Affogatto

124 31 4
                                    

AFFOGATTO – XIUMIN

10 AM – 1 PM

KIM Minseok namanya. Meskipun ia murni seorang warga Korea, kemiripannya dengan orang berketurunan Cina membuat ia kerapkali dipanggil Xiumin. Ia berumur lebih tua daripada owner kafe Universe, dan dipercayakan mengurus jadwal sibuk pada jam makan siang.

Banyak yang memilih untuk makan siang di kafe, dengan secangkir kopi dan kue manis untuk mengisi perut. Pada jam 12 siang, biasanya Xiumin nyaris kewalahan melayani pelanggan yang bisa sampai memenuhi kafe.

Hari itu, tiba-tiba Suho selaku pemilik kafe memperkenalkan seorang gadis yang akan menjadi barista baru untuk membantu pekerjaannya.

“Aku bisa melakukannya sendiri,” kilah Xiumin.

Suho langsung menarik Xiumin menjauh dari gadis yang mau bekerja itu. “Hus, jangan berkata begitu. Aku sudah sering melihatmu kerepotan mengurus kafe pada jam sibuk. Tak ada salahnya memperkerjakan ia sama dengan jam kerjamu.”

Xiumin melirik ke belakang, kepada gadis itu. Rambut hitamnya dicepol rapi pas di tengkuk, ukuran matanya besar, kulitnya agak gelap. Ia suka melihat gadis itu menjadi pelanggannya. Siapa sangka tiba-tiba gadis itu melamar kerja di kafe?

“Apakah ia bisa membuat kopi?” tanya Xiumin. Ia tidak mungkin mengajari gadis itu dari dasar, kan?

“Bisa. Affogatto, espresso, dan americano,” jawab Suho menenangkan Xiumin, “ia lulus dalam membuat ketiga jenis kopi itu.”

Sekali lagi Xiumin menoleh untuk melihat gadis itu, dan mereka bersitatap. Ia langsung mengarahkan pandangan kepada Suho karena merasa canggung.

“Baiklah, terserah kau saja. Ini keputusanmu sebagai owner, Suho.” Xiumin berujar. Ia memang tidak terima, tetapi ia masih menghargai keputusan Suho.

“Bagus.” Suho tersenyum. “Berkerja samalah dengan Kim Hyejin.”

Setidaknya Xiumin meyakini; semenyebalkan apapun keputusan Suho, pilihan lelaki itu tidak pernah salah.

*

MASIH ada setengah jam sebelum makan siang, dan kafe mulai beranjak ramai. Di tengah kesibukan itu, Xiumin meminta Hyejin—nama gadis itu—untuk membuat kopi.

“Apapun yang kau bisa,” kata Xiumin.

Hasilnya, Hyejin menyajikan secangkir espresso dengan satu scoop ice cream vanila. Xiumin sangat mengenali menu itu, affogatto. Es krim yang dituangi espresso panas, hingga kedua jenis menu dengan suhu berbeda itu menyatu.

“Aku juga bisa membuat espresso dan americano,” kata Hyejin, persis seperti yang diucapkan Suho sebelumnya.

Xiumin mengangguk, lalu mulai menyerocos, “Kuharap kau bisa bekerja dengan rapi. Jangan sisakan noda di mesin kopi. Segera cuci cangkir dan piring jika terlihat sudah menumpuk. Layani pelanggan dengan ramah.”

“Bisa aku meminta sesuatu?” tanya Hyejin gugup, sehingga alis Xiumin naik ke atas karena heran. Kenapa anak baru langsung ingin meminta sesuatu darinya?

“Aku ….”

“Pesan affogatto-nya satu, ya.”

Xiumin dan Hyejin sama-sama menoleh ke arah pelanggan yang tiba-tiba muncul. Pembicaraan keduanya membuat mereka tidak menyadari kedatangan pelanggan perempuan tersebut.

“Giliranmu,” kata Xiumin. Ia mengangkat nampan dengan affogatto buatan Hyejin, membawanya agak menjauh. Ia mau melihat bagaimana kinerja barista baru pilihan Suho.

Di luar ekspetasi Xiumin, gadis itu bisa melayani dengan baik. Hyejin berperilaku ramah, mengucapkan salam dengan sopan, dan membuat kopi dengan sempurna pula. Bagi Xiumin, ternyata gadis itu bisa memenuhi standarnya.

Xiumin mulai menuangkan kopi di atas es krim, lalu mencicipi rasanya. Enak. Sudah berapa lama ia tidak menikmati kopi buatan orang lain? Sudah berapa lama ia hanya menyukai kopinya sendiri?

“Apa yang tadi ingin kau katakan?” tanya Xiumin setelah Hyejin melayani pelanggan pertamanya.

“Bisakah kau benar-benar melihatku?” Hyejin kembali bertanya.

“Hah?” Xiumin termangu.

Hyejin menghela napas, menatap Xiumin dengan sungguh-sungguh. “Aku suka padamu!”

Xiumin kaget. Detak jantungnya berhenti selama sedetik.

“Saat pertama kali ke sini, kau melayaniku dengan ramah sekali … dan kopi buatanmu selalu enak. Kau harus tahu seberapa besar perjuanganku untuk belajar membuat kopi dan berlatih percaya diri di hadapan orang bersama kakakku.” Hyejin bercerita nyaris tanpa jeda.

“Siapa kakakmu?” tanya Xiumin, respon pertamanya setelah pengakuan panjang barusan.

“Jongin-Oppa,” jawab Hyejin dengan ekspresi lugu, “Teddy bear-ku.”

Xiumin menahan tawanya dengan telapak tangan, sebelah tangannya yang memegang cangkir diletakkan dengan terburu-buru di tempat yang kosong.

Ia tidak pernah menyangka bila Jongin—yang biasa dipanggilnya Kai—memiliki seorang adik seperti Hyejin. Terserahlah, dunia memang sempit.

Xiumin melirik jam yang tergantung di salah satu dinding kafe. Lalu, tanpa mengacuhkan topik pembicaraan sebelumnya, ia berujar, “Astaga, 2 menit lagi jam 12. Kita harus bersiap-siap. Pastikan kau akan melayani pelanggan dengan baik seperti tadi, ya.”

Benar saja, tak lama setelahnya kafe semakin ramai. Banyak pelanggan yang memesan berbagai jenis kopi dan kue. Meskipun tak ingin mengakui, Xiumin sadar bahwa kehadiran Hyejin mempermudah pekerjaannya.

Tidak ada yang salah dari bekerja bersama-sama.

Xiumin bersiap menuangkan susu ke dalam espresso, hendak membuat secangkir latte. Hyejin melewatinya, mau menyiapkan affogatto yang sudah menjadi keahlian gadis itu.

“Bagaimana dengan permintaan dan pengakuan perasaanku tadi?” tanya Hyejin. Kemudian, ia membuka lemari pendingin es krim dan menyendokan satu scoop ke atas piring kecil.

Tanpa menoleh sedikitpun dan terus fokus menuangkan susu ke dalam takaran yang pas, Xiumin menjawab.

“Aku akan memikirkannya.”

*

[ Dipublikasikan pada 9 Mei 2018 dan direvisi pada 16 Juni 2018 ]

24 Hours of Cafe Universe √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang