Bab 1: Dianggap orang-orang terbuang

53 4 0
                                    

Suatu saat nanti, bukan hanya para Guru yang mengakui kehebatan kita tapi juga dunia.

❤️❤️❤️

X Bahasa. Kelas yang terkenal dengan orang-orang yang bodoh. Guru yang masuk  Kelas itu hanya akan memandang mereka sebelah mata.

"Mungkin di Kelas ini memang orang-orang terpilih yah?" tanya guru matematika mereka. Bu Ulfa.

Diam.

Semua penghuni Kelas itu hanya diam mendengarkan sindiran tak kasat mata itu.

Andai didepan mereka ini bukan seorang Guru, Mora yakin jika semua cowok di Kelasnya ini akan menghajarnya.

Terdengar beberapa orang menghela nafas, berusaha mengusir rasa kesal yang mulai muncul dalam jiwa mereka.

Mereka semua memperhatikan guru itu yang menatap Kelas mereka dengan tatapan menilai.

"Kelas kalian belum dihias? Seharusnya kalian cepat hias, liat Ipa, perwalian ibu. Kelas mereka sudah rapi dan bagus dengan hiasan-hiasan yang mereka buat," kata Bu Ulfa.

Mora membuang nafas pelan, cewek itu melirik jam dinding yang berada didepan Kelas. Masih Satu jam lagi.

"Kenapa kalian diam? Apa memang benar di Kelas ini seperti tahun-tahun lalu? Bodoh, tidak tau menghargai Guru, dan payah." kata Bu Ulfa.

Mora mengalihkan tatapannya kepada teman-temannya. Beberapa cowok sudah mengepalkan tangannya kuat.

"Bu, harusnya ibu paham dengan karakter masing-masing siswa. Dan saya rasa ibu tau bahwa semua orang tidak sama, ada beberapa yang cepat berbaur dengan lingkungan barunya, tapi ada juga yang butuh waktu lama untuk membuka diri kepada lingkungannya," kata Mora.

Hening yang tercipta membuat suara Mora jauh lebih keras dari biasanya. Semua orang menatapnya dan memberi cewek itu senyuman tipis.

"Dan soal Kelas, bukankah kita masih tiga bulan di Kelas ini. Butuh waktu untuk mengerti setiap sudut ruangan ini untuk dihias." lanjut Mora.

"Kamu berani angkat bicara?" tanya Bu Ulfa dengan nada sinis.

"Lah, bukannya ibu yang dengan terang terangan mengkritik Kelas kami dan membandingkannya dengan Kelas ibu? Lalu apa salahnya Mora angkat bicara untuk menjelaskan dan membantah hasil pemikiran ibu itu." kata Aldi. Bu Ulfa terlihat tidak suka dengan semua kata-kata yang baru dia dengar.

"Kalian emang selalu payah dalam semua hal."

"Dan kami siap membuktikan kepada semua orang yang memandang kami sebelah mata jika pintar tidak ada gunanya tanpa kreatif."

❤️❤️❤️

"Gue berasa asing disini. Seolah ini bukan sekolah kita juga," kata Mora sambil menyuapkan satu sendok nasi goreng kedalam mulutnya.

Fara mengangguk membenarkan. Cewek itu tidak buta jika Bu Ulfa sedang menjelaskan dan menyamakan X Bahasa tahun ini dan tahun lalu.

"Sebenarnya kesel sih dibanding-bandingin gitu. Siapa coba orang dimuka bumi ini yang biasa aja pas dibandingin kayak gitu. Gue gak suka aja, bu Ulfa bandingin kita sama anak perwaliannya cuma make satu sudut pandang."

Mora mengangguk, dia juga merasa kesal dengan Guru itu. Apa kata-kata wakil Kepala Sekolah hanya kalimat penenang agar mereka tidak memilih pindah ke Ips?

Cewek itu menatap setiap orang dari berbagai jurusan yang mulai masuk ke Kantin.

Mora mendengus kesal saat beberapa orang menatap jijik mereka.

"Mereka minta diajarin apa?" tanya Aldi kesal. Mora menggeleng pelan, cewek itu hanya menikmati nasi gorengnya tanpa berniat memberikan pendapatnya.

"Kelas pembuangan? Kenapa ada disini?" tanya beberapa siswa, Mora yakin itu jurusan Ips.

Mora hanya menatap sekilas, tidak berniat mengabaikan nasi gorengnya demi hal tidak penting. Aldi, Fara, dan Denis juga sama, tak berniat mengabaikan aktifitasnya demi hal tidak penting.

Prangg

Tatapan Mora berubah datar saat nasi gorengnya berhamburan dilantai Kantin. Cewek itu menatap dingin tiga cowok dan dua cewek didepannya.

"Kalo gue ngomong tuh, liat. Jangan belagu, dari Kelas pembuangan aja songong. Ck." kata cewek didepan Mora.

Mora hanya menatap dingin, sedangkan Fara, Aldi, dan Denis saling tatap. Seharusnya lima orang didepannya tidak cari gara-gara dengan Mora yang sedang dalam keadaan tidak baik.

"Emang lu dari Kelas apa sampe berani buat sesukanya?" tanya Mora dengan suara rendah.

Semua orang diam, memperhatikan geng Sindi Cs yang terkenal suka cari masalah.

"Gue? Gue dari Kelas Ips, gak kayak lo dari Kelas pembuangan." kata Sindi sambil tertawa.

"Dan lo merasa bangga? Seberapa hebat kerja otak lo itu?" tanya Mora masih dengan suara rendah.

Sindi menatap Mora dengan tatapan tak suka. Sejak awal dia masuk di Sekolah ini tidak ada yang berani menentang atau membantah apa yang dia katakan.

Sindi menatap penampilan Mora yang terlihat biasa saja. Cewek itu tertawa sambil berkacak pinggang.

"Penampilan Kelas pembuangan emang dari dulu kampungan tau gak!" kata Sindi sambil menatap Mora rendah.

"Jaga tatapan lo kalo gak pengen buta. Emang lo udah merasa paling kekinian dengan baju ketat dan rok ketat itu, lo make kerudung buat apa kalo gunung lo masih tercetak jelas?"

Skakmat!

Sindi menatap Mora tak suka, beberapa detik kemudian cewek itu berlalu meninggalkan Mora.

"MAKANYA KALO HIDUP BELUM SEPENUHNYA BAIK, GAK USAH SOK NILAI HIDUP ORANG LAIN!" teriak Mora.

❤️❤️❤️

Tidak ada perasaan yang lebih buruk saat dianggap sampah ditempatmu sendiri. Seolah ingin percaya jika Sekolah ada tempatmu juga namun sekitar seolah mempertegas jika kau bukan apa-apa selain sampah sekolah.

Ingin membuat mereka semua sadar, jika setiap orang berbeda. Dan mereka berbeda dari kakak tingkat mereka tahun lalu.

Apa setiap orang hanya memandang ilmu pengetahuan tanpa memikirkan jika ilmu pengetahuan tidak akan berkembang tanpa adanya kreatifitas?

Mora hanya ingin satu hal, melakukan perubahan yang bisa membuat semua orang mengubah cara pandangnya terhadap mereka.

Awalnya Mora berpikir jika jurusan Bahasa lebih tinggi dari Ipa, nyatanya salah. Yah, Mora tau setiap pemikiran itu berbeda beda. Dan biar Mora katakan pemikirannya.

Mungkin Bahasa dianggap buruk karna malas harus belajar tentang perhitungan? Tapi apa orang juga berpikir jika Ipa dan Ips mampu berbicara saat debat ditiadakan dalam pelajaran inti mereka?

Mungkin Bahasa bukan orang pintar dalam ilmu Ipa dan Ips. Bahasa hanya orang-orang yang ingin membuat khayalan menjadi kenyataan, yang bisa membuat bayangan menjadi sesuatu yang dipandang.

Bukankah Bahasa termasuk dalam ikatan soladiritas tertinggi melebihi Ips? Lalu apa salahnya jika Bahasa berekspresi lewat karya yang tercipta melalui khayalan awal?

Amara ZamoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang