Chapter 3

5.3K 967 67
                                    


Lily

Mengingat masa lalu dengan Hoseok seringkali membuatku tersenyum. Itu hal yang membahagiakan untuk diingat. Namun dengan fakta saat ini, rasanya aku aku tersenyum karena mengasihani diri.

Pertemuanku dengan Hoseok sebenarnya cukup lucu. Dia teman kakak sepupuku, Yoongi. Mereka masuk dalam tim basket sekolah. Hoseok beberapa kali datang ke rumah bersama anggota tim yang lain karena saat itu Kak Yoongi tinggal di rumah kami.

Percakapan pertama kali terjadi di dapur, ketika aku tengah menyiapkan keripik kentang dan Hoseok muncul. Dia cukup manis, atau, memang sangat manis. Aku tidak pernah bilang sebelumnya, tapi aku cukup sering memerhatikan tim basket berlatih dari jendela kelas. Dan Hoseok jadi target utama.

Sebenarnya mungkin akan mudah bagiku mendekati Hoseok, mengingat ada Kak Yoongi. Ya, seharusnya begitu. Tapi aku tahu yang terjadi justru kebalikannya.

Setelah percakapan pertama kami di dapur, kami mencoba untuk mengobrol lebih sering di sekolah. Namun Kak Yoongi menjadi masalahnya. Dia selalu membuatku makan bersama dengannya saat istirahat, pulang dengannya tepat jam 3 sore—meski itu harus membuatnya bolak-balik dari rumah ke sekolah karena ada latihan basket—atau menghabiskan akhir pekan bersamanya di rumah.

Aku marah, tentu saja. Tidak biasanya dia begini. Namun begitu dia bilang aku seharusnya tidak terlalu dekat dengan Hoseok, aku nekat kabur semalaman dari rumah dan pergi ke lapangan sekolah. Di sana ada Hoseok.

Dia di sana dan aku datang sambil menangis.

Dia di sana dan aku bercerita soal kelakuan Kak Yoongi yang menyebalkan.

Dia di sana.

Dan dia menciumu.

Dia ciuman pertamaku.

Entah kebetulan atau bagaimana, tapi seminggu setelah ciuman pertamaku, Kak Yoongi pindah. Orang tuanya dipindahkan ke luar negeri dan Kak Yoongi harus ikut, tidak bisa lagi tinggal bersamaku.

Dan, baiklah, aku tidak bisa bilang kalau aku tidak bahagia. Karena aku bahagia. Setelah kepindahannya Hoseok dan aku berpacaran.

Ingatan itu kembali dalam sekejap begitu aku pulang dan mendapati Kak Yoongi tengah duduk di sofa, menekan remote televisi. Astaga, rasanya sudah lama sekali. Rambutnya yang nyaris seperti tentara militer sekarang berubah. Dia jadi blonde, kulitnya kelihatan putih sekali. Dan dia keren dengan jaket denimnya.

Aku masih berdiri di pintu ketika dia melihatku. Tujuh detik dan Kak Yoongi tidak mengatakan apapun. Aku sendiri bingung harus mulai dari mana.

Tidak ada satu pun dari kami yang bergerak hingga Kak Yoongi lebih dulu memulainya. Dia berjalan  ke arahku. Mungkin aku harus menyapa. Tidak akan lucu kalau kami sama-sama canggung begini.

“Kau benar-benar berpacaran dengan Hoseok, Lil?”

Oke. Kurasa lupakan saja bagian menyapanya. Aku mengerutkan kening kemudian mendesis. “Ya, selamat malam. Aku pulang.”

Aku berjalan melewatinya sembari memutar mata jengah, namun dia menarik tanganku, mencegahku untuk meneruskan langkah.

“Apa sih?” Aku menarik tanganku, namun dia kembali menariknya. “Kak Yoon, apa-apaan sih!”

“Lily, aku sudah bilang ja—”

“Aku sudah berpacaran dengannya. Sekarang tahun ketiga kami. Kenapa? Ada masalah dengan itu?” Aku membalasnya ketus. Kak Yoongi justru membulatkan matanya.

“Apa yang kau lakukan, Lily?”

“Memangnya salah pacaran?” balasku, mencoba membela diri. “Lagipula untuk apa Kakak ke sini? Hanya untuk bertanya soal ini? Karena baru tahu?”

Aku tidak ingin marah-marah. Sungguh. Pikiranku sedang tidak jernih dan aku bisa saja gila. Aku masih belum dapat kabar soal Hyoeun dan Hoseok padahal mereka sudah sampai di tempat survey sejak tiga hari yang lalu. Hoseok hanya mengabariku saat sampai namun sampai sekarang tidak ada kabar.

Aku tidak ingin merusak suasana hati lebih jauh lagi. Namun nampaknya Kak Yoongi tidak peduli.

“Andai aku tahu bahkan tiga tahun yang lalu, Lily, aku akan melakukan hal yang sama.” Kak Yoongi melepas tanganku, kemudian menggunakan tangannya untuk menyugar rambut. Anehnya dia yang kelihatan frustasi. “Tapi, serius? 3 tahun?”

“Memangnya kenapa sih, Kak?” gerutuku. Aku tadinya ingin memarahinya, soal tindakan konyolnya ini. Dia tidak menyapaku, kami tidak ada memberi kabar satu sama lain sejak tiga tahun yang lalu. Dia harusnya di London.

Dia tidak ke Korea hanya untuk ini, kan? Konyol sekali.

Embusan napas kasar keluar dari bibirnya sementara dia menyakukan kedua tangannya ke dalam saku jins.

“Lily, dengar,” kata Kak Yoongi, “aku tahu mungkin ini konyol. Tapi aku melarangmu untuk tidak dekat dengannya demi kebaikanmu juga, dan juga dirinya. Aku temannya, dan aku tidak ingin membongkar rahasianya. Tapi kalau sudah begini...”

Kalimat Kak Yoongi kedengaran menggantung. Tanpa sadar aku sudah menaruh atensiku penuh padanya, nyaris tidak berkedip selama ia berbicara. Tangannya kini berpindah dan menggaruk tengkuk kepalanya kasar, selagi lagi mengembuskan napas kasar. Kepalanya tertunduk sebelum dia kembali menatapku ketika aku bertanya, “Rahasia apa?”

Tebakanku, mungkin Kak Yoongi akan bilang Hoseok itu playboy, atau sesuatu yang bisa membuatku merasa tak heran dia selingkuh dariku. Tapi aku salah. Tebakanku salah. Begitu Kak Yoongi bicara, aku justru merasa otakku harus bekerja lebih keras dari sebelumnya.

Karena aku tidak mengerti apa maksudnya.

“Hoseok itu gay, Lily. Dia penyuka sesama jenis.”

*

Cataclysmic (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang