Bantul, paska gempa 2006
Aku menunggu suamiku menganyam besi untuk pondasi bakal rumah kami yg sempat rata dengan tanah waktu gempa.
"Ay, besok ngajar?" Tanyaku memecah sunyi, suamiku menengok tersenyum
"In syaa Allah ya klo ada pinjeman sepeda" jawabnya singkat kemudian sibuk lagi dengan besi - besinya.
"Klo besok ndak ngajar, ndak dapat honor dong" rajukku, lagi - lagi dia hanya menengok sebentar, tersenyum, dan kembali sibuk dengan anyamannya.
Dengan sedikit kesal, aku berdiri menggendong tole masuk ke shelter rumah sementara kami yang terbuat dari bambu.
----- $$$$$ ------
"Kamu pengen opo tho?" Suamiku merebahkan tubuhnya di sampingku, tapi aku sudah tak mampu bicara, tenggorokanku tercekat, air mataku mengalir deras.
"Kamu nangis ya?" Tanyanya lagi, aku cuma diam, kesal dengan ketidak pekaannya.
Dia meraih tubuhku "klo ada apa - apa mbok ngomong"
Aku menolak untuk sekedar menengok ke arahnya, kecewa, sambil meremas kertas hvs putih.
"Besok kamu ndak ulang tahun kan?" Duh.. Betapa tidak pekanya "ini kan bukan bulan september"
Nah itu tau, runtukku.
Akhirnya dia menyerah, keluar dari pondok kami sambil menggendong tole, membiarkanku menangis terisak.
------- $$$$$ ------
Dari jendela pondok kami bulan terlihat sangat indah, purnama, full moon, dan halaman kami yang tak berlampu terlihat terang.
"Ayo keluar... " Ajaknya, aku masih cemberut, dia meraih kertas yang tadi ku remas.
"Kamu mau kirim puisi ini untuk lomba hari ibu ya?" Tanyanya, di elusnya rambutku, aku mengangguk, lagi - lagi tenggorokanku tercekat.
"Deadlinenya masih seminggu lagi, besok ay usahain ya Hani, sekarang keluar yuk, melihat bulan" Ajaknya, air mataku makin deras, saat mengikuti langkahnya keluar.
Di teras, bulan terlihat jauh lebih indah, warna ke emasannya menyembunyikan misteri.
Tole tertidur di pangkuan ayahnya yang sedang menikmati secangkir wedang uwuh, tangannya masih memegang serat pohon secang yang barusan dia sesap dengan nikmat.
Dan aku menitikkan air mata, bukan air mata duka atau kesal dan kecewa tapi air mata atas sebuah syukur pada sang pemberi kehidupan.
Bagi perempuan air mata tidak selalu berarti kelemahan, tapi sering kali merupakan caranya memperkuat hatinya yang merapuh.