#4: Asphyxiate

51 11 12
                                    

"7 of 10.000 people in this world refused to die. That means, 9.993 people attempt to die, hesitate to die, neutral in die, hesitate to refuse die, or other reasons we couldn't thinking off."

Keenam anak itu berdiri, berbaris di dalam ruangan terang yang tersinari cahaya luar dari ventilasi. Di hadapan mereka, seorang pria berbadan kekar duduk di atas kotak kayu.

Warna dan model rambut serta jenis kelamin anak-anak itu, mulai dari kiri: hitam pendek laki-laki, hitam pendek laki-laki, pirang terurai perempuan, abu-abu keriting pendek perempuan, hitam pendek laki-laki, hitam terurai perempuan.

Mereka semua memakai baju longgar yang lusuh, sobek sana-sini, dan memiliki satu macam warna. Celana yang mereka pakai pun seperti itu. Tampak mengenaskan sekali. Rambut mereka acak-acakan dan tak terawat, wajah dan kulit kotor, macam anak yang tidak mandi berbulan-bulan.

"Kalian cocok sekali memakainya. Sekarang, kalian mengerti apa yang harus kalian lakukan? Hm, baiklah." Pria itu berdiri. "Mulai sekarang, kalian harus berkeliling di tempat-tempat yang ramai, tempat di mana orang-orang biasa lewat. Bawalah kaleng-kaleng bekas, nanti akan aku beri, lalu mintakan uang kepada mereka. Benar, kalian akan mengemis."

Semua anak masih mematung.

"Kau!"–ia menunjuk anak yang berbaris di paling kanan–" Di jembatan penyeberangan."

"Kau,"–lalu menunjuk di sebelah kiri anak tadi–"di lampu lalu lintas."

"Kau!"–pria itu menunjuk ke anak di sebelah kirinya lagi–"temani dia."

"Kau,"–ia menunjuk ke anak di sebelah kirinya lagi–"temani mereka juga."

"Nah, kalian berdua yang tersisa di trotoar."

Pria itu berdiri tegap.

"Mengerti, semuanya?"

***

Pagi hari yang cerah untuk suasana wilayah perkotaan. Semburat cahaya oranye menyembul dari timur, mulai memenuhi angkasa, menerangi langit yang awalnya gelap.

Jalan raya dilewati berbagai kendaraan, trotoar dilalui para manusia yang hendak melakukan aktivitas pagi, jembatan penyeberangan digunakan orang-orang untuk menyeberangi jalan raya dengan aman.

Di pinggir jembatan penyeberangan yang agak dekat dengan tangga, anak perempuan bersurai hitam panjang yang tampak kotor dan acak-acakan berdiri di sana, menggenggam sebuah kaleng bekas berdiameter kecil. Sesekali ia menyodorkan kaleng itu kepada orang yang lewat. Beberapa memberinya uang receh, beberapa menolak, dan sisanya hanya mengabaikan anak itu.

Jalan dua arah lebar itu dibatasi taman yang panjang. Dua lampu lalu lintas di sana menyala ke merah, motor-motor pun berhenti di belakang zebra cross. Tak lama kemudian, dua anak—perempuan dan laki-laki—muncul dan menyodorkan kaleng bekas ke beberapa pengendara motor. Di sisi lain jalan, ada satu anak perempuan yang juga menyodorkan kaleng bekas ke beberapa pengendara motor.

Sementara, pada trotoar salah satu jalan raya, terdapat beberapa pedagang kaki lima yang menyiapkan lapaknya. Orang-orang yang lewat sebagian besar masih memakai baju santai, ada juga yang menenteng tas plastik berisi bahan makanan. Di tempat itu, dua anak laki-laki mencegat orang-orang untuk kemudian menyodorkan kaleng bekas kepada mereka.

***

Terik matahari yang menyengat. Pantulan dari jalan beraspal kian menambah panas tempat itu. Deru motor dan mobil yang lewat, asap kendaraan, klakson yang dibunyikan berulang-ulang, membuat suasana siang itu bak tungku api raksasa.

Di bawah salah satu pohon penghijauan, anak perempuan berambut abu-abu dan anak laki-laki kecil duduk bersebelahan. Mereka berpakaian kumuh sekali. Di genggaman keduanya masing-masing terdapat kaleng bekas.

Terdapat ibu-ibu berdaster yang rambutnya dikucir ekor kuda lewat. "Malangnya, Nak, Nak. Kok kasihan sekali kalian. Nih, aku kasih uang." Si ibu memasukkan uang kertas berwarna abu-abu perak ke masing-masing kaleng bekas itu.

Anak perempuan berambut abu-abu keriting panjang itu ditarik oleh anak laki-laki kecil ke suatu ruangan. Di dalam sana, si anak laki-laki menarik rambut anak perempuan, mengacungkan sebuah gunting yang berkilau, kemudian memotong rambut anak perempuan itu sehingga menjadi pendek.

"Aku tidak suka.... Aku tidak suka...," batin anak laki-laki yang nakal itu.


Di jembatan penyeberangan, beberapa anak sekolah berkerudung berpakaian batik lewat. Kira-kira tiga jam berlalu, kini remaja sekolah berkerudung yang lewat. Lalu setelah waktu berjalan lagi, remaja sekolah berkerudung yang lebih dewasa lewat.

Di sudut jembatan penyeberangan yang dekat dengan tangga, anak perempuan bersurai panjang itu berdiri. Ia menengok isi kaleng di genggamannya. Beberapa uang logam dan uang kertas terdapat di dalam kaleng itu.


Di ruangan berlantai tanah yang tampak seperti ruang rias itu, ada anak perempuan berkerudung bersama dengan seorang wanita berwajah tua namun bertubuh muda. Si wanita hendak melepas kerudung anak itu, namun si anak mencengkeram erat di bagian atas telinga.

Dengan paksa, akhirnya kerudung berhasil lepas. Anak perempuan pun pasrah, bajunya dilepas, roknya juga dilepas. Kemudian ia dipakaikan baju dan celana yang jelek dan sobek di beberapa tempat.

Di pinggir trotoar yang terlindungi bayangan bangunan, dua anak laki-laki berdiri di sana. Orang-orang yang lalu-lalang sesekali menoleh ke arah mereka. Beberapa ada yang memasukkan uang logam ke dalam kaleng yang mereka pegang.

Di ruangan berlantai tanah itu, pria buncit yang wajahnya cantik tengah merias anak perempuan pirang. Setelah selesai, ia berurusan dengan anak laki-laki berpakaian lusuh yang memakai baret.

"Bocah, lepas topimu," perintah pria buncit, tampak tak senang. Anak yang dimaksud pun melepas baret di atas kepalanya.

"Kau juga, lepas kacamata," perintah pria buncit lagi kepada anak lainnya. Anak yang dimaksud pun melepas kacamatanya.

Lalu, seorang wanita tua masuk bersama anak perempuan bersurai hitam panjang. "Nih, lo, bocahnya sudah mau." Kemudian ia mengambil beberapa alat dari suatu kotak yang tergeletak di bawah dan mulai merias anak perempuan itu.

***

Malam hari telah tiba. Angin sejuk berembus melewati sudut kota, trotoar, dan jembatan penyeberangan. Tentu saja, malam itu amatlah ramai. Berbagai kendaraan bermotor memenuhi jalan raya. Manusia-manusia berjalan melalui trotoar, kadang-kadang sampai ke pinggir jalan raya. Mereka yang ingin menyeberang pun menggunakan jembatan penyeberangan.

Anak perempuan bersurai panjang itu berjalan sendirian, membawa sebuah kaleng bekas yang terisi penuh. Kemudian, ia bertemu dua anak perempuan dan satu anak laki-laki di depan. Lalu, keempatnya bertemu dua anak laki-laki di depannya lagi.

Mereka telah sampai di depan sebuah bangunan berpintu besar yang tersembunyi di antara bangunan-bangunan lainnya. Gelap, hanya diterangi cahaya bulan.

Pintu besar itu terbuka, terdengar suara pria dari dalam. "Selamat datang." Seringaian itu menyala-nyala ke arah mereka.

Children's SHELTER (2020) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang