Coffee and Cream

82 26 11
                                    

COFFEE AND CREAM – CHEN

7 PM – 10 PM

CHEN juga seperti Xiumin—rekan kerjanya yang mendapat shift di siang hari—karena lebih suka dipanggil dengan nama Cina-nya meskipun sudah lama tinggal di Korea. Jarang ada yang memanggilnya dengan sebutan Kim Jongdae lagi sekarang.

Lelaki itu bekerja paruh waktu di Kafe Universe dan mendapat jadwal di malam hari. Shift-nya cenderung ramai oleh anak remaja berumur belasan atau dua puluhan sepertinya, yang mampir sejenak untuk beristirahat dan bersantai dari rutinitas selama matahari bersinar yang menjemukan.

Salah satunya adalah gadis yang dikuncir kuda itu. Chen sering melihatnya datang ke kafe dengan ketiga temannya. Interaksi mereka pun hanya sebatas ketika order menu. Tetapi malam ini, gadis itu menghampirinya, meninggalkan tempat duduknya.

“Hei,” sapa gadis itu, sehingga Chen yang sedang mengelap cangkir pun terkejut. “Aku bermain truth or dare, dan mereka memintaku untuk mengobrol denganmu selama 15 menit.”

Chen mengernyit. Menjadikannya sebagai bahan truth or dare sebenarnya tidak lucu. Namun, ia tidak mungkin marah terhadap pelanggan.

“Mau mengobrol apa?” tanya Chen.

Gadis itu berdeham, mengulurkan tangannya yang kecil dan gemuk. “Perkenalan dulu, mungkin? Namaku Nam Haeun.”

Chen meletakkan cangkirnya, membalas uluran tangan gadis itu sebentar. “Panggil saja aku Chen, Haeun-ssi.”

“Kopimu enak,” kata Haeun dan Chen tahu gadis itu mencoba untuk berbasa-basi.

“Lucu sekali kau bisa bilang begitu, padahal selama ini kau hanya memesan coffee and cream.” Chen berujar, lalu tersenyum kecil.

Haeun terlihat salah tingkah, entah karena ucapan Chen sebelumnya atau senyuman yang tiba-tiba terlihat. Ia menunduk, agak tersipu.

“Aku hanya suka coffee and cream,” kilah Haeun.

“Kau tahu filosofi kopi krim yang biasa kau pesan?” tanya Chen, kemudian menjelaskan, “kopi krim adalah kopi espresso yang dicampur dengan cream. Mencampurkannya membuat cita rasa pahit kopi tersebut hilang menjadi manis. Ibaratnya, seseorang yang menutupi jati dirinya agar terlihat baik.”

Ekspresi wajah Haeun berubah tak nyaman.

“Apa aku benar?” tanya Chen dengan nada hati-hati.

“Iya.” Haeun menjawab dengan rikuh. “Rasanya aku kehilangan diriku sendiri demi beradaptasi dengan mereka.”

“Sebenarnya tidak ada yang salah dari beradaptasi,” ujar Chen, begitu tenang agar gadis di hadapannya tak tersinggung. “Semua orang melakukannya, dan menjadi pribadi yang berbeda seiring berjalannya waktu.”

“Menurutmu begitu?” Haeun bertanya karena tak yakin dengan ucapan lelaki itu. Kemudian, ia mulai mengeluh. “Kau tahu, aku sampai mengikuti selera musik dan film yang sama dengan mereka. Masih banyak juga hal lainnya.”

Chen mengangguk, lalu kembali menjelaskan, “Kalau kau tidak nyaman dengan perubahan itu, mengapa tidak berhenti? Kebanyakan, seorang yang beradaptasi merasa senang dengan peralihan diri mereka.”

“Sulit untuk tidak berteman dengan mereka. Hanya mereka yang mau menerimaku, karena itu aku tak berhenti,” ucap Haeun. Lalu, gadis itu mulai melanjutkan dengan getir, “Aku juga menyayangi mereka seperti saudaraku sendiri.”

“Bagaimana jika mencoba sebaliknya? Kau meminta mereka beradaptasi dengan dirimu. Ajak mereka mengenali dunia yang kau suka.” Chen berkata dengan begitu mudah, meskipun ia tahu itu adalah sesuatu yang sulit.

“Aku …”

“Itu berarti kau masih menyembunyikan dirimu dari mereka, Haeun-ssi. Aku khawatir, kelak kau akan kehilangan mereka.”

Chen melihat Haeun meremas kedua tangannya dengan gelisah. Ia tahu apa yang ia katakan benar, sehingga gadis itu tidak dapat menyangkal.

“Benarkah? Ketakutanku adalah jika mereka melihat siapa aku sebenarnya, mereka akan membenciku.” Haeun berkata getir.

“Jika memang begitu, mereka bukan teman yang baik untukmu.”

Chen tahu Haeun terkejut. Gadis itu seperti pernah dan trauma akan kehilangan. Ia bisa melihat dari sorot matanya yang terluka.

“Haeun-ssi, aku harap kau masih mau mendengarkanku. Teman yang baik tidak akan meninggalkanmu, siapapun dirimu. Jika mereka benar-benar menyayangimu, mereka akan menerimamu apa adanya.” Chen mengucapkannya sehalus mungkin, tidak mau menyinggung perasaan Haeun lebih dalam.

Selain itu, Chen hanya seorang barista biasa yang sebenarnya tak pantas memberi ceramah. Terlebih kepada gadis yang baru ia ketahui namanya beberapa menit yang lalu.

“Terima kasih,” sahut Haeun, setelah menengok jam dinding yang ada di kafe. Ia mengulas senyum tipis terbaik yang dapat ia berikan saat itu. “15 menit yang berarti bagiku. Aku akan mencoba saranmu.”

Chen baru menyadari jika Haeun memiliki senyum sendu yang indah.

Ingin rasanya ia memeluk untuk melindungi gadis itu.

Astaga, apa yang baru saja ia pikirkan?

“Sudah 15 menit ya ... tidak terasa. Maaf jika aku terlalu berlebihan tadi,” kata Chen, lalu mengusap-usap pipinya dengan telunjuk. “Uhm ….”

“Tidak. Justru aku merasa tertolong. Sampai jumpa lagi,” ucap Haeun, masih tersenyum kepada Chen.

Kemudian, gadis itu melangkah meninggalkan Chen dan kembali kepada teman-temannya. Ia hanya bisa berharap yang terbaik untuk gadis itu.

*

Chen kembali bekerja; melayani pelanggan dan membuat kopi, mencuci piring dan gelas, mengelap dan membersihkan meja-meja kafe yang kotor. Meskipun demikian, atensinya tertuju kepada Haeun.

Irisnya tak berhenti untuk memandangi Haeun, mengawasinya dalam diam.

Gadis itu terlihat baik-baik saja.

Gadis itu dapat tertawa, kelihatannya kali ini jauh lebih lepas.

Sebelum pukul 10 dan jadwal shift Chen berakhir, Haeun dan teman-temannya beranjak dari meja tempat mereka duduk. Kemudian, gadis itu kembali menoleh ke arah Chen.

Bibir Haeun membentuk senyum.

Lalu, mengucapkan kata-kata tanpa suara,

Terima kasih. Aku akan berjuang.

Hanya sebatas itu, tetapi akhirnya Chen bisa merasa lega.

Hari sudah malam, saatnya beristirahat dari kehidupan. Termasuk gadis itu, waktunya untuk melepas lelah karena terus bersembunyi.

*

24 Hours of Cafe Universe √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang