[8]

28 6 12
                                    

"Lo yakin Yo, hape Dara udah nggak dipegang Jesya?"

Yoyo mengangguk pasti. "Gue yakin, waktu gue ke rumahnya kemaren, dia lagi pegang hape kok."

"Awas aja ya, kalo ini yang ngangkat si Jesya. Gua potong titut lo."

"Bawel lo ah, buru."

Dengan terpaksa Teyo memencet fitur panggilan pada Dara Adyana. Ini ponsel Yoyo, tetapi sebagai pertanggungjawaban, Teyo lah yang harus mengurusi semuanya.

"Halo, Dara."

"Hm?"

Teyo dag-dig-dug, karena ini hanya dehaman yang sembilan puluh persen memungkinkan bahwa pemiliknya adalah Jesya. Buru-buru dia melempar tatapan pada Yoyo, kemudian bicara tanpa suara. "Ini Dara kok aneh banget?"

Yoyo mengangkat bahu. Kemudian menempelkan ponsel itu lagi ke kuping Teyo.

"Gue mau minta tolong, bisa ketemu nggak?"

"Hm, bisa. Kapan?"

Teyo menghela napas lega. Walaupun suaranya bukan suara Dara, tetapi suara ini lembut, jadi tidak mungkin Jesya yang menerima panggilan ini.

"Sekarang, gimana?"

"Oh, bisa."

"Lo nggak tanya mau ketemu dimana?"

"Nggak. Karena gue nggak mau kalau bukan di rumah Jesya. Jadi lo mau nggak mau ke sini, oke?"

Teyo kaget karena gaya bicara Dara yang tidak aku-kamu. Dia ragu. "Eung, nanti gue telepon lagi ya, Dar. Bye."

Panggilan terputus. Dan Teyo melihat teman-temannya sudah memasang tampang berharap. "Gimana, Yong? Bisa?" tanya Ijung khawatir.

"Dara nggak mau kalau nggak di rumah Jesya."

"Gila cewek lo, Yo. Udah kayak majikannya Jesya aja."

"Iya, Jesya Anjing Herdernya." Yoyo menukas cepat. "Lagian wajar lah, mereka kan udah temenan lama. Dara berlindung ke Jesya tuh wajar."

"Lah, tobat lo?"

Danar tertawa, "Abis di-skak sama Jesya tadi. Mukanya udah songong eh taunya kena skak juga."

"Bacot."

"Jadi gimana?" tanya Teyo.

"Samperin aja lah, ayok." Danar berjalan lebih dulu, lantas terjungkal kebelakang ketika Kori menarik kaus-nya. "Apaan sih, Koh?"

"Gue takut."

"Lu bobok aja dah di rumah, cuci kaki, cuci muka, minum susu, bobok deh." Danar mencecar. Membuat Kori mendelik tajam. "Lo mah, cuma gara-gara cantik bisa luluh. Murah."

"Lah kok lo nyolot sih?"

"Iya berantem aja terus sampe Jesya nonton film bokep kita, terus kita digebukin sampe bonyok." Teyo menyindir tajam, sukses membuat mereka berhenti bertikai.

Kemudian dengan Danar yang memimpin, kelima laki-laki kurang kerjaan itu berjalan menuju rumah Jesya dengan istighfar setiap di langkahnya.

***
Jesya sedang serius melihat Arin memasak. Benar kata orangtuanya, Arin itu sempurna. Cantik, bisa memasak, baik, berpendidikan, punya pekerjaan tetap, punya pacar yang setia dan yang paling penting Arin sangat nurut kepada orangtua.

"Jeshie, tolong ambilin pisau, di atas nakas."

"Ck, jangan sok imut. Nama gue Jesya." Jesya beranjak, lebih tepatnya hanya berdiri untuk mengambil pisau yang dimaksud kakaknya. Pisau untuk memotong daging, sedikit besar dari pisau biasanya.

HERDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang