menyebalkan menurutnya itu. Lebih memilih fokus pada jalanan diluar jendela, tidak berniat untuk melanjutkan perdebatan dengan pria itu.
Devan yang tidak mau ambil pusing lebih memilih bungkam dan hanya akan mengeluarkan suara ketika menanyakan jalan menuju kos-kosan gadis itu.
Sesampainya didepan kos-kosan, Zira langsung turun dari mobil ranger roover milik Devan. Mengucapkan terimakasih dengan ketus dan kemudian menghempaskan pintu mobil pria itu dengan kasar sehingga menghasilkan bunyi debuman keras yang membuat si pemilik mobil terlonjak kaget.
Zira terus melangkahkan kakinya menuju pintu kos-kosan, tidak perduli dengan Devan yang masih setia mengekorinya sembari meneriaki namanya.
"Zira." Tidak ada jawaban, gadis itu masih setia membisu, tanpa sedikit pun menoleh pada pria itu.
"Zira, dengarin gue dong." Devan meraih tangan Zira yang bebas, menautkan jemarinya disana.
"Gue minta maaf atas kekonyolan yang gue perbuat malam ini. Gue terpaksa Zi." Devan kembali mengulang permintaan maafnya, mempererat tautan jarinya.
"Gue maafin. " Zira mulai buka suara, menarik tangannya dari genggaman pria itu.
Devan tersenyum sumringah, menampilkan deretan giginya. Tanpa sadar memeluk gadis itu, membuat gadis tersebut terdiam kaku. Zira kaget dengan perlakuan Devan yang tiba-tiba memeluknya. Devan yang mulai menyadari tingkah kekanakannya menarik diri dari gadis itu, menyisakan rasa canggung diantara keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Reason Of The Emptiness (#Wattys2018)
Romance"Kapan kuliah kamu selesai?" "Kapan kamu wisudanya?" "Buruan diselesaikan kuliahnya" "Kamu harus wisuda tahun ini." Pertanyaan-pertanyaan serta pernyataan-pernyataan barusan bukan untuk yang pertama kalinya kudengar. Bahkan sudah hampir ratusan ka...