#06 - The Third Curtains, V! The Craziest One!

47 4 0
                                    

Cherry membuka pintu, dia sedikit bergeser memberi jalan kepada Ken masuk rumahnya. "Aku lapar sekali. Boleh menumpang makan disini, kan?" tanya Ken, dia menatap jahil Cherry dan terdiam kala melihat wajah Cherry menunjukkan keseriusan. "Kau kenapa, Cherry?" tanya Ken, "ada yang mengganggu pikiranmu?"
Cherry tidak menjawab, matanya lurus menatap kaki meja di depannya. Ken mengerutkan dahi, dia mendekat dan menyentuh bahu gadis itu. "Cherry," Ken berucap, "kau baik-baik saja?"
"Tidak," jawab Cherry pelan, "maksudku, aku baik-baik saja." Cherry menghela napas, dia tersenyum dan melangkah menuju ruang makan. "Aku memasak tumis brokoli dan daging," Cherry berucap dari ruang makan, "kau lapar, kan? Ayo, makanlah. Setidaknya disini gizimu terpenuhi, tidak makan ramyun instan terus-menerus." Cherry tertawa, namun Ken hanya diam menatap kearah ruang makan. Ken tahu Cherry menyembunyikan sesuatu, dan sesuatu itu jelas mengganggu pikirannya.
Ken berjalan menuju ruang makan, dia duduk memperhatikan kawannya itu menyiapkan makanan. "Aku mengenalmu sejak masih anak-anak, Jeon Chae Ri," ucap Ken, "kau tidak akan bisa membohongiku. Duduk dan katakan apa masalahmu."
"Kau baru saja keluar dari penjara, aku tidak bisa melibatkanmu lagi dalam masalah ini," ucap Cherry.
"Maksudmu...."
Cherry menatap Ken, matanya menjelaskan kekhawatiran yang sangat besar. "Mereka sudah tahu aku disini, Ken," ucap Cherry pelan, "mereka tahu aku tidak kembali ke Jepang."
*
Jungkook menghela napas, dia membuka matanya dan terbangun. Jungkook menguap, dia meregangkan tubuhnya dan menghela napas panjang. Jungkook sangat bosan, dia tidak tahu harus melakukan apa. Jimin sedang flu, dia tidak datang ke sekolah. Shima dan Berlin juga tidak terlihat, entah kemana perginya dua orang itu. Team Black Fox juga tidak terlihat, kecuali Toshi dan Hasshi yang sekarang juga menghilang. Jungkook merasa sangat kesepian, dia benar-benar merasa sendiri saat ini.
Brak!
"Kyaaaaa!"
Jungkook menoleh, dia hanya menghela napas melihat seorang murid tersungkur di tanah. Pasti berkelahi lagi. Jungkook sudah sangat terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Bahkan di pagi hari saja dia sudah disuguhi pemandangan perkelahian murid lain, entah antar kelas atau antar angkatan. Jungkook baru akan menoleh saat dia melihat seorang murid terhuyung ketakutan. Jungkook terkejut melihat murid itu penuh darah, dia benar-benar seperti baru menghadapi monster. Jungkook menoleh, matanya terbelalak lebar melihat seorang murid berjalan sambil menyeret seorang murid. Tangannya mencengkeram erat rambut murid itu, menyeretnya seperti menyeret kantong sampah dan tertawa seperti orang gila.
V.
Jungkook terdiam di tempatnya, matanya tidak berkedip menatap V yang memukuli murid itu bertubi-tubi. V berhenti, dia menatap tangannya yang berlumuran darah lalu tertawa seakan dia baru saja memenangkan lotere. Apa-apaan itu? Kenapa dia bertingkah seperti orang gila? Jungkook menahan napas kala V menatapnya. Seketika senyum di wajah V menghilang, dia berjalan santai mendekati Jungkook dan memberi tatapan marah kepadanya. "Kau," V berucap, Jungkook melihat tangan V gemetar dan pemuda itu mulai menggigiti kukunya, "kau yang membuat Bia-Ssi tidak tenang. Gara-gara kau, Bia-Ssi tidak bisa tidur nyenyak. Aku tidak akan memaafkanmu."
Jungkook masih diam, dia teringat ucapan Rapmon. V adalah satu-satunya anggota Team Wings yang sangat loyal kepada Bia. V tertawa, dia berucap, "Kau benar-benar pengganggu." V terus tertawa, dia berjalan meninggalkan Jungkook yang tidak berucap apapun. Jungkook merinding melihat V yang seperti pembunuh berdarah dingin, atau mungkin seorang psikopat gila. Psikopat saja sudah gila, sedangkan V psikopat dan gila. Jungkook sampai heran, bagaimana bisa anak seperti dia diterima di sekolah ini.
"Kim Taehyung."
"Waaaa!" Jungkook menjerit kaget, dia menghela napas dan menjitak kepala Toshi yang entah sejak kapan muncul di dekatnya. "Anak itu sangat pendiam saat pertama masuk kemari," ucap Toshi, "dia selalu menundukkan kepalanya, dan menggigiti kukunya. Entah bagaimana ceritanya, yang jelas ada rumor yang menyebutkan bahwa dia membunuh ayahnya sendiri dan menjadi gila karena itu. Sejak Bia Sunbae merekrutnya menjadi bagian Team Wings, V mulai menunjukkan sifat aslinya."
"Masuk akal juga kalau dia marah kepadaku untuk membela Bia Sunbae," gumam Jungkook.
"Sebaiknya kau berhati-hati kepadanya," ucap Toshi, "Suga Sunbae sudah hampir dibunuhnya tahun lalu. Suga Sunbae sampai harus dirawat di rumah sakit selama tiga bulan karena mengalami cidera serius setelah berkelahi dengan V. Anak itu... dia tipe petarung yang tidak akan berhenti sampai lawannya tidak bergerak. Dia menggunakan benda-benda di sekitarnya sebagai senjata, dan obsesi terbesarnya adalah darah. Dia akan sangat senang melihat lawannya berdarah-darah."
Jungkook menelan ludahnya, dia heran mengapa Team Wings merekrut anak seperti V itu. "Aku akan berhati-hati," ucap Jungkook pelan. Dia memang harus berhati-hati, V bukan manusia normal seperti yang lain. Salah gerakan sedikit saja, Jungkook bisa mati.
Hm?
Jungkook menoleh kearah gerbang sekolah, dahinya berkerut. Sepertinya ada yang mengawasi Jungkook. Jungkook berdiri, dia berlari menuju gerbang dan menengok ke jalan. Tidak ada siapapun disana, hanya terlihat seorang wanita menuntun sepeda di kejauhan. Jungkook kembali menghela napas, dia merasa ada yang mengawasinya sejak beberapa hari terakhir. Ah, sudahlah. Jungkook berjalan kembali ke gedung sekolah, dia ingin sekali membolos dan bermain ke rumah Jimin.
*
Jin duduk menghadap jendela, dia menghela napas dan memejamkan mata merasakan hangatnya sinar matahari yang menyentuh kulitnya. Jin tersenyum, telinganya meresapi suara-suara di sekitarnya, membuat batinnya tenang. Jin membuka mata, dia tersenyum melihat Bia berjalan kearahnya dari pantulan kaca jendela. "Kau berkelahi dengan siapa, hm?" tanya Jin, dia terkekeh melihat luka memar di wajah sahabatnya itu.
Bia melangkah mendekat, dia berlutut di dekat Jin dan menggenggam tangan pemuda itu. "Ketua Team Wings sebelumnya datang dan berusaha mengambil kembali posisi ketua," ucap Bia, "tapi aku tidak akan membiarkan itu terjadi." Bia menatap Jin yang juga menatapnya, dia meneruskan, "Kalau dia ingin mendapatkan posisi ketua, dia harus memulai dari awal. Dan kupastikan dia...."
"Dia tidak akan melakukannya, Bia," sela Jin.
Bia terdiam, dia menatap heran Jin yang tampak tenang-tenang saja. Jin menghela napas, dia beranjak dan berjalan sedikit lebih dekat ke jendela. "Jangan berpikir terlalu serius, Bia," ucap Jin, "dia tidak akan melakukannya. Dan kalaupun dia melakukannya, dia tidak akan bisa karena ada kau yang akan mengalahkannya, kan?"
"Kau menyindirku?"
Jin tertawa, dia menatap Bia yang tampak kesal. "Sudah kuduga kau akan marah," ucap Jin, "baiklah, baiklah. Lupakan soal kejadian itu. Aku ingin memberitahukan sesuatu." Jin kembali, dia ikut berlutut dan menatap gembira Bia yang menatapnya penasaran. "Aku..." Jin sengaja melambatkan ucapannya, "aku.... aku akan kembali ke sekolah minggu depan."
Eh.
Bia terdiam, matanya sedikit melebar melihat Jin yang tersenyum gembira. "Eh?" Bia tertegun.
Mendengar itu, Jin berdecak dan melepaskan tangan Bia. "Apa maksud 'eh' itu hah? Kau tidak suka aku kembali ke sekolah?" tanya Jin.
Bia tersadar, dia memekik dan tersenyum begitu lebar. "Astaga aku sangat gembira, Jin!" sahut Bia, "tapi... kenapa dokter mengijinkanmu kembali ke sekolah? Kukira kau masih membutuhkan perawatan lebih lanjut soal...."
"Dokter mengatakan perawatan terbaik adalah berkumpul dengan orang-orang yang kusayangi," ucap Jin, "aku menyayangi kalian semua, kau dan anggota Team Wings lainnya. Aku merindukan mereka semua, aku ingin bersama kalian lagi seperti dulu." Jin menoleh, dia menatap Bia yang juga tersenyum. Bia benar-benar bahagia sekarang, semua beban yang dirasakannya seakan lenyap begitu saja. Biarlah, yang penting sekarang dia bahagia karena Jin akan bersamanya lagi.
Ken berdiri di dekat pintu, dia melirik kearah kamar memperhatikan Bia dan Jin yang tertawa bersama. Ken menghela napas, dia menggumam, "Keras kepala sekali kau ini." Ken tersenyum kecil, dia melangkah meninggalkan tempatnya berdiri.
*
Jungkook berjalan pelan menyusuri trotoar. Hari masih terang, Jungkook ingin ke rumah Jimin menengok anak itu. Jungkook ingin meminta saran kepada Jimin, apa yang harus dia lakukan untuk menghadapi V. Jungkook tidak mungkin menghindar sepanjang waktu, tapi saat ini menghindar memang satu-satunya yang bisa dia lakukan.
"Jeon Jungkook."
Jungkook menoleh, dia berjengit kaget melihat V berdiri di dekatnya. Jungkook menelan ludahnya gugup, dia takut melihat V. V menatapnya seperti orang gila, dia terus menggigiti kukunya dan matanya benar-benar menjelaskan ketidaknormalannya. "Sepertinya kau sendirian," ucap V, dia tertawa kecil dan bagi Jungkook itu seperti tawa malaikat pencabut nyawa. Sekarang Jungkook menyesal berjalan sendiri. Tadinya Shima dan Berlin menawari untuk menemaninya, tapi Jungkook menolak. V berjalan mendekat, dan secara refleks Jungkook mundur menjaga jaraknya dari V. Firasat Jungkook mengatakan V akan melukainya jika jarak mereka dekat.
Grep.
"Aakkhh!" Jungkook menjerit kesakitan merasakan tangan V mencengkeram kuat lengannya. Jungkook bisa merasakan kuku tangan V menancap kuat menembus kulitnya. V masih menatapnya dengan tatapan berkilat, dia tertawa dan berucap, "Kau sudah membuat Bia-Ssi tidak tenang. Aku tidak akan membiarkanmu lolos kali ini. Rapmon Hyung sudah kau kalahkan, dan sekarang aku yang akan membuatmu tidak berani membuka mata lagi." V kembali tertawa, dia mencakarkan kukunya ke lengan Jungkook dan berjalan menjauh sambil tertawa keras seperti orang gila.
Jungkook meringis kesakitan, dia membuka jas seragamnya dan menyadari lengan seragamnya robek. Darah mengalir di lengannya, rasanya perih sekali. Jungkook semakin yakin untuk melarikan diri saja kali ini. Persetan dengan ambisi menjadi ketua atau apalah itu, Jungkook tidak peduli lagi. Jungkook lebih baik menyelamatkan diri daripada mati konyol di tangan V.
"Jungkook!"
Jungkook menoleh, dia melihat Jimin berlari kearahnya bersama Jab dan Hasshi. "Astaga, ada apa denganmu?" Jimin meraih lengan Jungkook, dia terkejut melihat bekas cakaran di lengan kawannya itu. Jungkook tidak menjawab, dia terlalu kesakitan untuk sekedar menggerakkan lidahnya dan hanya menggeleng. Jab menoleh, dia kemudian menatap Jungkook dan berkata, "V, hm? Dia mengambil darahmu, itu artinya dia akan segera menghadapimu, cepat atau lambat."
"Kau sebaiknya bersembunyi," ucap Hasshi.
"Tidak," ucap Jab, "V bukan tipe yang akan sabar menunggu. Dia akan mencarimu kemanapun. V seperti anjing pelacak, dia pasti menemukanmu dimanapun kau bersembunyi karena dia sudah tahu bau darahmu."
"Aku akan menghadapinya," ucap Jungkook, "aku tidak mau kalau dia tidak menemukanku, dia akan menjadikan kalian sebagai pelampiasan."
"V tidak akan menyerang seseorang yang tidak menarik perhatiannya, Jungkook," ucap Jab, "kau jangan khawatir."
"Anak itu gila."
Jungkook, Hasshi, Jimin, dan Jab menoleh, mereka terkejut melihat Rapmon berjalan tenang kearah mereka. "Kau pasti sering mendengar ini, Jungkook," ucap Rapmon, "apa yang menjadi kekuatan seseorang, itu juga merupakan kelemahannya. Teori itu berlaku pula untuk V, kelemahannya bahkan terlihat dengan jelas."
"Maksudmu kegilaannya itu juga kelemahannya," ucap Hasshi.
Rapmon tersenyum tipis, dia menatap Jungkook yang menatapnya lemas. "V adalah anggota kesayangan Bia," ucap Rapmon, "kau tidak lihat bagaimana Bia berusaha mengamankan bocah itu saat melawan Ken?"
"Maksudmu... apa kita harus mengalahkan Bia Sunbae? Haaaah, itu hal yang mustahil," ucap Jimin.
Jungkook menatap Rapmon yang tersenyum, dia tahu bukan itu jawaban yang benar. "Sebenarnya sangat mudah mengalahkan V, asal kalian bisa benar-benar memukulnya tepat di titik lemahnya," ucap Rapmon, "selama kalian bisa menghancurkan pertahanan mereka, aku tidak keberatan membantu kalian." Rapmon tersenyum, dia berbalik dan berjalan meninggalkan yang lain.
Jungkook menghela napas. Lagi-lagi, dia melihat kebencian Rapmon kepada Bia. Kenapa dia tidak bisa sedikit saja menyingkirkan kebenciannya dan membela kawannya? Jungkook diam, dia memikirkan ucapan Rapmon tadi. Kalau kelemahan V adalah Bia, maka Jungkook tidak akan pernah bisa menyentuh kelemahan itu. Dan mau tidak mau Jungkook harus menerima kekalahannya melawan V.
*
Cherry menengok ke lantai atas, dia menghela napas dan berjalan menaiki tangga. Cherry membuka pintu, dia melongo melihat Jungkook masih tidur dengan nyenyak. "Ya, Jungkook-ah," Cherry mendorong-dorong kaki Jungkook dengan kakinya, "bangun. Aku bekerja keras untuk membiayai sekolahmu. Ya, Jeon Jungkook." Cherry menendang keras pantat Jungkook, pemuda itu terbangun kaget dan mengerang protes. "Kakak!" Jungkook berteriak, "aku sudah bangun!"
"Ya kalau kau sudah bangun kenapa kau masih berbaring hah?" sahut Cherry.
"Aku malas ke sekolah," sahut Jungkook.
"Ada apa lagi?" tanya Cherry.
Jungkook menghela napas, dia duduk di tepi ranjang dan menunduk. Cherry menghela napas, dia duduk di sebelah Jungkook dan menatap adiknya itu dalam diam. "V, anggota Curtains mengatakan dia tidak akan mengampuniku karena membuat Bia tidak tenang," Jungkook bercerita, "lalu Rapmon mengatakan bahwa kelemahan V adalah Bia. Aku tidak akan bisa mengalahkannya, Kak. V itu gila, dia psikopat. Melihatnya menghajar murid lain saja aku sudah yakin tidak akan sanggup mengalahkannya."
Cherry terdiam. "Jadi, kelemahannya adalah Bia," ucap Cherry menggumam, "apa dia dan Bia sangat dekat?"
Jungkook mengangguk. "Dari yang aku dengar, V adalah satu-satunya anggota Team Wings yang menurut kepada Bia tanpa syarat apapun. Semua menjuluki V sebagai peliharaan Bia, dia akan mengikuti dan meniru semua yang dilakukan Bia." Jungkook kembali menghela napas, dia menunduk dalam. Mungkin dia harus berhenti disini. V bukan lawan yang seimbang untuknya.
"Bagaimana dengan Bia sendiri? Apa dia menganggap V sebagai pengikut atau yang lain?" Cherry kembali bertanya.
Jungkook diam, dia teringat pertarungan Team Wings melawan Ken beberapa waktu lalu. Bia selalu menahan V, menyuruhnya tetap diam. Jungkook teringat bagaimana Bia berusaha mengamankan V dari jangkauan Ken, menjaga agar anak itu tidak terluka sedikitpun. "Bia.... sepertinya dia sangat menyayangi V," ucap Jungkook, "saat bertarung melawan Ken Sunbae, Bia tidak pernah membiarkan V maju sedikitpun."
"Kalau begitu kau harus menghadapinya," ucap Cherry.
Jungkook menatap Cherry. "Sekali lagi, aku tidak pernah mengajarimu untuk lari dari masalah," ucap Cherry, "kalau aku jadi kau, aku akan melawan V sekalipun aku tahu aku akan kalah. Setidaknya dengan melawan V, kau tidak akan diremehkan sekalipun kau kalah." Cherry tersenyum, dia berjalan meninggalkan Jungkook yang terdiam. Jungkook menatap Cherry yang keluar kamar, dia kembali membenarkan ucapan kakaknya itu. Dia harus menghadapi V, karena jika dia terus lari, V akan terus mengejarnya. Jungkook menghela napas, dia beranjak dan bersiap ke sekolah.
Cherry berdiri termenung di dekat tangga. "Aku mengajarimu untuk tidak pernah lari, tapi aku sendiri lari," Cherry bergumam, dia menghela napas dan berjalan menuju dapur.
*
Brak!
Jimin terhempas kuat menabrak tumpukan bangku, dia terbatuk dan merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Jimin berusaha berdiri ketika dia merasakan sebuah tangan mencengkeram kerah seragamnya. Tawa yang menyusup ke telinganya terdengar seperti tawa malaikat kematian, membuat bulu kuduk Jimin berdiri. Jimin menatap V dengan tatapan takut bercampur waspada. Mata V berkilat semangat, dia tertawa seperti orang gila. Tidak sampai sedetik, Jimin kembali merasakan tubuhnya terhempas kuat menabrak dinding. "Aku kan ingin bertemu Jungkook, Jimin-Ssi," V berucap, dia terkekeh, "tapi kau jahat sekali melarangku menemuinya."
Jimin terengah-engah, dia berusaha keras berdiri berpegangan pada dinding. "Tidak, V," ucap Jimin, "Jungkook bukan lawanmu. Jangan membuang tenagamu dengan melawannya."
"Aku hanya ingin memintanya berhenti mengganggu Bia-Ssi," ucap V, dia menggigiti kukunya, menimbulkan bunyi gemeretak yang memekakkan telinga.
"Dia tidak pernah mengganggu Bia Sunbae," ucap Jimin.
V terdiam, dia menurunkan tangannya dan menatap Jimin. Jimin menyadari perubahan ekspresi V. Dia tidak lagi terlihat gila, sebaliknya dia menampilkan ekspresi wajah yang sangat dingin dan serius. Jimin berusaha menekan ketakutannya, walaupun rasa takut itu semakin lama semakin membesar. V mendekat perlahan, dia tidak lagi tertawa. Jimin melirik, dia terkejut melihat tangan V yang bergerak perlahan seperti cakar harimau. "Aku tidak suka ada yang mengganggu Bia-Ssi," ucap V.
Jungkook berjalan menuju sekolah, dia baru melewati gerbang saat Hasshi dan Mizu berlari kearahnya. "V menghajar Jimin! Mereka ada di belakang sekolah!" Hasshi menyahut panik, "kau harus segera menolongnya! Jimin akan mati sekali serang!"
"Cepatlah Jungkook! Waktumu tidak banyak!" sahut Mizu menyambung.
Jungkook terbelalak, dia segera berlari menuju belakang sekolah. Jungkook berhenti, dia terkejut bukan main melihat Jimin sudah lemas diantara bangku-bangku yang berserakan. Lengannya mengucurkan darah, wajahnya memucat dan penuh luka bekas pukulan. Jungkook menoleh, dia berlari dan menghempaskan V yang sudah akan menghantamkan balok kayu kepada Jimin. "Lawanmu itu aku, V!" teriak Jungkook, dia sudah sangat marah, "berani sekali kau melukai Jimin!"
"Jungk....kook...."
Jungkook menoleh, dia segera membantu Jimin berdiri. "Apa yang kau lakukan?" Jungkook berucap pelan, matanya memanas menahan airmata melihat kawannya yang terluka seperti ini, "kenapa kau tidak menghubungiku?"
Jimin terbatuk, dia tertawa kecil dan berucap, "Aku mengulur waktu, Jungkook. Setidaknya tenaganya terkuras karena menghajarku, jadi kau bisa mengalahkannya dengan mudah."
"Jangan melakukan hal bodoh, kau tidak bisa berkelahi," ucap Jungkook, airmata menitik di pipinya.
"Jimin-Ssi melarangku bertemu denganmu, Jungkook-Ssi. Makanya aku memberitahunya bahwa aku hanya ingin berbicara denganmu.
Jungkook berhenti, wajahnya berubah menampakkan kemarahannya mendengar suara V. Jungkook mendudukkan Jimin di dekat ruang penyimpanan alat olahraga, dia berbalik menatap marah V. V menatap Jungkook, dia tersenyum seraya menggigiti kuku tangannya. "Aku sedih sekali, sepertinya temanmu itu tidak senang kalau aku menemuimu," ucap V, "mungkin dia takut kehilanganmu?" V tertawa, semakin lama semakin keras seakan dia baru saja melihat sesuatu yang lucu.
Jungkook mengepalkan tangannya dengan keras, dia menggeram dan berlari meninju wajah V dengan keras. Serangan mendadak Jungkook tidak diantisipasi oleh V, membuat pemuda itu tersungkur ke tanah. V tertawa, dia berdiri dan menatap senang Jungkook. "Kau orang pertama yang memukul wajahku," ucap V gembira, "sekarang giliranku." V dengan cepat menggerakkan tangannya kearah Jungkook.
"Aakkhh!" Jungkook memekik, dia melihat tangannya berdarah dan ada bekas cakaran disana. Jungkook menatap V yang menjilati jari tangannya yang berdarah, mata V menatap Jungkook dengan tatapan mengerikan. Jungkook berdecih, dia kembali mengayunkan pukulannya, namun kali ini V menahan pukulannya dan menendang keras perut Jungkook.
"Jungkook!" Berlin yang baru datang terkejut melihat Jungkook tersungkur di tanah. Dia akan maju, namun Shima menahannya. "Kau tidak akan bisa membantunya, Berlin," ucap Shima, "sebaiknya kita membawa Jimin pergi darisini."
"Aniki..."
"Bantuanmu tidak berarti apa-apa, Berlin," Shima menyela, "kau tahu bagaimana V. Lagipula...." Shima menghela napas, "aku tidak bisa melihatmu dikalahkan oleh V."
Jungkook merasa tubuhnya benar-benar sakit, rasanya seperti bisa ular yang dengan cepat menguasai tubuhnya. Serangan V sangat cepat, dan setiap serangannya membuat beberapa bagian tubuh Jungkook berdarah. Benar kata Toshi, V tidak akan berhenti sampai lawannya berhenti bergerak, dan dia sangat terobsesi dengan darah. "Kau.... sangat.... kuat...." ucap Jungkook, "Bia... sangat beruntung....memiliki.... senjata seper...timu...."
"Kau benar sekali," ucap V tertawa, "aku adalah kesayangan Bia-Ssi. Itu sebabnya aku tidak suka kau mengganggunya."
Jungkook tertawa, dia terbatuk dan menatap V yang juga tertawa. "Benarkah dia menyayangimu?" ucap Jungkook, "bagaimana... kalau ternyata dia hanya menganggapmu.... peliharaannya?"
Eh.
Senyum V seketika lenyap, dia menatap Jungkook tercengang. "Bisa saja Bia hanya melihatmu sebagai senjata rahasianya, bukan adik kesayangannya," ucap Jungkook, "menyedihkan sekali, kau membela seseorang yang belum tentu akan membelamu saat kau kesulitan."
Jungkook melihat V berusaha menahan emosinya. Jadi ini yang dimaksud kelemahan V adalah Bia. Segala sesuatu yang berkaitan tentang hubungannya dengan Bia bisa melemahkannya dan mengalihkan perhatiannya. "Kau... kau tidak mengenal Bia-Ssi," suara V bergetar, dia berteriak, "kau tidak mengenal Bia-Ssi! Dia menyayangiku!"
"Kalau dia menyayangimu, kenapa dia tidak muncul dan membelamu sekarang?" ucap Jungkook, "Jimin saja berani berdiri membelaku, melindungiku agar tetap aman. Tapi mana Bia? Apa dia disini untuk menjagamu?"
"DIAM!" V menjerit, dia maju menerjang Jungkook namun Jungkook menghindar dan menendang V hingga dia terjerembab. V berdiri, dia berteriak seperti orang gila. "Bia-Ssi hanya menyayangiku! Dia menyayangiku!" V terus menjerit, dia menatap marah Jungkook dan kembali menghajar pemuda itu. Jungkook membalas serangan V, namun dia juga berjuang menahan rasa sakitnya. V terus menjerit, dia terlihat jelas frustrasi karena ucapan Jungkook. Jungkook menggunakan itu sebagai kesempatan menghajar V.
Usaha Jungkook berhasil, V terhempas kuat menabrak tumpukan bangku. V berdiri, dia menatap Jungkook dengan amarah meluap. Tubuh V sudah penuh luka, darah keluar dari ujung bibirnya. "Tidak akan kubiarkan siapapun mengganggu Bia-Ssi," ucapnya, "terutama kau!" V menjerit, dia berlari maju menerjang Jungkook.
BUAGH!
Jungkook terhempas kuat ke tanah, dia terbatuk dan mendongak. Jungkook menatap Bia yang berdiri di hadapannya, menatapnya dingin namun kemarahan tercetak jelas di mata itu. Tangan Bia mengepal keras, dia berucap dengan dingin, "Berani sekali kau membuat adikku marah. Kau tidak punya hak untuk mengusik ketenangannya."
Jungkook tidak menjawab, dia melirik melihat J-Hope membawa V pergi. Jungkook kembali menatap Bia, dia berucap, "Kulihat kau benar-benar tidak mau dia terluka. Kau melakukan itu karena kau memang menyayanginya, atau..."
"Itu bukan urusanmu, Jeon Jungkook," sela Bia, "kau tidak punya hak-sekali lagi-kau tidak punya hak mengusik ketenangan kami. Belajarlah dengan tenang, berhenti mengusik Team Wings." Bia berbalik, dia berjalan meninggalkan Jungkook.
Jungkook menghela napas, dia berbaring menatap langit yang sudah berwarna jingga. Ada rasa bersalah di dirinya mengingat bagaimana dia berusaha menjatuhkan V dengan membawa-bawa nama Bia. Itu sudah cukup untuk mengetahui bahwa V benar-benar menyayangi Bia.
Seseorang berdiri dari kejauhan, matanya lurus menatap Jungkook yang masih belum beranjak dari tempatnya. Dia diam cukup lama, perlahan seulas senyum terukir di bibirnya dan dia berjalan meninggalkan lokasi itu.
Bia membuka pintu, dia langsung memeluk V yang meringkuk di sudut ruangan. "Bia-Ssi, kau menyayangiku, kan? Kau benar-benar menyayangiku seperti adikmu, kan? Kau benar-benar mempedulikanku, kan?" V terus meracau, dia mendekap erat Bia yang terdiam. Bia memejamkan mata, dia sedikit menahan sakit akibat kuku tangan V yang menancap menembus kulitnya. Bia bisa merasakan tubuh V gemetar.
Bia menghela napas, dia membelai rambut V dengan lembut. "Kau adik kecilku," ucap Bia, "apa itu sudah cukup?"
V mengangguk cepat, Bia bisa merasakan V mulai tenang. Bia tersenyum, dia menoleh menatap J-Hope yang berdiri seperti patung di dekatnya. "Sebentar lagi adalah Hari Pengakuan Dosa," ucap J-Hope, "aku akan menghapus dosa mereka, memberi mereka hukuman yang bisa membersihkan dosa-dosa di tangan mereka."
"Dosa anak itu terlalu banyak untuk kau hapus sendirian, J-Hope," ucap Bia.
J-Hope berbalik, dia berjalan pelan menuju pintu. J-Hope berhenti, dia berucap, "Maka aku tidak punya pilihan selain menggunakan api neraka untuk menghapus dosanya." J-Hope berjalan meninggalkan Bia dan V. Bia diam, dia kembali menatap V dan mempererat dekapannya kepada pemuda itu. "Aku punya cerita bagus untukmu, dengarkan, kau mengerti?" ucap Bia.
J-Hope berjalan di koridor yang sudah sepi, tangannya menggenggam erat kalung salib yang menghiasi tubuhnya. "Pendosa akan tinggal di neraka," ucapnya, "jika air suci gereja dan pengakuan dosa tidak bisa menghapus semua dosamu, maka aku harus mengirimmu ke neraka." J-Hope mengecup kalung salibnya, dia secepat kilat meninggalkan sekolah dalam diam.
*
Jin duduk diam di dekat jendela, matanya lurus menatap kerlap-kerlip lampu kota yang terlihat indah dari kamar rawatnya. Tangan Jin menggenggam erat sebuah botol kecil, dia menunduk menatap botol itu dan menghela napas. "Aku sangat merindukan kalian," gumam Jin pelan.
***


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Top of The StairsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang