Sihir, pikir Bryony dengan berkecil hati. Manusia punya sihir.
Bryony duduk dengan berat di undakan pintu. Sekarang ia tahu bahwa para manusia bukanlah monster. Mereka mungkin masih berbahaya, tetapi mereka bukan binatang yang hidup dengan insting belaka. Mereka cerdas. Mereka orang.
Serta-merta sebuah bayangan lewat di depannya. Ia melompat panik sebelum menyadari dirinya masih aman wujud gelap itu tetap berada di sisi terjauh dari pintu. Faktanya, dengan cahaya seterang itu datang dari bagian dalam Rumah, dan tidak ada selain kegelapan di kebun tempat Bryony berdiri, akan sulit bagi para manusia itu untuk melihatnya, kecuali mereka sudah tahu harus melihat ke mana. Dengan hening, ia menegur dirinya sendiri atas kepengecutannya tadi. Bryony merangkak ke dekat jendela lagi."Kau sudah lihat?" Suara itu terdengar hampa dari sisi lain kaca. "Kita dapat surat dari Paul hari ini."
Penutur itu seorang wanita yang lebih tua, rambutnya seperti sebuah topi longgar ikal-ikal cokelat bergaris perak. Dia mengangkat sebuah nampan dari meja teh dan melangkah pelan keluar dari pandangan lagi, menambahkan sambil berlalu. "Dia terdengar jauh lebih bahagia akhir-akhir ini Aku penasaran, mungkin dia sudah bertemu seseorang?"
Mereka menuturkan bahasa kami, pikir Bryony heran. Bagaimana mereka bisa hidup sangat dekat dengan kami selama bertahun-tahun, dan kami tidak pernah tahu itu?
"Aku meragukan hal itu," kata sebuah suara yang lebih dalam. Bryony menjulurkan lehernya untuk melihat seorang manusia lainnya memasuki ruangan dan duduk di salah satu kursi berlengan. Bryony mengerutkan dahi sejenak, bingung melihat rahang persegi, dada rata, dan tangan-tangan yang berat; kemudian ia menyadari bahwa kedua manusia itu berpasangan, dan ini pastilah yang jantan. Makhluk yang tampak aneh dia itu! Tapi, dia juga mengingatkan Bryony pada anak laki-laki yang pernah ia temui saat sedang memanjat Oak, bertahun-tahun lalu itu. Apakah anak itu tinggal di Rumah juga?
"Yah, bagaimanapun, dia menikmati paduan suaranya," ujar yang wanita, "dan mereka telah menjadikannya kapten tim dayung tahun ini."
"Beatrice," kata pria itu, melambaikan sebuah lembar kertas terlipat kepada wanita itu, "aku bisa membaca."
Pasangannya membuat suara tertawa kecil dan terdiam. Akhirnya pria itu membiarkan halaman kertas itu jatuh ke pangkuannya dan bersandar mundur dalam kursinya sambil mendesah.
"Tidak di sini saat Natal," kata pria itu sedih.
Oh, George, dia masih muda. Usia enam belas akankah kau mau melepaskan kesempatan pergi ke Paris untuk duduk saja di rumah bersama orangtuamu. Setidaknya dia akan diurus dengan baik, dan kita akan bertemu dengannya pada Tahun Baru"
"Semoga" Pria itu melemparkan amplop ke meja teh. Amplop itu bergerak cepat menyeberangi permukaan meja dan tersandung ke lantai. Bryony membaca alamat yang tertulis di atas surat itu dengan cepat--George dan Beatrice McCormick-- kemudian merunduk kembali ke dalam bayang-bayang saat pria itu mendekat.
"Kau perlu bantuan dengan piring-piring itu? tanyanya, berhenti untuk mengambil surat tadi. "Aku akan mengeringkannya, kalau kau mau."
"Baiklah," kata wanita itu, kemudian seolah terkesan bantuan itu bukan apa-apa sehingga menambahkan, "makasih."
Bryony mundur selangkah, tercengang. Bagaimana bisa manusia berterima kasih kepada pasangannya, begitu saja? Berutang seumur hidup kepada pria itu, semuanya demi beberapa piring?
Di sisi lain, Bryony menyadari ketika syoknya surut, pria itu tampaknya juga sama tidak sadarnya tentang tingkah anehnya itu. Pria itu menawarkan bantuan tanpa diminta dan bahkan tanpa mengambil waktu untuk tawar-menawar Apakah dia benar-benar menghargai jasanya sesedikit itu? Tidakkah dia takut pasangannya akan mengambil keuntungan darinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Knife : Pemburu Mantra
FantasyKnife bertekad untuk mencari tahu kenapa sihir kaumnya telah hilang dan berusaha mendapatkannya kembali. Ia tidak takut terhadap apa pun--tidak kepada gagak yang jahat, para manusia yang hidup di dekat situ, bahkan kepada sang Ratu Peri. Tapi, ketik...