III

41 1 0
                                    

Rizqi masih kesal dengan sikap Liona yang kasar. Semua didikannya pada Liona hilang sudah. Sopan santun, tatakrama, dan penggunaan bahasa formal. Liona seperti gadis liar menurut Rizqi.

"Pa, ayo kita cek keadaan Liona."

Sudah berulang kali Vanda mengajak suaminya untuk mengecek keadaan Liona. Namun emosi pada diri suaminya tak kunjung reda. Ida yang berdiri dekat majikannya hanya dapat menatap pintu kamar Liona dari ruang keluarga. Dirinya khawatir dengan keadaan Liona.

Tanpa meminta persetujuan majikannya, Ida pergi menuju kamar Liona. Berhenti sebentar di depan pintu kemudian mulai memanggil nama Liona. Tak ada balasan sehingga Ida mengulang sekali lagi. Masih tetap tak ada balasan. Entah mengapa perasaan Ida tidak dapat tenang. Ida kemudian memanggil majikannya dari atas.

"Tuan, Non Lio saya panggil tidak ada jawaban."

"Paling dia tidur," jawab Rizqi acuh.

"Pa, kalau dia pingsan gimana? Papa kan tau dia belum makan."

Rizqi mendongak menatap istrinya. Ia melupakan kalau kondisi Liona lemah karena tidak ada asupan nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya. Rizqi berpikir sejenak membuat Vanda gemas. Ia kemudian menarik suaminya untuk bangkit dari duduknya. Akhirnya Rizqi pergi menuju kamar Liona diikuti Vanda. Ia memasukan kunci dan memutarnya.

Matanya menangkap seorang gadis tertidur di lantai dengan darah mengalir dari pergelangan tangannya.

"LIONA!" pekik Rizqi kaget. Rizqi sedikit berlari menghampiri tubuh Liona yang terkulai lemas dilantai. Buru-buru ia memeluk tubuh Liona. Menatapnya dan meneriakan namanya dengan air mata yang berlinang. Ia mulai kalang kabut.

"NON LIO!" Ida yang baru melihat keadaan Liona ikut menghampiri Liona. Vanda hanya mematung di depan pintu masuk kamar Liona. Mulutnya terbuka tanda ia terkejut. Kakinya sulit digerakan karena matanya menangkap darah segar yang terus mengalir dari pergelangan tangan kiri Liona.

"BUN! CEPAT HUBUNGI AMBULAN!"

Mendengar teriakan ketakutan dari Rizqi ia segera mengeluarkan ponselnya. Jari-jarinya menekan digit angka dengan gemetar. Setelah nada tut terputus buru-buru ia bersuara. Menyebutkan dengan cepat alamat tempat tinggalnya.

Tak lama berselang, ambulan datang. Liona segera dimasukkan ke dalam ambulan. Tenaga medis disana berusaha semaksimal mungkin menghentikan darah yang ke luar dari pergelangan tangan kiri Liona dalam perjalanan menuju rumah sakit. Hanya Rizqi yang menemani Liona dan terus menangkup wajah Liona. Memanggil nama Liona berkali-kali.

Tetes demi tetes air mata keluar dari pelupuk mata Rizqi dan jatuh mengenai wajah Liona yang pucat pasi. Tapi toh tetap saja Liona tidak akan membuka matanya. Hingga akhirnya Rizqi harus melepas Liona memasuki ruang UGD. Suster menyuruhnya menunggu di kursi tunggu.

Orang-orang menatapnya iba. Terlebih melihat kemeja putih Rizqi yang terlihat noda merah cukup banyak. Rizqi menunduk. Wajahnya ia tangkup menggunakan kedua tangannya dan menangis. Ida, Vanda, dan Rio yang berada dalam genggaman Vanda baru sampai dan melihat Rizqi tengah menangis. Vanda menitipkan Rio pada Ida lalu menghampiri Rizqi dan mengusap punggungnya berharap dapat menenangkannya.

"Aku gagal jadi Papa yang baik Bun. Aku gagal," ucap Rizqi parau dalam tangisnya. Vanda hanya bisa diam takut salah dalam berkata-kata. Bukannya membuat baik suasana malah memperkeruh suasana. Jadi ia memilih jalan aman.

Pria berjas putih keluar dari ruang UGD, membuat mereka termasuk Rizqi sontak menatap ke arahnya. Pria itu bertubuh lebih pendek dari Rizqi dan rambut hitamnya terlihat mulai berubah warna menjadi putih. Kentara sekali dokter itu berumur lebih tua dari Rizqi.

Putri Dalam SangkarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang