PERSIDANGAN

82 5 3
                                    

Malam yang sunyi.

Brrrrkkk! Brrrkkk! Brrrkkk

"Nandha bangun!!!"

Seseorang di luar kamarku menyuruhku untuk membuka pintu dan pastinya dia ingin aku keluar. Tapi aku begitu takut. Selimut yang menutupi badan, kunaikkan hingga kepala, aku yakin tubuh ini tak dapat lagi di lihat dari luar.

Brrrrkkk! Brrrkkk! Brrrkkk

Sekali lagi pintu itu di gedor dengan keras. Aku semakin takut dan beringsut masuk kedalam selimut. Keringat dingin mulai keluar dari cela-cela pori-poriku. Air mata sampai tak bisa menetes karena terlalu takut.

Di luar sana, adikku yang baru berusia delapan bulan menangis dengan keras. Rasa khawatir semakin mencekamku. Aku bisa bersembunyi dalam kamarku dan selimutku yang hangat. Lantas bagaimana adikku? Sementara ia di luar sana sedang berada di antara orang-orang yang marah.

Adikku tetap menangis, dan lamat-lamat aku mendengar isak tangis ibuku. Ibu bicara berbisik-bisik tapi aku tau saat itu ibu sedang marah. bapak, dia berada di dekat ibuku pastinya. Tak sekalipun aku mendengar suara bapakku. Dia hanya diam di antara kalimat-kalimat kemarahan ibu.

Tak lama kemudian aku mendengar suara pukulan. Apakah ibu memukul bapak? Apa yang sedang terjadi? Aku begitu takut. Meski dalam setiap hembusan nafas ku lafazkan nama Allah. Tetap saja aku merasa ketakutan.

Hari demi hari setelah malam itu. Rumah tak lagi terasa hangat. Sunyi, sepi, dan aku merasa sendiri. Sungguh aku benci. Bapak dan ibu tak saling tegur sapa. Setiap kali berbicara, ibu selalu terlihat marah. Bahkan denganku. Malah kadang dengan adikku yang masih belum mengerti apapun. Ibu menjadi pemarah, dalam ke adaan apapun ibu selalu marah.

Bagaimana dengan Bapakku? Dia terlihat menghindar. Jarang pulang, jarang berkomunikasi dengan kami. Wajahnya terlihat lusuh dan penuh beban. Bapak dan ibu, kedua-duanya semakin hari semakin kurus. Sesuatu yang buruk pasti telah menimpah mereka berdua. Tentang apa yang menimpah mereka? Aku tidak tahu. Aku masih terlalu kecil untuk mencari tahu. Yang bisa aku lakukan hanyalah tidur. Tidur sepanjang hari. Tidur untuk bisa lari dari kenyataan yang sunyi ini. Tidur yang nyenyak dengan harapan saat bangun kebekuan ini akan segera mencair.

"Nandha, ayo bangun" seseorang menggoncang tubuhku dengan lembut.

Ku kucek-kucuk mataku, samar-samar kulihat seraut wajah mungil putih dan sipit. Dialah kakak sepupuku yang usiannya empat tahun lebih tua dariku.

Pukul 00.05

"Ada apa mbak?" tanyaku seraya menggeliat tak mau bangun.

"Ayo ke rumah Mbah. Bapak dan ibumu di sana." ucapnya seraya menarik tangaku agar aky segera bangkit.

Rumah ibu, kakaknya, dan orang tuanya saling berhimpit. Jadi tak heran jika kami keluar masuk rumah masing-masing tanpa permisi.

Sampai di rumah Mbah. Kami semua berkumpul di sebuah ruangan besar. Ruang yang biasa kami gunakan saat sedang bekumpul seperti ini. Ketiga saudara kandung ibuku nampak tegang. Tujuh sepupuku nampak mengantuk dan sama sepertiku, mereka tak memahami. Mbah lanang apa lagi, jelas sedang menahan amarah, sedangkan mbak putri sedikit-sedikit menyeka air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Sementara ibuku berdiri di sudut ruangan sambil menimang-nimang adik agar tetap terlelap. Ibuku nampak nelangsa, beban dan kesedihan nampak jelas tergambar di wajahnya. Sorot matanya mengisyaratkan keputusasaan. Bapakku duduk di kursi dekat mbah lanang. Diam, tafakur, merenung dan ada guratan penyesalan. Dialah yang menjadi terdakwa dalam persidangan malam ini.

DETAK QALBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang