Lima

119 46 4
                                    

"Makasih mas..maaf udah ngerepotin.". Suara Mai lemah. Rayyan hanya meliriknya kesal, kemudian segera melajukan mobilnya kembali setelah Mai benar-benar turun.

Tapi belum juga beberapa meter mobilnya melaju, dari kaca spion, dilihatnya Mai jatuh terjerembab begitu saja didepan rumahnya. Rayyan berhenti, menunggu sebentar. Siapa tau dia cuma acting? Tapi gadis itu tak juga bangun.

Buru-buru ia memundurkan mobilnya, keluar dan menghampiri gadis yang kini tergeletak itu secepat mungkin.

"Mai... Mai... " panggilnya sambil menepuk-nepuk pipi gadis itu. Aasshh... Kenapa pake acara pingsan segala sih?

Setelah mencari kunci Didalam tas Mai, dengan terpaksa dia harus mengangkat gadis itu menuju kamarnya, membaringkannya ditempat tidur pelan-pelan.

"Ini rumah atau apa sih?" rutuk Rayyan sambil memperhatikan sekeliling. Bersih, tapi kecil, pengap. Ruang tamu dan dapur tanpa penyekat. Kamar cuma satu dan kamar mandi luar. Bagaimana ada manusia bisa hidup dirumah sekecil ini? Nggak bosen apa disini-sini mulu?

Tangannya sibuk membuka-buka kitchen set, mencari dimana bisa menemukan bahan makanan, tapi yang dia dapati cuma gunungan mi instan. Astaga.... Pantes otaknya lemot. Generasi micin..

Akhirnya diputuskannya membuka lemari es dan mendapati beberapa botol air putih, roti yang sudah tinggal separuh. Beruntung ada seplastik kecil bahan sop. Ini kulkas apa lapangan golfnya tikus? Sepi amat.

Tidak butuh waktu lama bagi Rayyan memasak semangkuk sup. Dia sudah terbiasa membuatnya sendiri sejak memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya diluar negeri beberapa tahun lalu. Setelah masakannya selesai diintipnya Mai yang belum juga bangun. Ia menghela nafas.

Semenjak keputusan kakek hari itu, hidupnya semakin tidak tenang saja. Coba bayangkan, dia harus berdekatan dengan perempuan setiap hari, kemana-mana diikuti, bahkan.. Hari ini harus menggendong dan merawatnya? Ya Tuhan... Rasanya ingin sekali Rayyan marah pada laki-laki tua itu.

Sedikit kikuk disentuhnya dahi gadis itu, panas sekali. Buru-buru diambilnya apapun didalam lemari untuk mengompres. Entah jin apa yang membuatnya perduli pada makhluk berjenis perempuan ini.

"Trus gimana cara gue ninggalin lo disini?" katanya pelan. Diputarnya pandangan mengelilingi kamar kecil itu. Hanya ada satu kabinet berbahan plastik dan kasur.

"Bunda..." serak suara Mai mengalihkan perhatiannya. Ujung mata gadis itu berair, wajahnya memerah seperti sedang menangis. Tangannya terlihat mencari-cari sesuatu. Reflek Rayyan memberikan tangannya, dan dibalas dengan genggaman erat oleh Mai.

"Bunda.." gumam gadis itu lagi. Wajahnya semakin terlihat sedih. Entah mengapa Rayyan seperti sedang menemukan sebagian dirinya pada gadis itu. Hatinya ikut merasa sakit.

Perlahan di sentuhnya rambut Maida, membelainya dengan hati-hati. Sebenernya apa yang lo rasain? Dimana keluarga lo? Batinnya, mengingat dari awal ia sama sekali tidak melihat tanda-tanda adanya orang lain dirumah ini.

Gadis itu menangis, masih memejamkan mata. Tampaknya ia mengigau karena suhu badannya tinggi.

Sesekali Rayyan mengganti kompresnya. Ini interaksi terlamanya dengan perempuan untuk pertama kali. Dan dia sama sekali tidak merasa keberatan. Malah ada sisi hangat dalam dadanya yang entah muncul darimana?

Anak-anak rambut Mai yang berantakan karena kompres memaksanya untuk perduli. Disingkirkannya pelan-pelan, hampir tanpa suara. Hingga akhirnya kedua mata tajam itu tanpa sengaja mengamati garis wajah gadis didepannya. Cantik..

Dan Rayyanpun berdehem, memperingatkan dirinya sendiri untuk tidak melakukan apapun. Bahkan sekedar kembali Berfikir bahwa makhluk didepannya memang benar-benar cantik saat terpejam. 

i'm not a cinderella  (Update Suka-suka)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang