[3]

35 8 5
                                    

"NGGAK BISA GITU DONG USTADZ!"

Dengan ketikan capslok bernada marah-marah seperti itu, sudah dipastikan pelakunya adalah Jesya. Perempuan yang kini tengah memakai jilbab berwarna merah muda-karena pertemuan dengan Pak Ustadz-itu menggebrak meja dengan tak santai. Jesya memandang lelaki paruh baya yang disegani orang sekomplek dengan tatapan tak terima.

"Astaghfirullah. Kalau ayah saya jantungan, saya nggak akan segan melaporkan kamu ke pihak hukum." Lelaki disamping Ustadz itu berujar, lebih tepatnya merasa kesal saat ayahnya 'dibentak' oleh Jesya.

"Idih, alay banget. Mas siapa sih, emangnya kita kenal?"

"Saya Jemindar, anak pertama dari laki-laki yang daritadi kamu bentak-bentak."

"Jangan fitnah, daritadi saya udah ngomong selembut mungkin."

"Oh, jadi bicara dengan nada tinggi sekaligus melotot dan menggebrak meja itu, bukan bentak namanya? Sorry not sorry, saya nggak bisa bayangin gimana kamu pas kalut kalau begitu aja dibilang lembut."

"Pak Ustadz, dia ngapain sih disini?"

"Saya jelas nemenin ayah saya. Memangnya salah?"

Ustadz yang umurnya sudah paruh baya itu semakin pening. Tidak mengerti bagaimana cara menjelaskan pada Jesya yang ia sendiri tau memiliki kepribadian keras kepala dan galak. Sudah berkali-kali dijelaskan, Jesya tetap tidak setuju dan menolak.

"Jem, kamu diam dulu."

Jemindar buru-buru mengatupkan mulut. Tentu saja dia tau bagaimana ayahnya marah kalau omongannya tidak dituruti. Sedangkan Jesya, tersenyum penuh kemenangan ketika melihat wajah Jemindar yang pias.

"Dengarkan saya lagi, Nak Jesya."

Jesya melirik Pak Ustadz, mendengarkan untaian kalimat yang sedari tadi diulang-ulang. Membosankan, tapi dia hanya menunggu waktu untuk membantah. Setelah itu, Pak Ustadz menjelaskan lagi, Jesya membantah, dan seperti itu seterusnya.

"Dua minggu lalu, saya sangat senang karena kedatangan ibu kamu ke rumah saya yang minta izin kalau anaknya mau mengajar ngaji di masjid setiap sore. Sudah lama saya mencari, tapi kebanyakan nggak ada waktu luang di sore hari. Ketika kamu menawarkan diri, jelas saya menerima dengan senang hati."

Pak Ustadz menambahkan, "Setelah saya tes, bacaan Al-Qur'an kamu memang bagus. Kamu tartil, dan pemahaman tajwid kamu dalam. Saya semakin yakin untuk menerima kamu."

Jesya menatap lurus mata teduh yang kelopaknya sudah sedikit keriput itu. Pak Ustadz sangat sabar memberi Jesya pemahaman, berusaha semaksimal mungkin agar Jesya tidak sakit hati atas perkataannya.

"Tapi selama dua minggu kamu mengajar. Selama dua minggu itu pula setiap harinya saya mendengar laporan dari ibu-ibu. Katanya anak mereka trauma mengaji di masjid karena ibu gurunya galak. Satu persatu keluar dari TPA. Dan saya semakin khawatir."

Jesya hendak membantah, namun diselak oleh Jemindar dan kata-kata sengaknya. "Makanya, lebih baik kamu berhenti aja. Saya bisa kok, menggantikan kamu. Kebetulan saya baru aja lulus S1."

Jesya mendelik marah. Daritadi dia sudah cukup menahan kata-kata kasar dan suara lima oktafnya. Dan sungguh, ucapan lelaki itu mengundang amarah Jesya, yang kembali terpendam ketika Pak Ustadz menengahi. "Jem, jangan ngomong begitu. Maaf ya, Nak Jesya. Saya bukannya gimana-gimana, tapi ada baiknya kalau kamu berhenti."

Seketika tatapan Jesya meneduh. Bukan karena sedih tidak bisa mengajar lagi. Bahkan Jesya juga muak mengajari bocah ingusan yang susah dibilangin. Tetapi itu lebih baik daripada ia harus mendengarkan ibunya marah. Ibunya akan memakinya habis-habisan dan memotong uang bulanan. Serius, Jesya sangat takut. Walaupun dia punya segudang kata-kata untuk mengelak atau kata-kata pedas yang membuat ibunya diam, tetapi Jesya tau pasti, ibunya akan sedih.

HERDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang