[9]

21 6 4
                                    

OFFICE GIRL.

Jesya tengah merekam kalimat itu kuat-kuat di kepalanya, membayangkan sejuta keindahan yang mungkin ia rasakan ketika menjadi office girl. Tapi bahkan sudah dua hari berpikir, tidak ada satupun yang bisa ia anggap menyenangkan. Mulai dari disuruh bikin kopi, mengepel lantai, beres-beres ruangan, Jesya benar-benar tidak bisa membayangkan dia harus mengerjakan semuanya nanti.

Jesya memang tidak mempunyai pengalaman kerja sebagai office girl, tetapi dia jelas bisa menimang barangkali apa yang harus dikerjakannya. Maka dari itu, dia kembali ragu. Dia bahkan merutuki karena sudah empat tahun dari kelulusannya di SMA, dia tidak pernah mendapat pekerjaan kecuali office girl atau kasir indomaret.

"Ini gue yang kualat sama Mamah apa emang nggak ada kerjaan selain dua itu sih?" Adalah pertanyaan yang paling sering Jesya ucapkan ketika mendapat tawaran.

Hari ini, jadwal dimana Jesya harus mendatangi kantor tempatnya bekerja. Dia menimang-nimang, haruskah?

"Kalau nggak ada Jemindar, gue mendingan ngajar ngaji sampe gue nikah deh, sumpah!"

Kemudian, dia menyesali perkataannya tersebut, membuat tangannya otomatis menepuk jidat. "Duh, lupa! Gue kan nggak mau nikah!"

"Jesya?"

Jesya menoleh ketika Arin membuka pintu kamarnya. Lantas dia menaikkan kedua alisnya pertanda 'apa?'

"Lo nggak jadi berangkat? Ini udah mau siang, lho!"

"Sini deh, Rin."

Arin mendekat, kemudian duduk di kasur Jesya yang berantakan naujubilah. "Kenapa lo, galau?"
Jesya mengangguk. "Males banget Rin, yakali gue disuruh bikin minuman, ngepel, nyapu, nyuci piring, idihhhh."

"Makanya kuliah." Arin menyahut cepat.

"Lo juga S1 cuma jadi Sekretaris kan?"

"Setidaknya nggak luntang-lantung dan terpaksa jadi guru ngaji, kan?" Arin menyindir agak frontal. Kemudian melihat adiknya yang tengah dilanda gundah itu dengan tatapan sendu. "Gue turut sedih adik gue nggak punya masa remaja yang cerah, tapi mikir deh, Jes, lo pikir lo hidup berapa kali? Lo pikir kapan lagi bahagiain orangtua kalau bukan sekarang?"

"Apaan sih lo, sok melankolis banget."

"Apa perlu Mamah atau Papah meninggal dulu baru lo sadar?"

"RIN." Jesya hampir memekik. Melihat kakaknya yang terlalu jauh berbicara. Namun diam-diam, hatinya sedikit terbuka. Jesya menyimpan kalimat Arin dalam-dalam, membuat sebuah pendirian yang kuat di dirinya.

"Lo harus kuliah, Jesya. Secepat mungkin."

"Hm. Lo keluar deh, gue juga kayaknya nggak jadi ngelamar nih kerjaan." Jesya menunjuk sebuah amplop cokelat berisi surat-surat, ijazah dan persyaratan dengan dagunya. Dan dengan ragu Arin meninggalkannya seorang diri.

"Lo sama sekali nggak tau apa-apa," katanya penuh pendirian ketika kakaknya sempurna melenyap dari kamar.

***

"Eh, btw, ini flashdisk Jesya belum sempet dibalikin ya, Yong?" Danar bertanya membuat Teyo mengangguk cepat.

"Kalau gitu, ayo kita ke rumah Jesya lagi!"

"HAH NGAPAIN?" Kori adalah manusia paling syok menyangkut Jesya.

"Ya balikin nih flashdisk lah!" kata Danar menyentak. Kebetulan Yoyo dan Ijung sedang ada kerjaan, jadi tinggallah mereka bertiga di basecamp itu.

"Nggak usah, Nar, tunggu Jesya ke sini aja." Teyo menolak.

"Jangan!! Makin parah kalau dia yang kesini, Yong. Kemarin dia udah bawa-bawa piso, kalau dia kesini bawa golok gimana?"

"Dia nggak goblok kayak elo, Nar. Nggak mungkin dia menunjukkan diri sebagai pshyco!"

Kori hanya menyimak, lagipula menurutnya, aksen Indo-nya sedikit aneh, jadi dia lebih sering diam.

"Loh kenapa enggak, Yong? Dia aja udah terkenal jadi Guru Setan kan?"

"Guru Setan?" Teyo dan Kori kompak bertanya.

"Iya, si Jesya kan ngajar ngaji di Masjid. Tapi anak-anak pada kabur karena ketakutan. Gue khawatir anak pengajian jadi makin sedikit."

"Sudah gue duga, Jesya adalah seseorang yang berhubungan baik dengan masjid," kata Teyo dramatis.

"Kalau berhubungan baik, anak-anak nggak bakalan sampe keluar pengajian kali, Yong. Gimana sih."

"Alah sok khawatir. Lo mah anak-anak bisa ngaji atau nggak aja nggak pernah peduli kan?" Kali ini, Kori ikut menyindir pada Danar.

"Kita tuh punya masalah apa sih, Koh? Dari kemaren kayaknya lo sensi banget sama gue."

"Lo merebut Yoyo dari gue, Nar."

"Yoyo jelas couple gue! Kita kan partner ngejablay."

Kori mendesis. "Lo membawa sebuah karma buruk pada Yoyo!"

"Tenggelamkan aku ke dalam lautan yang paling dalam Ya Allah! Atau mereka aja deh yang nyungsep di Kali Malang!" Teyo jadi kesal.

"Biasa dong, Yong. Lo juga sensian banget si sama gue," kata Danar menganalisa.

"Ya elo sih, sok mau jadi rival gue buat dapetin Jesya."

Danar melotot. "Lah, suka beneran lo?!!!"

***

HERDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang