terima kasih

675 57 10
                                    

Rama POV

Wisuda adalah saat dimana aku harus berpura-pura tak peduli dengan keadaan. Keramaian yang ada benar-benar membuatku risih. Ditambah dengan kehadiran perempuan gatel yang selalu menggodaku. Ralat, bukan menggoda. Maksudku mengganggu. Siapa lagi kalau bukan Ranya.

Setelah satu angkatan tahu bahwa Asya menyukaiku, Ranya sangat heboh. Ia jadi sering mengejekku dengan menyebut nama Asya sejuta kali. Aku tak merasa terganggu dengan teriakannya, hanya saja, kenapa harus dia yang berteriak seperti itu.

Kini, aku tengah berdiri di tengah keramaian. Bersama Ranya yang masih menggandeng tanganku dengan erat.

"Satu, dua, tiga."

Cekrek.

Satu foto paling menjijikkan yang pernah ada. Aku tak akan pernah tersenyum jika itu Ranya.

"Satu kali lagi dong." Ucap Ranya sambil memberi aba-aba pada temannya yang sedang memotretnya tadi.

Aku hanya bisa menghela nafas panjang.

"Satu, dua, eh, Rama senyum dong."

Sialan.

Sudah kubilang, aku tak akan tersenyum sekarang.

"Rama, ayo senyum dong. Masa, foto sama aku nggak senyum gitu?"

Saking jijiknya, aku lebih memilih tersenyum daripada harus dirayu orang sinting macam dia.

Bodoh.

"Satu, dua, tiga."

Cekrek.

Foto kedua yang paling menjijikkan. Dan aku melihat Asya sedang didorong oleh teman-temannya.

Pasti foto juga.

"Rama lagi foto sama Ranya ih. Jangan diganggu lah."

Aku pun menengok. Rupanya itu Asya. Ia yang berbicara seperti itu.

Mending, Asya cepetan kesini, daripada aku harus sama Ranya terus.

"Eh, Asya." Sapa Ranya pada Asya.

Bodohnya, Ranya masih menggandeng tanganku.

Mata Asya benar-benar sayu. Wajahnya yang tadi ceria, berubah menjadi redup seketika. Matanya melirik kearah tanganku.

"Ranya, pinjem Rama nya bentar ya." Kata salah satu teman Asya. Aku lupa siapa namanya.

Pinjem palalo.

Temannya yang lain menyahut, "Iya, pinjem Rama ya. Kasihan Asya, udah ngarep dari dulu."

Kulihat wajah Asya memerah. Segitunya kah?

"Oh iya, nih. Ambil aja." Jawab Ranya sambil melepas tangannya dari tanganku, "ayo, Ga." Ajak Ranya pada temannya yang memotretku tadi, lalu pergi.

Syukurlah.

"Asya, buruan berdiri disamping Rama!"

"Sono dah, ntar kita yang fotoin."

Asya pun berjalan menghampiriku sambil menundukkan kepalanya.

Dan kini, Asya sudah berada disampingku.

"Satu, dua, tiga."

Bodoh.

Aku tersenyum.

Tapi kenapa?

"Satu, dua, tiga."

"Eh! Kok lagi?" Teriak Asya tepat disampingku. Suaranya benar-benar cempreng.

"Ngikut aja ih. Senyum, ganti gaya, ngapain lah."

"Ya, ya." Jawab Asya pasrah.

Wajahnya lucu jika dilihat dari dekat. Ditambah make up yang menempel diwajahnya, membuatnya terlihat lebih menawan dari biasanya. Astaga, aku bicara apa.

"Satu, dua, tiga."

Aku masih setia tersenyum. Aneh rasanya, berfoto dan tersenyum bersama orang asing malah lebih mengesankan dari pada bersama seorang cabe.

"Dah dong." Pinta Asya, kurasa ia sudah tak sanggup berfoto lagi.

"Iya udah."

"Um, Rama, makasih banyak ya!" Katanya sambil menoleh kearahku. Mataku dan matanya bertemu lagi. Untuk kali kesekian. Namun kali ini, tak ada dari kami yang membuang muka.

"Iya, sama-sama." Jawabku singkat. Dan tanpa kusadari, senyum ku mengembang begitu saja.

"E-em, bukunya, udah?" Tanya Asya terlihat ragu-ragu.

Aku berpikir sebentar, "Kalau nggak kukembalikan gimana? Aku suka puisinya."

"Eh?"

Asya terkejut.

"Iya, makasih ya, puisinya bagus." Kataku.

"H-haha, iya makasih juga ya." Katanya.

"Sampai ketemu di SMA besok." Ucapku sambil menepuk pundak Asya. Bodoh memang, tapi aku tak tahu mengapa begitu.

"Hah?"

[2/2]

Balasan dari Rama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang