[4]

22 8 7
                                    


Jesya menggerutu sebal, lebih tepatnya mengumpat. Ini hampir jam lima sore tetapi anak-anak belum juga datang. Jesya yakin dia tidak sepikun itu untuk melupakan jadwal mengaji anak-anak. Dia sempat berpikir, apakah mereka semua benar-benar keluar? Tidak, seingatnya, masih ada sekitar enam sampai tujuh orang yang masih bertahan.

"Assalamu'alaik-"

"Lama banget sih anjing."

Tidak sempat beristighfar, Jemindar yang baru datang hanya melongo mendengar Jesya memotong salamnya dengan perkataan kasar. Dia seharusnya tidak sekaget itu karena sudah mendengar kelakuan Jesya yang sebenarnya. Tetapi mendengarnya langsung, otomatis membuat Jemindar melongo.

"Sori, keceplosan."

Jesya benci harus berbicara saya-kamu dengan bahasa formal. Bukan apa-apa, dia biasanya tidak jauh dari kata elo-gue dan kata-kata kotor semacam anjing, babi, monyet, dan lain-lain.

"Maaf saya lupa kasih tau kamu, hari ini anak-anak diliburkan."

"HAH!?"

Jemindar mundur selangkah ketika Jesya berteriak. Dia tau persis perempuan di depannya ini sangat terpaksa berkelakuan baik. Jemindar merasa bangga bisa membuat Jesya sopan walau terpaksa.

"Yaudah minggir, saya mau pulang!" Jesya menyentak dan berlalu dengan menabrak bahu Jemindar. Lelaki itu sempat mengernyit lalu berkata, "Kamu marah?"

Seperti kejadian di drama-drama, entah kenapa langkah Jesya terhenti. Dengan bola mata yang sudah diputar, dia menjawab, "Harus banget saya jawab ya, pertanyaan kamu itu?"

"Kalau enggak, saya nggak akan nanya."

Jesya mendengus. "Saya kesal." Entah darimana kata-katanya itu berasal, yang jelas Jesya tidak pernah menyangka dia bisa berbicara layaknya anak gadis yang ngambek dengan pacarnya.

"Jangan kesal sama saya."

"Terus sama siapa? Karpet masjid?"

Jemindar tertawa ganteng. "Kalau kamu udah nunggu setidaknya setengah jam dan mereka nggak datang, seharusnya kamu pulang. Bukan malah nunggu disini."

"Seharusnya kamu yang lebih cepet kasih tau ke saya kalau hari ini libur, Jem."

Jemindar diam. Membuat Jesya melanjutkan langkahnya keluar masjid. Jemindar benar-benar buruk. Gara-gara dia, Jesya harus berbicara seperti guru Bahasa Indonesia. Dia benci. Dan dia semakin benci ketika ingat dia harus bertahan setidaknya sampai dia mendapat kerja.

"Tunggu dulu, Jesya. Kalau kamu kosong, mending ngopi di starbvck. Mau?"

Jesya berbalik dengan marah. "Kamu jangan seenaknya nawarin orang ke starbvk. Kamu kira kopi disana nggak mahal?"

"Oke kalau gitu, dimana?"

Jesya terlihat berpikir, sampai akhirnya menjatuhkan pilihan. "Ngopi di rumah saya aja. Kebetulan kopi di rumah masih serenceng."

"Boleh, tapi, orangtuamu ada di rumah?"

Jesya mengangguk singkat. "Ada kakak di rumah. Dia termasuk orangtua kan?"

HERDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang